Share

Bab 7

Author: Sri Pulungan
last update Last Updated: 2025-04-09 20:01:32

Beberapa hari telah berlalu. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan mas Arfan sekarang. Setelah malam itu, aku benar-benar menepati janjiku: aku pergi. Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa kunjungan. Hanya doa yang kupanjatkan setiap malam—semoga Mas Arfan selamat… dan bahagia, meski tanpaku.

Aku menatap kosong ke luar jendela saat matahari mulai turun perlahan. Langit senja terbakar oleh semburat jingga, seperti harapan yang samar… namun tetap ada. Meski aku tak tahu kemana masa depan akan membawaku, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri lagi.

Tangan kiriku membelai perut yang mulai terasa hangat, seolah ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut di sana. Anugerah ini… adalah bagian dari Mas Arfan. Dan aku akan menjaganya, sepenuh hati.

“Nak, mungkin Ayahmu tak akan ada di sisimu saat kau tumbuh nanti… tapi Ibu janji, kau akan tumbuh dikelilingi cinta.”

Sebuah ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh. Tak ada yang kukenal di tempat ini. Lalu siapa…?

Perlahan kubuka pintu. Di hadapanku berdiri seorang pria paruh baya, pemilik kontrakan ini.

“Maaf, Bu… kalian harus pergi. Ada orang yang ingin menempati rumah ini.”

Aku menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyergap. “Tapi, Pak… saya sudah bayar untuk sebulan penuh,” kataku pelan, berusaha tetap tenang meski hatiku mulai panik.

Pemilik kontrakan menggeleng, wajahnya tampak tak enak hati. “Saya tahu, Bu. Tapi yang satu ini... bayar dua kali lipat. Saya… saya butuh uang. Maaf.”

Aku terdiam. Ingin berteriak, tapi buat apa? Hidupku kini bergantung pada sisa tabungan yang kian menipis. Aku tak punya banyak pilihan.

“Bisa saya minta waktu sampai besok pagi, Pak?” pintaku lirih.

Ia menatapku, lalu mengangguk ragu. “Baik. Tapi hanya sampai besok, ya. Maaf, Bu Nafeeza.”

Begitu pintu tertutup kembali, aku terduduk di tepi ranjang. Nafas berat keluar tanpa bisa kutahan. Aku menatap perutku. “Maaf, Nak… Ibu belum bisa memberimu tempat tinggal yang layak.”

Air mataku jatuh, dan kali ini tak bisa kutahan lagi. Semua terasa begitu sempit. Dunia seolah memojokkanku ke sudut tergelap tanpa jalan keluar.

Cepat-cepat ku usap air mata. Aku harus kuat, demi bayi dalam kandunganku.

Saat hendak melangkah keluar, sayup-sayup aku mendengar suara.

“Sudah, Nyonya. Saya sudah melakukannya sesuai instruksi Anda.”

Langkahku terhenti. Suara itu… berasal dari arah jendela belakang yang sedikit terbuka. Aku menahan napas, lalu mendekat perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara.

“Aku pastikan dia keluar besok. Kontrakan itu akan kosong sesuai rencana.” Suara pria itu kini terdengar jelas, diikuti jeda yang menegangkan.

Kemudian… suara lain menyusul. Dingin. Familiar. Suara seorang perempuan.

“Bagus. Pastikan dia tidak tahu siapa di balik ini. Aku tak mau namaku terseret. Nafeeza harus pergi jauh dari hidup Arfan. Selamanya.”

Jantungku berdegup kencang. Kakiku lemas. Nafasku tercekat. Jadi ini bukan hanya soal uang sewa. Ini direncanakan. Seseorang benar-benar ingin aku pergi… dan tak pernah kembali.

Aku meremas ujung bajuku erat-erat. Luka lama yang belum sembuh kini seperti ditaburi garam. Tapi siapa? Siapa perempuan itu?

Pikiranku langsung tertuju pada satu nama: Bu Yuliana, ibunya Mas Arfan. Tapi… benarkah itu dia? Atau… ada orang lain?

Aku kembali duduk. Tubuhku gemetar. Aku takut. Jika ibu mertuaku tahu aku hamil anak Mas Arfan… bagaimana jika dia mencoba mencelakainya?

Aku menatap jendela yang kini memantulkan bayanganku sendiri, mata sembab, tapi penuh tekad.

“Nak… sepertinya kita harus pergi lebih jauh.”

Aku berdiri perlahan, mencoba menenangkan degup jantung yang belum juga reda. Malam mulai turun, menyelimuti langit dengan kelam yang menyesakkan. Tapi aku tahu, aku tak bisa tinggal di sini lebih lama. Bahaya terlalu dekat. Bukan hanya aku yang terancam… tapi juga kehidupan kecil yang tumbuh di rahimku.

Kupandangi langit malam dari balik jendela. Gelap. Tanpa bintang. Seperti perasaanku malam ini. Aku menarik nafas panjang. Tak boleh panik. Harus segera keluar. Malam ini juga.

Kupungut koper kecil, memeriksa ulang isinya: beberapa lembar pakaian, dompet, surat-surat penting, dan sebuah buku catatan tua. Tidak banyak, tapi cukup untuk pergi jauh.

Saat aku hendak melangkah keluar, tiba-tiba lampu kamar padam. Seketika. Tanpa peringatan.

Jantungku terasa berhenti berdetak.

Langkahku terhenti. Tangan kiriku langsung memeluk perut, melindungi kehidupan kecil yang tak bersalah itu. Perlahan aku bergerak ke arah jendela, mencoba mencari cahaya dari luar.

Gelap. Hening. Lalu… suara langkah kaki.

Pelan. Pasti. Mendekat ke arah pintu kontrakan.

Aku menahan napas, menatap kunci yang masih tergantung di pintu. Terkunci. Syukurlah.

Aku mundur, mencari sesuatu untuk berjaga, tongkat pel lantai, apa pun.

Langkah itu berhenti tepat di depan pintu.

Lalu... ketukan. Bukan seperti tadi. Kali ini lebih keras. Berirama. Seperti isyarat.

Degup jantungku berpacu lebih cepat dari waktu.

Kemudian, suara berat dari luar terdengar.

“Nafeeza… aku tahu kamu ada di dalam. Aku hanya ingin bicara sebentar.”

Aku kenal suara itu. Suara Aurel, mantan tunangan Mas Arfan.

Tapi… bagaimana dia bisa tahu aku ada disini?

Dan untuk apa dia ingin bertemu denganku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 92

    “Tolong Ma! Jangan ganggu Nafeeza lagi. Dan jangan berani ganggu Danis,” kata Arfan dengan tegas.“Apa maksudmu?”“Jangan pura-pura, Ma. Aku tahu soal laporan ke dinas.”Nyonya Yuliana menarik napas pelan. “Aku hanya… khawatir pada Danis, cucu mama.”Arfan melangkah lebih dekat, nadanya meninggi namun tetap terkendali. “Khawatir? Mama tidak sedang khawatir. Mama sedang mencoba mencabut hak Nafeeza sebagai ibu. Itu bukan kekhawatiran, itu pengkhianatan.”“Arfan..”“Aku sudah cukup diam, Ma,” potong Arfan, kini suaranya lebih dingin. “Diamku selama ini justru membuat Mama merasa berhak atas sesuatu yang bukan milik Mama. Danis bukan milik Mama. Dan Nafeeza… dia bukan musuh.”“Dulu Mama memfitnah Nafeeza, sekarang ingin merebut Danis, setelah apa yang telah kita lakukan pada Nafeeza. Diluaran sana, Nafeeza melahirkan Danis sendirian Ma,” lanjut Arfan dengan mata yang berkaca-kaca.Nyonya Yuliana menunduk, ia kehilangan kata-kata. Sorot matanya bergetar, tapi ia menolak menunjukkan kelema

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 91

    Nafeeza berdiri di lobi Veranza Grup dengan wajah pucat tapi matanya menyala penuh tekad. Ia tak bisa lagi menunggu. Pesan dari Dinas Perlindungan Anak yang diterimanya pagi tadi membuktikan bahwa ini bukan sekadar ancaman diam-diam. Ini perang terbuka, dan ia tahu dari mana asalnya. Langkah-langkahnya mantap, meski jantungnya berdebar cepat. Ia memakai setelan sederhana berwarna netral. Sorot matanya tajam dan tenang.Resepsionis wanita yang duduk dibalik meja tinggi itu menatapnya ragu.“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.“Saya ingin bertemu Pak Arfan,” jawab Nafeeza singkat.Resepsionis memandang ke layar komputernya, lalu kembali menatap Nafeeza. “Sudah ada janji sebelumnya?”“Tidak. Tapi bilang padanya… Nafeeza ada di sini.”Suasana hening beberapa detik. Nama itu, Nafeeza, membuat si resepsionis mengerutkan dahi, tapi ia segera menelpon lantai direksi. Tak lama kemudian, dua pria dari tim keamanan berpakaian rapi datang menghampiri.“Saya mohon maaf, Ibu.

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 90

    Di saat yang sama, Yuliana juga mulai mengatur rencananya.Ia duduk bersama seorang pria berjas abu-abu, pengacara keluarga lamanya.“Buatkan saya dokumen hak perwalian,” katanya. “Saya ingin memastikan kalau sesuatu terjadi pada Arfan, hak asuh Danis tidak langsung jatuh ke tangan Nafeeza.”Pengacara itu tampak ragu. “Bukankah dia ibu kandungnya?”Yuliana tersenyum samar. “Justru karena itu. Saya tidak ingin cucu saya dibesarkan dalam ketidakseimbangan. Saya ingin antisipasi… sebelum semuanya terlambat.”“Maaf, Bu Yuliana, permintaan ini agak… sensitif. Secara hukum, Nafeeza adalah ibu kandung Danis. Kecuali ada bukti bahwa dia tidak layak, atau berbahaya bagi anaknya, hak asuh otomatis jatuh padanya jika sesuatu terjadi pada Pak Arfan,” kata sang pengacara.Yuliana menyipitkan mata. “Saya tidak minta kamu mengajari saya soal hukum. Saya minta kamu cari celahnya. Entah itu lewat evaluasi psikologis, atau rekayasa riwayat yang membuat dia terlihat tidak stabil.”Pengacara itu menarik

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 89

    Senyum licik itu belum sepenuhnya hilang dari wajah Nyonya Yuliana saat pelayan masuk membawakan teh hangat tambahan. Setelah Arfan pergi, suasana kembali hening, tapi di dalam pikirannya, rencana-rencana terus bergerak.“Perempuan kampung itu benar-benar keras kepala,” gumamnya sambil menyesap teh. “Tapi dia lupa siapa yang pegang kuasa sebenarnya.”Sudah sejak awal Yuliana tak pernah menyukai Nafeeza. Bukan karena pribadi atau sikapnya, melainkan karena asal-usulnya. Baginya, Nafeeza bukan pasangan sepadan untuk Arfan, pewaris keluarga pemilik jaringan properti dan logistik ternama.“Aku sudah buat dia keluar dari hidup Arfan sekali, dan aku bisa melakukannya lagi,” bisiknya dingin.Namun kali ini, segalanya berbeda. Nafeeza tidak lagi lemah. Ia berdiri tegak, berani menentang bahkan ketika tak punya apa-apa. Yuliana tahu, jika ia ingin merebut Danis, ia tak bisa melawan langsung. Ia harus bermain lebih licik, lebih halus. Jika ia bisa menyerang dari sisi citra, ia bisa menekan po

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 88

    Arfan menghela nafas panjang. “Mama nggak akan ikut campur lagi, aku pastikan itu.”“Seperti dulu kamu pastikan bahwa kamu akan selalu percaya padaku?” Nafeeza menatapnya tajam. “Aku sudah cukup dengar janji, Arfan. Sekarang aku cuma percaya pada tindakan.”Arfan terdiam. Wajahnya lelah, dipenuhi penyesalan. Tangannya merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang sudah agak kusut.“Apa ini?” tanya Nafeeza curiga.“Sesuatu yang harusnya jadi milikmu sejak lama.” Ia menyodorkan amplop itu. “Aku sudah serahkan pengalihan nama rumah lama kita atas namamu. Dan juga beberapa aset yang dulu… kamu tinggalkan. Aku mau Danis punya masa depan lebih baik.”Nafeeza menatap amplop itu lama. Ia tak menyentuhnya.“Kamu pikir uang dan rumah bisa menyelesaikan semua ini?” suaranya nyaris berbisik. “Kamu pikir itu bisa menghapus lima tahun hidupku yang terbuang?”“Tidak,” jawab Arfan cepat. “Aku tahu itu nggak cukup. Tapi ini satu-satunya cara yang kupunya untuk menunjukkan bahwa aku s

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 87

    Rafa mengangguk mantap, walau matanya tak menatap langsung ke arah Nafeeza.“Serius. Papa nggak suka simpan makanan mahal. Katanya, ‘kalau nggak dimakan, mubazir. Kalau dimakan, takut darah tinggi.” Rafa menirukan suara ayahnya, berusaha terdengar santai.Nafeeza mengangguk pelan, meski wajahnya belum sepenuhnya lepas dari rasa curiga. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, mobil Rafa melambat, lalu berhenti di ujung gang kecil yang remang.“Aku parkir di sini aja, ya. Gangnya sempit,” ujar Rafa.Namun belum sempat Nafeeza menjawab, Rafa menegang. Tatapannya membeku menatap sesuatu di kejauhan.Nafeeza ikut menoleh.Sebuah mobil hitam, terparkir di sisi jalan, sedikit tersembunyi di balik bayangan pepohonan.Nafeeza membeku.Itu mobil yang sangat dikenalnya.Mobil Arfan.“Rafa…” Nafeeza bersuara lirih, nadanya gemetar. “Itu…”“Aku tahu,” potong Rafa pelan. Tangannya menggenggam kemudi lebih erat.Dari kejauhan, bayangan seorang pria tampak berdiri di sisi mobil, menyandarkan tubuhny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status