Home / Romansa / Suamiku Bukan Petani Teh Biasa / 7. Ancaman Terselubung.

Share

7. Ancaman Terselubung.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2023-04-11 13:04:21

"Jalani saja takdirmu. Siapa tahu di sana  kamu justru menemukan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan di sini. Sana, temui Bagas. Nanti Ibu menyusul."

Bu Ningsih segera melepaskan pelukan Lara. Banyak hal yang harus ia persiapkan sehubungan dengan rencana yang telah ia susun bersama Sesil.

Dengan lesu Lara menggeret koper pinjaman dari Sesil. Ia menatap seantero kamarnya sekali lagi sebelum berjalan ke rumah utama. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa ke kamar ini lagi atau malah berakhir di penjara nantinya.

 ********

"Mbok, sini sebentar." Sesil melambaikan tangan pada Mbok Ningsih dari koridor ruang tamu.

"Ada apa, Non?" Bu Ningsih menghampiri Sesil. 

"Ada yang ingin gue bicarakan. Rencana kita berubah," bisik Sesil perlahan. Ia takut Lara mendengar rencananya.

"Kurung Lara di kamar gue dulu, Mbok. Gue takut ntar dia kabur," bisik Sesil lagi. Bu Ningsih mengangguk. Apa yang Sesil ucapkan masuk akal. Kalau Lara kabur, rencana mereka sudah pasti gagal total.

"Kamu ikut Ibu dulu sebentar ke kamar Non Sesil." Bu Ningsih menghela lengan Lara. 

"Ngapain Lara di kamar Non Sesil, Bu? Nanti kalau ada barang yang hilang, Non Sesil akan menuduh Lara lagi." Lara menahan langkahnya. Ia trauma selalu dituduh pencuri oleh Sesil saat mereka remaja.

"Sudah, jalan saja. Jangan banyak protes!" Bu Ningsih mencengkram pergelangan tangan Lara. Menariknya paksa ke kamar Sesil. Setelah Lara masuk, Bu Ningsih secepat kilat mengunci pintunya dari luar. Lala terperanjat. Mengapa ia dikunci.

"Lho, Bu. Kok Lara dikunci sih?" Lara memutar-mutar pegangan pintu. Ia panik karena dikunci seperti tawanan begini.

"Tunggu saja sebentar di situ. Ibu bicara dengan Non Sesil dulu!" hardik Bu Ningsih. Ia kemudian tergopoh-gopoh menemui Sesil yang sudah menunggu di koridor.

"Ada ada, Non? Perubahan rencana bagaimana yang Non maksud?"

"Ayah tadi baru saja menelepon. Menanyakan soal kesediaan gue menerima lamaran si petani. Gue keceplosan bilang kalo gue bersedia dinikahin kapan saja. Karena gue pikir toh yang akan menjalaninya si Lara."

"Terus?" Bu Ningsih penasaran.

"Ya terus gue paniklah. Karena ayah langsung menelepon Pak Jaya. Bilang kalo gue bersedia menerima perjodohan ini."

"Lah, berarti rencana sesuai dong, Non. Kan Lara yang akan menggantikan posisi Non di Yogya sana?" Bu Ningsih mengernyitkan kening. 

"Mbok ini gimana sih? Ya nggak sama lah. Masa gue masih ada di rumah padahal Pak Jaya bilang gue udah ikut anaknya ke Yogya? Mikir, Mbok?" Sesil menunjuk kepalanya. Orang kalau tidak makan bangku sekolahan memang suka telat mikirnya.

"Oh iya ya, Non." Bu Ningsih menyadari kesalahannya. Walau Lara sudah menggantikan posisi Sesil, tapi Sesil tidak boleh ada di rumah ini. Itu artinya Sesil harus pergi juga.

"Jadi bagaimana, Non? Non akan ke mana?" Bu Ningsih kebingungan.

"Santai, Mbok. Justru ini yang gue idam-idamkan sedari dulu. Gue akan tinggal sendiri di tempat yang gue mau. Gue akan bebas lepas bagai burung lepas tanpa ada aturan ini itu dari ayah dan ibu. Gue merdeka, Mbok!" Sesil tertawa gembira. Ia akan menjalani hidup seperti yang ia inginkan.

"Jadi--jadi Non akan pergi jauh dari, Mbok?" Bu Ningsih sedih. Ia tidak mau jauh-jauh dari anak majikannya ini.

"Ya iyalah. Kalo nggak, rencana kita ini ya ketahuan. Mbok ini bagaimana sih?" Sesil memutar bola mata.

"Ayo kita ke kamar. Setelah Lara pergi, Mbok bantu gue untuk berkemas-kemas secepatnya." Sesil menarik tangan Mbok Ningsih dengan gembira. Ia sudah tidak sabar untuk keluar dari rumah di mana ia merasa bagai burung dalam sangkar emas ini.

Sementara di belakangnya, Bu Ningsih tertunduk sedih. Ia mengabdi hampir dua puluh satu tahun lamanya di rumah ini karena ingin selalu berdekatan dengan Sesil. Kalau Sesil pergi, tidak ada yang tersisa di hatinya. Karena separuh belahan jiwanya telah meninggalkannya.

***

Lara menarik napas panjang tiga kali sebelum melangkah ke ruang tamu. Dengan koper mewah pinjaman dari Sesil, Lara berjalan seraya menggeret koper. Perjalanan menantang takdirnya akan segera dimulai. 

Kehadirannya disambut oleh sepasang mata tajam yang menatapnya penuh spekulasi. Sejenak Lara terkesima. Ia sama sekali tidak menyangka kalau penampakan seorang petani ndeso seperti yang dikatakan Sesil, segagah ini. Bagas mengenakan kemeja lengan panjang yang ia gulung hingga sebatas siku dan celana pantalon hitam. Alih-alih petani, penampilan Bagas malah menyerupai seorang eksekutif muda.

"Terus terang saja pada saya. Sebenarnya kamu punya cacat apa sampai kamu meminta saya menikahimu secepatnya padahal kamu tidak mengenal saya. Melihat saya pun, kamu baru kali ini bukan?"

Lara mematung. Ia tidak menyangka akan langsung diserang dalam pertemuan pertamanya dengan Bagas. Bagas tidak menyetujui perjodohan ini rupanya.

"Konon katanya, kamu adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sebentar lagi menjadi seorang sarjana. Ekspektasi saya, kamu adalah seorang perempuan cerdas yang berpikiran terbuka. Yang sudah pasti akan menentang perjodohan tidak masuk akal seperti ini. Tapi kenyataannya?" Bagas mengedikkan bahu. Mengejek Lara dengan tatapan melecehkan sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kamu malah langsung menenteng koper meminta saya nikahi. Padahal tujuan saya ke sini tanpa ayah saya, karena saya ingin berekonsiliasi denganmu. Saya ingin mengajakmu menentang perjodohkan ini pada orang tua kita masing-masing. Ekspektasi saya terhadapmu ketinggian rupanya," dengkus Bagas muak.

Seperti ini rupanya kualitas perempuan yang ayahnya gadang-gadang sebagai perempuan cerdas yang pasti akan melahirkan anak-anak yang cerdas pula. Perempuan cerdas apa?  Alih-alih menjumpai perempuan kota yang kritis dalam menyuarakan kebebasan memilih pasangan, ia malah dihadapkan para perempuan lemah putus asa bagai kerbau dicucuk hidungnya.

Cengkraman Lara pada troli koper menguat. Harga dirinya terlukai. Ia tidak terima dianggap serendah itu oleh Bagas. Perlahan Lara mengangkat wajahnya. Dengan berani ia menantang tatapan merendahkan Bagas. Sepersekian detik Bagas terhenyak. Berbanding terbalik dengan sikap pasrahnya dijodohkan, tatapan mata perempuan ini sangat garang. 

"Kamu juga punya cacat apa sampai kamu mau-maunya dijodohkan dengan saya?" balas Lara dingin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   110. Akhir Bahagia ( END)

    Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108. Penghakiman Di Dunia.

    "Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108..Berani Berbuat, Berani Bertanggung Jawab.

    "Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   107. Menjalani Sisa Takdir.

    "Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   106. Kebahagiaan Lara.

    "Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   105. Mencicil Takdir.

    "Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status