Share

8. Terpaksa.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2023-04-11 13:04:51

"Kamu tadi bilang sengaja datang ke sini tanpa ayahmu, karena ingin mengajak saya berekonsiliasi menantang perjodohan ini. Kamu tidak punya cukup keberanian untuk menantang ayahmu secara terbuka ya? Makanya kamu mengajak saya untuk mengeroyok ayahmu? Saya tidak tahu harus berekspektasi apa terhadapmu." Lara membalikkan sindiran Bagas telak.

"Ehm... Ehm... Non Sesil, Pak Bagas, apa tidak sebaiknya berangkat sekarang? Takutnya nanti kemalaman di jalan." Bu Ningsih memotong percakapan yang mulai memanas antara Lara dan Bagas. Khusus pada Lara, Bu Ningsih memberinya tatapan mengancam. Lara ini memang keras hati. Susah sekali membungkam mulut besarnya.

"Ibu benar. Baiklah, kami akan berangkat sekarang. Sepertinya Sesil sudah tidak sabar menjadi istri saya secepatnya. Kami permisi dulu ya, Bu?" Bagas beringsut dari sofa. Ia ngeloyor ke depan tanpa melirik sedikit pun pada Lara yang kesulitan berjalan dengan koper besar di belakangnya.

"Kamu ini tidak bisa dibilangin ya?" Bu Ningsih menjewer telinga Lara gemas begitu bayangan Bagas menghilang.

"Aduh! Sakit, Bu." Lara meringis. Ibunya memutar daun telinganya terlebih dahulu baru menjewernya. Sakitnya dua kali lipat dari jeweran biasa.

"Rasakan, karena kamu terus saja mencari-cari masalah. Tidak bisa ya kamu diam dan menutup mulutmu saja? Bagaimana kalau Bagas nanti curiga dan mengetahui semuanya? Bisa-bisa ayahmu nanti hanya tinggal nama. Awas, jangan macam-macam kamu di Yogya sana!" Bu Ningsih memperingati Lara sekali lagi. 

"Iya, Bu. Lepaskan telinga Lara. Sakit." Lara meringis.

"Makanya kamu jangan bertingkah. Kamu dengar tadi apa yang Non Sesil bilang bukan? Bahwa setelah ayahmu dioperasi pun, ayahmu masih harus menjalani serangkaian perawatan panjang di rumah sakit. Dan itu semua memerlukan biaya yang mahal. Jadi kalau sampai penyamaranmu ketahuan, maka nyawa ayahmu bisa melayang. Paham kamu?"

Bu Ningsih melepas jewerannya setelah memberi Lara ancaman. 

Lara tercekat. Ia lupa kalau nyawa ayahnya ada di pundaknya saat ini. Kalau ia terus saja melawan Bagas, nyawa ayahnya bisa melayang. Masalahnya Bagas terlalu merendahkannya, sehingga ia menjadi emosi.

"Paham, Bu. Tolong bilang pada Non Sesil dan Pak Hardi. Lara janji, Lara akan menuruti semua keinginan mereka asal perawatan ayah jangan dihentikan." Lara kini pasrah. Demi ayahnya ia akan diam saja meski dianggap buruk oleh Bagas. Yang penting ayahnya bisa tetap hidup.

"Bagus. Turuti dan mengalah saja pada Bagas. Dengan begitu keadaan ayahmu akan aman." Bu Ningsih akhirnya bisa menarik napas lega. Lara ini kalau sudah berjanji, pasti akan ia tepati. 

"Kamu akan menikah dengan wali hakim karena Pak Hardi sedang di Bandung. Pak Hardi dan Pak Jaya sudah mengurus semuanya. Kamu tinggal terima beres dan tutup mulut saja. Mengerti?" tandas Bu Ningsih lagi. Lara tidak menyahuti kata-kata ibunya. Sebagai gantinya ia mengangguk saja.

"Kamu jadi ikut saya ke Yogya tidak?" Terdengar seruan Bagas dari halaman rumah. 

"Sana, Bagas sudah memanggilmu." Bu Ningsih membuat gerakan mengusir dengan tangannya. 

"Bu, kalau nanti ayah siuman, kabari Lara ya? Biar Lara tenang." Lara menitip pesan sebelum mendorong kopernya. Bagas telah berkali-kali membunyikan klakson mobilnya. 

"Iya... iya... sana cepat, Bagas sudah memanggil," seru Bu Ningsih tidak sabar. 

"Cepat naik kalau kamu tidak mau saya tinggal!" bentak Bagas seraya membunyikan klakson panjang. Tergopoh-gopoh Lara menghampiri mobil Bagas di halaman. Ia kemudian membuka bagasi mobil besar Bagas. Mengangkat koper besarnya dengan susah payah dan segera menutupnya setelah kopernya aman di dalamnya. Lara mengitari mobil dan duduk di samping Bagas. Sejurus kemudian mobil pun melaju. Lara memandangi rumah besar yang selama dua puluh tahun lamanya Lara tinggali hingga mengecil dan tak tampak lagi. 

"Lehermu bisa patah kalau kamu terus memandangi rumahmu," ejek Bagas lagi. Ia heran melihat sikap gadis yang duduk di sampingnya ini. Tadinya Sesil begitu bersemangat mengikutinya pulang. Namun kini ia terlihat sangat tertekan. Seolah-olah ia tidak rela meninggalkan rumah mewahnya. Apa sebenarnya yang ada di benak Sesil ini?

Ocehan Bagas tidak lagi ditanggapi oleh Lara. Seperti janjinya pada sang ibu ia akan menahan semua dera dan siksa dari Bagas. Ia akan menjadi orang bisu, tuli dan buta. 

"Kenapa kamu diam? Tidak punya mulut?" Bagas gemas karena Sesil menganggapnya angin lalu belaka.

"Saya tidak mau menjawab pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban," sahut Lara getir. Ia tidak berhasrat untuk menyindir atau menantang Bagas lagi. Ia sudah pasrah pada nasibnya. 

"Baik. Kalau begitu saya juga tidak akan berbasa basi lagi denganmu." Bagas tiba-tiba saja menghentikan laju kendaraannya. Ia ingin berekonsiliasi dengan Sesil sebelum mereka berdua resmi menikah.

"Saya tidak mencintaimu," tandas Bagas terus terang.

Lara menghela napas. Tidak bisa seperti ini. Nanti, yang ada pernikahan ini batal dan membuat Sesil, serta ibunya marah. "Tapi, saya mencintaimu. Makanya saya ingin secepatnya menikah denganmu."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   110. Akhir Bahagia ( END)

    Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108. Penghakiman Di Dunia.

    "Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108..Berani Berbuat, Berani Bertanggung Jawab.

    "Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   107. Menjalani Sisa Takdir.

    "Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   106. Kebahagiaan Lara.

    "Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   105. Mencicil Takdir.

    "Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status