Share

HIdup Bahagia

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2024-07-14 00:33:47

Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.

Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak.

"Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.

Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."

Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya.

"Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.

Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."

Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.

Anisa tersenyum lebar mendengar interaksi suami dan anaknya. Hatinya dipenuhi rasa syukur atas keluarga kecil yang dimilikinya. Adrian mungkin bukan pria terkaya atau paling tampan, tapi baginya, suaminya adalah yang terbaik.

"Lihat siapa yang sudah wangi dan ceria," Adrian muncul di dapur dengan Alisha dalam gendongannya. Bayi mungil itu tertawa-tawa, tangannya menggapai-gapai ke arah ibunya.

Anisa menghampiri mereka, memberikan kecupan di pipi putrinya yang chubby. "Terima kasih sudah membantu, Adrian. Aku tidak tahu bagaimana jadinya tanpamu."

Adrian tersenyum lembut. "Hey, kita tim, ingat? Lagipula, aku suka menghabiskan waktu dengan putri kecil kita."

Mereka duduk di meja makan, Adrian masih menggendong Alisha sementara Anisa menyiapkan sarapan. Sesekali mereka tertawa melihat tingkah lucu putri mereka.8

Saat mereka sedang berbincang santai di meja makan, Anisa tiba-tiba teringat sesuatu.

"Oh iya, Adrian," ujarnya sambil mengelap mulut Alisha yang belepotan bubur. "Aku mau minta izin untuk pergi ke supermarket hari ini. Persediaan kita sudah banyak yang habis, terutama popok Alisha. Tinggal satu lagi."

Adrian mengangguk, lalu menawarkan, "Bagaimana kalau kita pergi bersama nanti setelah aku pulang kerja? Kita bisa sekalian makan malam di luar."

Anisa tersenyum lembut, menghargai niat baik suaminya. "Terima kasih sayang, tapi tidak usah. Kamu pasti capek setelah bekerja seharian. Lagipula, popok Alisha tidak akan cukup kalau harus menunggu sampai kamu pulang."

"Ah, kamu benar," Adrian mengangguk paham. "Kalau begitu, pakai saja mobil kita ya? Aku bisa naik transportasi umum ke kantor."

Anisa terlihat ragu sejenak. "Umm... kurasa aku akan naik taksi saja."

Adrian mengerutkan dahinya, sedikit bingung. "Kenapa? Apa kamu... malu menggunakan mobil tua kita?"

Mendengar pertanyaan itu, Anisa tertawa kecil. Dia meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat. 

"Sayang, bukan begitu," jawabnya dengan senyum indah yang selalu membuat Adrian terpesona. "Aku tidak pernah malu dengan apa yang kita miliki. Mobil itu hasil kerja keras kita berdua."

"Lalu kenapa?" tanya Adrian, masih penasaran.

Anisa terkekeh pelan. "Kamu ingat kejadian minggu lalu? Saat mobil itu tiba-tiba mogok di tengah jalan? Aku panik setengah mati! Aku kan tidak mengerti apa-apa soal mesin. Takutnya kalau terjadi lagi saat aku sendirian dengan Alisha."

Adrian tertawa mendengar penjelasan istrinya. "Ah, iya ya. Aku lupa kejadian itu. Maaf ya, harusnya aku segera membawanya ke bengkel."

"Tidak apa-apa," Anisa tersenyum menenangkan. "Yang penting kita masih punya kendaraan untuk dipakai. Tapi untuk hari ini, izinkan aku naik taksi saja ya? Lebih aman untuk Alisha juga."

Adrian mengangguk setuju. "Baiklah kalau begitu. Tapi jangan lupa selalu hubungi aku ya. Kabari kalau sudah sampai di supermarket dan saat mau pulang."

"Siap, Pak Suami," canda Anisa, memberi hormat main-main yang membuat Adrian tertawa.

Mereka melanjutkan sarapan dengan obrolan ringan, diselingi celotehan dan tawa Alisha yang menggemaskan. Meskipun hidup mereka sederhana, kebahagiaan terpancar jelas dari interaksi keluarga kecil ini.

Siang itu, Anisa akhirnya tiba di supermarket yang berada di sebuah mall dekat rumahnya. Alisha tertidur pulas di kereta bayi, membuat Anisa bisa berbelanja dengan lebih leluasa. Dia mendorong kereta belanjanya menyusuri lorong-lorong supermarket, mengambil barang-barang yang dibutuhkan.

"Popok... susu... deterjen..." Anisa bergumam pada dirinya sendiri, mengecek daftar belanjaan di ponselnya.

Setelah mengambil sebagian besar barang yang diperlukan, Anisa merasa haus. Dia mendorong kereta belanjaannya menuju bagian minuman dingin. Matanya tertuju pada sebuah botol air mineral di rak pendingin.

Anisa mengulurkan tangannya, bermaksud mengambil botol tersebut. Namun, tepat pada saat yang sama, sebuah tangan lain juga terulur, hendak mengambil botol yang sama.

"Oh, maaf," Anisa refleks menarik tangannya dan membatalkan niatnya mengambil minuman itu. Dia menoleh, bermaksud mempersilakan orang itu untuk mengambil botol minuman terlebih dahulu.

Namun, begitu matanya bertemu dengan sosok di sampingnya, Anisa terkesiap. Matanya membelalak lebar, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. Wajahnya seketika memucat, seolah baru saja melihat hantu.

"Kamu..." kata itu meluncur pelan dari bibir Anisa, suaranya hampir seperti bisikan.

Sosok di hadapannya juga tampak sama terkejutnya. Mereka berdua terpaku, saling menatap dalam diam yang mencekam. Waktu seolah berhenti bergerak di sekitar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Pegawai Biasa   Kesedihan yang Menyisakan Pelajaran

    Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru

  • Suamiku Bukan Pegawai Biasa   Penyesalan

    Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A

  • Suamiku Bukan Pegawai Biasa   Daniel melakukannya

    Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d

  • Suamiku Bukan Pegawai Biasa   Misi penyelamatan

    “Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama

  • Suamiku Bukan Pegawai Biasa   Keadaan semakin genting

    “Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it

  • Suamiku Bukan Pegawai Biasa   Alisha di culik

    Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status