Share

Bab 6

Penulis: Sri Pulungan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-27 12:02:50

Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.

Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.

Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”

Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.

“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.

Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat ke luar negeri.”

Aku menahan napas, perasaan tertindih pilihan yang kejam: menyerah atau kehilangan Mas Arfan selamanya. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak bisa.

"Aku ingin melihatnya, Bu," kataku, berusaha menahan getaran dalam suaraku. "Aku tidak akan mengambil keputusan apapun sebelum melihat keadaannya dengan mataku sendiri."

Ibu mertuaku menyipitkan mata, menimbang ucapanku. Lalu, dengan nada tajam, ia berkata, "Untuk apa? Dia bahkan tidak sadar. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."

Aku menggeleng. "Tidak masalah. Aku tetap ingin melihatnya."

Ia mendecakkan lidah, lalu akhirnya berkata, "Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan, tapi ingat, ini hanya sekali. Setelah ini, kau harus pergi dari hidupnya."

Hatiku mencelos mendengar ultimatum itu, tapi aku mengangguk. Yang terpenting saat ini adalah bisa melihat Mas Arfan.

*****

Di depan pintu kamar rumah sakit, jantungku berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, aku mendorong pintu dan melangkah masuk.

Mas Arfan terbaring di ranjang dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Wajahnya pucat, nafasnya lemah namun teratur. Dadaku terasa sesak melihatnya dalam keadaan seperti ini.

Aku melangkah mendekat, duduk di samping ranjangnya, lalu menggenggam tangannya. "Mas..." bisikku pelan.

Tak ada reaksi. Matanya masih terpejam, nafasnya tetap tenang. Tapi aku tetap menggenggam tangannya erat, berharap keajaiban akan datang.

"Aku di sini, Mas. Aku tidak akan pergi ke mana-mana," lanjutku, meski air mataku mulai menggenang. "Aku tahu Ibu ingin memisahkan kita, tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan berjuang untukmu."

Saat itulah, jari-jarinya sedikit bergerak.

Aku terkejut. "Mas?"

Jemarinya yang berada dalam genggamanku menggeliat pelan. Harapan menyala dalam hatiku. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Kelopak matanya mulai bergerak, seolah sedang berusaha membuka.

Aku menahan napas. "Mas Arfan?"

Tapi harapanku sirna seketika saat alarm mesin medis berbunyi nyaring.

Tubuh Mas Arfan menegang sesaat, lalu kembali lemas.

Para dokter dan perawat bergegas masuk, wajah mereka penuh keseriusan.

"Tekanan darahnya turun!" seru salah satu perawat.

"Siapkan defibrillator!"

Aku terdorong ke belakang, tubuhku membeku melihat keadaan Mas Arfan yang semakin pucat. Aku ingin mendekat, ingin menggenggam tangannya lagi, tapi seorang perawat menahanku.

"Maaf, Bu. Anda harus keluar sekarang."

"Tidak! Aku tidak bisa meninggalkannya!" Aku berusaha menolak, tapi mereka tetap menggiringku keluar.

Di ambang pintu, ibu mertuaku berdiri dengan ekspresi dingin.

"Aku sudah bilang, kamu memang pembawa sial," katanya pelan, namun tajam.

Aku menggeleng, air mata mengalir di pipiku. "Aku bukan pembawa sial," jawabku dengan suara bergetar, menatap matanya dengan penuh keberanian. "Aku mencintai Mas Arfan, dan aku tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya dariku, termasuk Ibu."

Ia menyeringai sinis. "Cinta saja tidak cukup untuk menyelamatkannya. Kau lihat sendiri, kehadiranmu hanya membuat keadaannya memburuk."

Aku mengepalkan tangan, menolak untuk terpengaruh oleh kata-katanya. Aku tahu ini bukan salahku. Mas Arfan sedang berjuang, dan aku harus percaya bahwa dia bisa melewatinya.

Pintu kamar rumah sakit tiba-tiba terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita hanya bisa menunggu responnya."

"D-Dia bagaimana, Dok?" tanyaku dengan suara hampir tak terdengar.

"Masih kritis. Peralatan medis di sini kurang memadai, pasien harus segera dipindahkan ke rumah sakit lain,” jawab dokter itu.

Aku menoleh ke arah ibu mertuaku, air mataku semakin deras.

"Bu, tolong lakukan sesuatu," suaraku bergetar, memohon. "Aku akan pergi dari hidup Mas Arfan, asalkan dia mendapatkan pengobatan terbaik."

Ibu mertuaku menatapku lama, ekspresinya sulit dibaca. Aku tahu dia tidak mudah percaya padaku, tapi aku tidak peduli bagaimana dia menilainya. Yang penting sekarang adalah nyawa Mas Arfan.

"Apa jaminanmu?" tanyanya akhirnya, suaranya dingin.

"Aku akan pergi dari hidupnya," ulang ku, kali ini lebih mantap meski hatiku hancur. "Aku tidak akan pernah menemui Mas Arfan lagi. Aku hanya ingin dia selamat."

Dia tersenyum miring, lalu mengeluarkan ponselnya. "Baik. Aku akan mengurus pemindahannya sekarang. Tapi ingat, kalau kau melanggar janjimu, aku tidak akan tinggal diam."

Aku mengangguk, menahan isak tangis yang ingin pecah. Aku tahu ini adalah pengorbanan terbesar dalam hidupku, tapi aku rela melakukannya demi Mas Arfan.

Beberapa saat kemudian, tim medis datang dengan peralatan tambahan, bersiap untuk memindahkan Mas Arfan ke rumah sakit yang lebih besar. Aku hanya bisa berdiri di sudut, menatap tubuhnya yang lemah tanpa bisa mendekat.

Saat mereka mendorong ranjangnya keluar, aku meraih ujung selimutnya dengan jemari gemetar. "Mas... maafkan aku."

Aku tak tahu apakah Mas Arfan bisa mendengarku atau tidak. Tapi aku harus menepati janjiku. Aku harus pergi.

Dengan langkah berat, aku berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan sebagian hatiku bersama suami yang kucintai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 92

    “Tolong Ma! Jangan ganggu Nafeeza lagi. Dan jangan berani ganggu Danis,” kata Arfan dengan tegas.“Apa maksudmu?”“Jangan pura-pura, Ma. Aku tahu soal laporan ke dinas.”Nyonya Yuliana menarik napas pelan. “Aku hanya… khawatir pada Danis, cucu mama.”Arfan melangkah lebih dekat, nadanya meninggi namun tetap terkendali. “Khawatir? Mama tidak sedang khawatir. Mama sedang mencoba mencabut hak Nafeeza sebagai ibu. Itu bukan kekhawatiran, itu pengkhianatan.”“Arfan..”“Aku sudah cukup diam, Ma,” potong Arfan, kini suaranya lebih dingin. “Diamku selama ini justru membuat Mama merasa berhak atas sesuatu yang bukan milik Mama. Danis bukan milik Mama. Dan Nafeeza… dia bukan musuh.”“Dulu Mama memfitnah Nafeeza, sekarang ingin merebut Danis, setelah apa yang telah kita lakukan pada Nafeeza. Diluaran sana, Nafeeza melahirkan Danis sendirian Ma,” lanjut Arfan dengan mata yang berkaca-kaca.Nyonya Yuliana menunduk, ia kehilangan kata-kata. Sorot matanya bergetar, tapi ia menolak menunjukkan kelema

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 91

    Nafeeza berdiri di lobi Veranza Grup dengan wajah pucat tapi matanya menyala penuh tekad. Ia tak bisa lagi menunggu. Pesan dari Dinas Perlindungan Anak yang diterimanya pagi tadi membuktikan bahwa ini bukan sekadar ancaman diam-diam. Ini perang terbuka, dan ia tahu dari mana asalnya. Langkah-langkahnya mantap, meski jantungnya berdebar cepat. Ia memakai setelan sederhana berwarna netral. Sorot matanya tajam dan tenang.Resepsionis wanita yang duduk dibalik meja tinggi itu menatapnya ragu.“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.“Saya ingin bertemu Pak Arfan,” jawab Nafeeza singkat.Resepsionis memandang ke layar komputernya, lalu kembali menatap Nafeeza. “Sudah ada janji sebelumnya?”“Tidak. Tapi bilang padanya… Nafeeza ada di sini.”Suasana hening beberapa detik. Nama itu, Nafeeza, membuat si resepsionis mengerutkan dahi, tapi ia segera menelpon lantai direksi. Tak lama kemudian, dua pria dari tim keamanan berpakaian rapi datang menghampiri.“Saya mohon maaf, Ibu.

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 90

    Di saat yang sama, Yuliana juga mulai mengatur rencananya.Ia duduk bersama seorang pria berjas abu-abu, pengacara keluarga lamanya.“Buatkan saya dokumen hak perwalian,” katanya. “Saya ingin memastikan kalau sesuatu terjadi pada Arfan, hak asuh Danis tidak langsung jatuh ke tangan Nafeeza.”Pengacara itu tampak ragu. “Bukankah dia ibu kandungnya?”Yuliana tersenyum samar. “Justru karena itu. Saya tidak ingin cucu saya dibesarkan dalam ketidakseimbangan. Saya ingin antisipasi… sebelum semuanya terlambat.”“Maaf, Bu Yuliana, permintaan ini agak… sensitif. Secara hukum, Nafeeza adalah ibu kandung Danis. Kecuali ada bukti bahwa dia tidak layak, atau berbahaya bagi anaknya, hak asuh otomatis jatuh padanya jika sesuatu terjadi pada Pak Arfan,” kata sang pengacara.Yuliana menyipitkan mata. “Saya tidak minta kamu mengajari saya soal hukum. Saya minta kamu cari celahnya. Entah itu lewat evaluasi psikologis, atau rekayasa riwayat yang membuat dia terlihat tidak stabil.”Pengacara itu menarik

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 89

    Senyum licik itu belum sepenuhnya hilang dari wajah Nyonya Yuliana saat pelayan masuk membawakan teh hangat tambahan. Setelah Arfan pergi, suasana kembali hening, tapi di dalam pikirannya, rencana-rencana terus bergerak.“Perempuan kampung itu benar-benar keras kepala,” gumamnya sambil menyesap teh. “Tapi dia lupa siapa yang pegang kuasa sebenarnya.”Sudah sejak awal Yuliana tak pernah menyukai Nafeeza. Bukan karena pribadi atau sikapnya, melainkan karena asal-usulnya. Baginya, Nafeeza bukan pasangan sepadan untuk Arfan, pewaris keluarga pemilik jaringan properti dan logistik ternama.“Aku sudah buat dia keluar dari hidup Arfan sekali, dan aku bisa melakukannya lagi,” bisiknya dingin.Namun kali ini, segalanya berbeda. Nafeeza tidak lagi lemah. Ia berdiri tegak, berani menentang bahkan ketika tak punya apa-apa. Yuliana tahu, jika ia ingin merebut Danis, ia tak bisa melawan langsung. Ia harus bermain lebih licik, lebih halus. Jika ia bisa menyerang dari sisi citra, ia bisa menekan po

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 88

    Arfan menghela nafas panjang. “Mama nggak akan ikut campur lagi, aku pastikan itu.”“Seperti dulu kamu pastikan bahwa kamu akan selalu percaya padaku?” Nafeeza menatapnya tajam. “Aku sudah cukup dengar janji, Arfan. Sekarang aku cuma percaya pada tindakan.”Arfan terdiam. Wajahnya lelah, dipenuhi penyesalan. Tangannya merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang sudah agak kusut.“Apa ini?” tanya Nafeeza curiga.“Sesuatu yang harusnya jadi milikmu sejak lama.” Ia menyodorkan amplop itu. “Aku sudah serahkan pengalihan nama rumah lama kita atas namamu. Dan juga beberapa aset yang dulu… kamu tinggalkan. Aku mau Danis punya masa depan lebih baik.”Nafeeza menatap amplop itu lama. Ia tak menyentuhnya.“Kamu pikir uang dan rumah bisa menyelesaikan semua ini?” suaranya nyaris berbisik. “Kamu pikir itu bisa menghapus lima tahun hidupku yang terbuang?”“Tidak,” jawab Arfan cepat. “Aku tahu itu nggak cukup. Tapi ini satu-satunya cara yang kupunya untuk menunjukkan bahwa aku s

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 87

    Rafa mengangguk mantap, walau matanya tak menatap langsung ke arah Nafeeza.“Serius. Papa nggak suka simpan makanan mahal. Katanya, ‘kalau nggak dimakan, mubazir. Kalau dimakan, takut darah tinggi.” Rafa menirukan suara ayahnya, berusaha terdengar santai.Nafeeza mengangguk pelan, meski wajahnya belum sepenuhnya lepas dari rasa curiga. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, mobil Rafa melambat, lalu berhenti di ujung gang kecil yang remang.“Aku parkir di sini aja, ya. Gangnya sempit,” ujar Rafa.Namun belum sempat Nafeeza menjawab, Rafa menegang. Tatapannya membeku menatap sesuatu di kejauhan.Nafeeza ikut menoleh.Sebuah mobil hitam, terparkir di sisi jalan, sedikit tersembunyi di balik bayangan pepohonan.Nafeeza membeku.Itu mobil yang sangat dikenalnya.Mobil Arfan.“Rafa…” Nafeeza bersuara lirih, nadanya gemetar. “Itu…”“Aku tahu,” potong Rafa pelan. Tangannya menggenggam kemudi lebih erat.Dari kejauhan, bayangan seorang pria tampak berdiri di sisi mobil, menyandarkan tubuhny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status