Lara merasa hidupnya mirip dengan kisah-kisah sinetron ikan terbang di televisi. Ibu kandungnya lebih menyayangi Sesilia, anak sang majikan, dibanding dirinya sendiri. Setiap kali terjadi perselisihan, sang ibu sudah pasti berada di pihak Sesil. Namun, Lara benar-benar tidak bisa mentolerir keputusan sang ibu yang memintanya untuk menukar identitas dengan Sesil. Katanya, perempuan itu tak sudi dinikahi seorang petani biasa, seperti Bagas Antareja. Jadi, Lara harus menggantikannya meski sudah memiliki kekasih hati. Lantas, bagaimana nasib Lara yang dianaktirikan oleh ibunya sendiri? Lalu, apakah Bagas juga akan mengusirnya setelah mengetahui bahwa pengantinnya telah tertukar?
Lihat lebih banyak"Demi Allah, Bu Shinta. Bukan Lara yang mencuri jam tangan Non Sesil. Lara berani bersumpah!" Dengan mata sembab Asmaulara Husna kembali mengulangi kata-kata yang rasanya sudah puluhan kali ia ulang sejak dari rumah tadi.
Sesilia Hadinata, anak majikannya menuduhnya mencuri jam. Lara baru saja pulang sekolah dan masuk dari pintu samping, saat Sesil tiba-tiba merebut tas ranselnya. Sesil kemudian membalik tas dan menumpahkan segala isinya ke lantai. Di sana, di antara buku-buku pelajaran dan alat-alat tulisnya yang berserakan, terselip sebuah jam tangan mahal. Jam tangan milik Sesil.
Sesil lantas menuduhnya mencuri jam tangan barunya. Karena Lara tidak bersedia mengakui perbuatan yang memang tidak ia lakukan, Sesil membawanya ke rumah sakit di mana dokter Shinta, ibu Sesil praktek.
Lara mengerti, Sesil ingin mengadukannya pada dokter Shinta. Sesil juga membawa serta ibunya yang selama ini mengasuh Sesil sedari bayi merah. Dengan disopiri oleh sang ayah, yang juga bekerja sebagai supir di keluarga Hadinigrat ini, Sesil memboyong semua keluarganya ke rumah sakit. Dan di rumah sakit inilah sekarang dirinya, Sesil dan ibunya berada. Di Rumah Sakit Jiwa Harapan Kita tempat dokter Shinta praktek.
"Bohong! Kalau bukan lo yang mencurinya, bagaimana mungkin jam itu ada di tas lo? Apa jam gue itu punya kaki? Coba jawab!" Dengan geram Sesil menarik keras kuncir kuda Lara sekuat tenaga. Tak ayal kepala si empunya rambut tertarik keras ke belakang.
"Aduh! Sa--sakit, Non Sesil. Lepasin, Non." Lara meringis kesakitan. Kulit kepalanya serasa tercabut berikut kuncir kudanya.
"Nggak akan gue lepasin, sebelum lo ngaku, pencuri. Hayo ngaku!" Alih-alih melepaskan, Sesil menarik kuncir kuda Lara kian keras.
"Apa yang harus saya akui. Saya benar-benar tidak mencuri jam tangan Non Sesil. Mengenai mengapa jam itu ada di tas saya, saya juga tidak tahu, Non. Sumpah!" Lara tetap menyangkal apa yang memang tidak ia lakukan.
"Kalau kamu memang mencurinya, akui dan kemudian minta maaf, Lara. Jangan ngeyel seperti ini." Bu Ningsih memarahi putrinya. Ia sangat malu pada dokter Shinta karena merasa tidak becus mendidik anak.
"Tidak, Bu. Lara bukannya ngeyel. Lara memang tidak pernah mengambil apapun yang bukan milik Lara. Demi Allah Lara bersumpah!" Lara sangat sedih karena ibunya pun tidak mempercayainya. Selalu seperti ini. Jikalau ia masalah dengan Sesil, ibunya cenderung menyalahkannya, tanpa mau mendengar penjelasannya. Ibunya terlalu takut dipecat oleh keluarga Hadinata
Mendengar Lara terus membela diri, Sesil berdecih. Ia benci sekali kepada anak pengasuhnya ini.
"Kalau tidak, mengapa jam itu ada di dalam tas lo, anak babu?!" sembur Sesil lagi.
"Saya tidak tahu, Non. Lagi pula, logikanya kalau saya mencuri, untuk apa saya menyembunyikannya di tempat yang mudah ditemukan?"
"Pinter ngomong lo, anak babu!" Sesil menarik sekali lagi kuncir kuda Lara.
"Sesil, kamu tidak boleh kurang ajar seperti itu. Mbok Ningsih itu pengasuhmu sedari bayi. Lagi pula Mbok Ningsih itu teman kecil Ibu. Ibu tidak suka kalau kamu bersikap kurang ajar begitu. Minta maaf pada Mbok Ningsih!"
Dokter Shinta berdiri dari kursinya. Sesil memang anak kandungnya. Namun ia tidak suka kalau Sesil menghina Ningsih. Sesil ini memiliki perangai yang kurang baik. Terlahir sebagai anak tunggal, menjadikan Sesil tumpuan segala cinta Hardi, suaminya. Akibatnya Sesil tumbuh menjadi anak yang tinggi hati, egois dan minim empati.
"Sudah, Bu Shinta. Tidak apa-apa. Memang saya yang salah karena tidak becus mengurus anak. Jangan memarahi Non Sesil. Kasihan dia."
Dokter Shinta menghela napas panjang. Tindakan pembenaran Bu Ningsih akan segala kesalahan Sesil seperti inilah yang membuat Sesil besar kepala. Sesil jadi tidak menyadari kesalahannya. Bu Ningsih, teman lamanya sekaligus pengasuh Sesil, terlalu memanjakan Sesil.
"Sudah berulangkali aku katakan. Jangan menyela apapun yang aku perintahkan pada Sesil. Kenali batasanmu, Sih!" Dokter Shinta memberi Bu Ningsih peringatan keras.
Bu Ningsih terdiam. Ia tidak berani lagi menyela. Kalau sedang memarahi Sesil, dokter Shinta tidak suka disela.
"Kamu tidak mendengar apa yang Ibu perintahkan, Sesil?" Dokter Shinta menatap tajam putrinya. Ada ancaman nyata di kedua bola mata mamanya. Jika keinginan mamanya tidak ia laksanakan, ia pasti akan menerima hukuman. Lebih baik ia mengalah kali ini. Ia tidak sudi dihukum di depan mata anak pembantunya ini.
"Gue minta maaf, Mbok." Sesil meminta maaf dengan setengah hati.
"Yang benar minta maafnya. Jangan memakai kata gue pada orang tua." Dokter Shinta meminta Sesil mengulang permintaan maafnya.
"Saya minta maaf, Mbok." Apa boleh buat, Sesil terpaksa mengulangi permintaan maafnya.
"Kalau begitu kamu juga harus minta maaf pada Sesil, Lara. Akui perbuatanmu dan berjanjilah kalau kamu tidak akan mengulanginya lagi." Bu Ningsih meminta Lara melakukan hal yang sama.
"Lara tidak salah, Bu. Untuk apa Lara harus meminta maaf?" Lara menggeleng keras. Ia tidak bersedia meminta maaf untuk sesuatu yang tidak ia lakukan.
Plak!
Lara terkesiap. Ibunya menampar pipinya keras. Lara menatap ibunya dengan pandangan terluka. Selalu saja begini. Ibunya akan menganiayanya jika ia menolak permintaannya.
"Dasar anak tidak tahu diri. Sudah tertangkap basah, tapi masih saja tidak mau mengaku. Mau kamu Ibu hajar lagi? Ayo ngaku!" Bu Ningsih makin emosi. Lara ini keras kepala sekali. Susah sekali melenturkan sikap keras kepalanya.
"Lara memang tidak mencurinya, Bu. Ibu harusnya percaya pada Lara. Lara ini anak kandung Ibu. Kewajiban Ibu adalah melindungi Lara. Bukan sebaliknya!"
Tidak tahan terus ditekan, emosi Lara meledak. Tidak masalah bagi Lara kalau orang lain tidak mempercayainya. Ia peduli akan asumsi mereka, selama ia tidak melakukan kesalahan. Tapi kalau ibunya, ia tidak terima. Hakekatnya seorang ibu adalah memberikan cinta dan perlindungan pada anaknya bukan?
Plak!
Ibunya kembali memberikan tamparan kedua. Lara memandang lurus ke depan dengan mulut terkatup rapat. Ia tidak mau lagi memohon pada sang ibu.
"Kenapa kamu tidak mau memandang Ibu? Oh kamu mau melawan Ibu ya? Baik. Ayo sekarang kita pulang. Ibu akan menghajarmu habis-habisan di rumah nanti sampai kamu mengaku. Dasar anak tidak tahu diri!" Bu Ningsih makin geram. Keras kepala Lara ini entah menurun dari siapa. Yang pasti, bukan darinya.
"Sudah, Ningsih. Jangan memukuli Lara lagi. Mungkin ini hanya salah paham saja. Sekarang, kalian semua pulang dulu ke rumah. Masalah jam tangan ini aku anggap selesai sampai di sini. Jangan ada yang membahasnya lagi." Dokter Shinta melerai keributan di tempat prakteknya.
"Tapi, Bu--" Sesil membantah. Ia tidak puas pada reaksi mamanya.
"Cukup Sesil! Ibu tidak mau mendengar apapun lagi. Sekarang kalian semua pulang. Jangan merusuh di tempat ibu bekerja. Ayo kalian semua bubar. Dan kamu Ningsih, bersikap bijaklah. Kamu itu penggantiku di rumah saat aku sedang bekerja. Kalau ada masalah besar, kecilkan. Kalau hanya masalah kecil, upayakan menjadi tidak ada. Mengerti, Ningsih?" Dokter Shinta menegur Ningsih tegas.
Bu Ningsih tidak segera menjawab teguran dokter Shinta. Sejenak ia balas menatap dokter Shinta tajam sebelum akhirnya mengangguk singkat.
"Ayo, kita pulang Non Sesil, Lara." Bu Ningsih dengan kaku membalik badan. Sesil mengekori dengan wajah cemberut, diikuti Lara yang berjalan bagai robot. Lara sangat kecewa atas sikap ibunya.
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen