Edo berulangkali mencari posisi yang pas agar matanya bisa terpejam, jam dua dini hari, artinya beberapa jam lagi waktu subuh akan datang.
Percakapan dengan wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Anita itu masih terngiang-ngiang sampai saat ini."Pekerjaan? Mbak serius?" Dia menjawab antusias, Anita terseyum tipis. Lalu mengangguk mantap."Iya, pekerjaan, dengan gaji yang bisa kamu tuliskan berapa yang kamu mau."Edo melebarkan matanya, apa yang dibicarakan wanita ini terdengar mustahil, tapi melihat kendaraan yang dimilki Anita, Edo tau wanita ini bukan orang sembarangan."Kalau boleh tau, apa pekerjaannya?" tanya Edo penuh semangat."Menjadi pacar pura-pura aku." Anita menjawab santai, dia berkata dengan enteng, sambil menghabiskan coklat panas yang tersisa.Wajah semangat Edo berubah surut."Maaf, saya tak bisa.""Alasanmu? Bukannya kau bilang tak punya pacar, tak pernah menikah, apalagi duda. Kenapa tak bisa?""Saya tak mau menjadi pembohong. Pacaran itu harus dengan hati."Anita tertawa remeh, bahkan dia tak bisa menyembunyikan senyum gelinya sendiri."Hei, Edo. Kamu pikir aku lagi menembak kamu? Mikirnya kejauhan. Aku cuma butuh, pacar pura-pura, untuk kuperkenalkan pada ayahku, agar dia berhenti menjodohkan aku dengan laki-laki tak berguna itu. Faham, kan? Jadi jangan pikir, aku tertarik sama kamu." Anita menghabiskan tawanya.Edo menunduk, wanita di depannya ini benar, dia hanya pengamen jalanan yang kebetulan bertemu dengan wanita kaya."Ini kartu nama aku, jika kamu berubah pikiran, jangan sungkan untuk menelpon." Jari lentik Anita menyodorkan kartu namanya ke hadapan Edo."Sebagai bahan pertimbangan, aku akan kasih DP sepuluh juta jika kamu setuju. Jika tidak, aku akan cari laki-laki lain." Anita bangkit, mengambil tas kecilnya, wanita itu menuju meja kasir dan membayar tagihan tanpa menoleh lagi ke belakang."Sepuluh juta? Banyak hal yang bisa dilakukan dengan uang sepuluh juta, salah satunya mendapatkan tempat tinggal yang layak," gumam Edo sendiri. Matanya mengamati tempatnya berdiam selama ini, bangunan dengan ukuran tak lebih dari dua kali tiga meter itu, terasa sesak dan pengap, dapur dan kamar mandi menyatu. Bahkan kasur yang ditidurinya berada persis di samping kompor.Edo melihat Rini, adiknya, gadis kecil itu meringkuk memeluk dirinya sendiri di dekat Edo."Aku rasa, tawaran itu tidak buruk," gumam Edo lagi.***Edo mencocokkan alamat dengan gedung berlantai enam itu. Prima design, itu namanya, cocok dengan kartu nama yang dipegang oleh Edo.Edo melangkah walau ragu, dia melewati pintu kaca dan langsung disambut oleh satpam. Edo tau, dia dipandang aneh oleh satpam itu, mungkin karena dia hanya memaki celana jins belel dan baju kaus yang warnanya telah pudar."Maaf, mau cari siapa, ya?"Nada itu terkesan menyelidik. Langkah Edo terhenti."Saya disuruh menemui ini," sahut Edo sambil menyerahkan kartu nama milik Anita. Pria bertubuh gemuk itu memandang Edo dan kartu nama secara bergantian."Tunggu di sini! Siapa namamu?""Baik, Pak. Saya Edo."Edo berdiri menunggu persis di dekat pintu kaca, tatapan heran dan ingin tau selalu mengarah padanya. Sebagian besar dari mereka berpakaian rapi dan modis. Ada juga berpakaian gaul, tapi baju yang digunakannya jelas barang bermerek."Mas sudah ditunggu, di lantai dua. Mas lihat saja ruangan yang pintunya memakai cat warna ungu muda.""Makasih, Pak." Edo tersenyum semringah.Dari pada mengunakan lift, Edo lebih memilih menggunakan tangga manual. Lantai dua itu ternyata berisi beberapa meja kerja yang orang-orangnya fukos dengan komputer masing-masing. Sama sekali tak mengacuhkan Edo.Edo melihat, ada satu ruangan yang sama persis seperti yang dijelaskan oleh Pak Satpam. Pintu dengan cat ungu muda.Edo mengetuk perlahan, terdengar sahutan dari dalam."Masuk!"Tampaklah seorang wanita berkaca mata tengah sibuk mencoret-coret sebuah kertas yang dibentangkan di meja berukuran lebar."Permisi." Edo masuk dengan canggung.Wanita itu mengenakan blezer biru laut dengan tanktop hitam di bagian dalam, dipadukan dengan celana dasar bewarna hitam. Rambutnya yang panjang bewarna cokelat tua diikat sebagian, dan sisanya menjuntai di punggung."Silahkan duduk! Aku tau kamu akan datang," kata Anita dengan senyum menang, dia menaruh pensil di tangannya di atas meja komputernya."Jadi, saya ingin tau, pekerjaan apa." Edo tak ingin berbasa-basi. Edo merasa, aura penguasa wanita di depannya cukup kuat, dia selalu menatap lawan bicara tepat di mata dan memberikan kesan intimidasi."Santai dulu, kamu mau minum apa?""Tidak usah."Anita tersenyum tipis."Baik, saya akan jelaskan.""Sah."Suara saksi menggema memenuhi ruangan khusus di rumah Anita. Wanita itu sampai memejamkan matanya, seakan ada beban berat yang tengah menghinggapinya. Tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini, tak ada yang tersenyum kecuali Rini. Gadis itu tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dia terlalu lugu dan polos untuk memahami situasi. Bahkan, ayah dan ibu Anita, sama sekali tak membuka suara sejak tadi pagi, Taksa menunjukkan wajah tegang, Irma setia dengan kebungkamannya. Sedangkan Edo, tak sekalipun mengeluarkan kata-kata, kecuali kalimat sakral barusan.Tak ada resepsi, tak ada foto bersama, semua murni karena pernikahan yang dianggap sebagai penutup malu. Bahkan, ibunya dan Irma yang biasanya rajin memasak makanan, sepagi ini sama sekali tak menyentuh dapur. Lantunan doa yang dilafazkan penghulu, hanya diaminkan oleh beberapa orang. Tentu saja, siapa yang bahagia dengan pernikahan siri. Pernikahan terpaksa itu, hanyalah seremonial bagi keluarga Anita. Mereka berha
Dua anak manusia itu, memandang ke arah yang sama. Hamparan biru laut yang cerah sejernih langit, deburan teratur serta aroma garam yang tercium pekat. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar mendinginkan kepala yang panas. Setidaknya bisa bernafas dengan bebas setelah menahan hati selama diintrogasi.Anita masih dengan gaun merahnya, rambut yang disanggul tadi pagi sudah tak berbentuk. Sebagian masih berada di posisinya dan sebagian lagi telah lepas dari ikatannya. Besok? Mereka akan menikah besok, bukankah ini terlalu cepat? Bahkan Anita tak menduga akan secepat ini, dalam prediksinya, dia akan menikah dengan Edo, paling cepat dua Minggu lagi. Keputusan ayahnya membuat mereka syok."Besok kita akan menikah," kata Anita membuka percakapan. Ada senyum getir di bibirnya. Matanya memandang ke samping, pada Edo yang masih menampakkan wajah datar. Laki-laki itu sepertinya masih tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dia dikatai seorang penipu, apa yang lebih kasar dari kata seorang peni
"Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-
Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d
"A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri
Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."