Esme tak sanggup berkata apa pun. Seluruh tubuhnya menegang, ingin menjauh tetapi tak mampu. Kehangatan Reinan begitu dekat, begitu nyata, seolah menyelimuti hatinya yang sangat rapuh.
“P-parfum ini buatan Mama,” suaranya keluar lirih, terbata. “Mama membuat banyak parfum dengan aroma unik. Kalau kamu mau, aku bisa membuatkan.”
Reinan menatapnya, alisnya berkerut dalam, seperti mencoba menangkap sesuatu di ingatan. Namun, beberapa detik kemudian, pelukan itu terlepas. Reinan membalikkan badan tanpa penjelasan, merebahkan kepala di bantal, lalu memejamkan mata.
“Aku suka aromanya… Tapi sekarang aku ngantuk,” gumamnya, lantas menarik selimut hingga ke dagu.
Esme menghela napas panjang, menatap punggung itu dengan dada berdebar tak karuan. Kehangatan yang baru saja menelannya kini terganti dengan jarak yang membingungkan.
Perlahan, ia menghela napas, meraba dadanya yang terasa sesak. Tatapan Reinan tadi, suaranya yang dalam, pelukan yang terlalu erat—semuanya membuat hatinya gamang. Reinan tampak polos, tetapi dalam sekejap ia bisa berubah, seolah ada sisi lain yang belum ia kenali.
Esme mencoba meyakinkan diri, mungkin Reinan bersikap begitu hanya karena terbiasa dengan wangi parfum. Bukankah keluarga Gunadi memang memiliki bisnis besar di bidang itu?
Selama beberapa saat, tatapan Esme jatuh pada Reinan yang sudah terlelap. Wajahnya teduh seperti anak kecil yang lelah bermain. Tanpa sadar, seulas senyum tipis muncul di bibir Esme.
Ia berusaha memejamkan mata juga, tetapi kantuk tak kunjung datang. Jam seperti ini biasanya ia sibuk melayani pelanggan di restoran, bukan berbaring di ranjang megah milik orang asing.
Tak ingin membuat Reinan terbangun, Esme meraih ponsel dan mulai membuka media sosial. Foto-foto gaun pesta memenuhi layar : potongan asimetris, detail lipit di bagian dada, warna-warna bold yang memukau.
Seketika, kerinduan menyesak di dadanya. Betapa ia ingin mendesain gaun seperti itu, mengejar mimpi kecil yang selama ini terkubur oleh keterbatasan yang tak pernah ia pilih.
Lamunannya buyar saat sebuah notifikasi muncul. Grup obrolan dengan Sela dan Seli menyala di layar.
Esme menahan senyum. Sela dan Seli adalah sahabatnya sejak kecil. Hanya mereka berdua yang bersedia menjadi teman dari seorang gadis tuli seperti dirinya.
Sela, si kembar gemuk yang tak pernah kehabisan kata, langsung mengetik:
[Esme, apa kamu jadi menikah dengan Reinan Gunadi?]
Seli, si kembar tinggi yang lebih pendiam, segera menimpali:
[Kamu baik-baik saja? Jangan sampai pria gila itu menyakitimu. Kami khawatir.]
Esme menelan ludah, jari-jarinya bergerak pelan.
[Iya, aku sudah menikah. Tapi, Reinan nggak gila. Dia hanya polos, seperti anak kecil. Suka bermain.]
Sela langsung mengetik:
[Apa dia jelek? Rambut acak-acakan? Nggak pernah mandi? Biasanya orang dengan gangguan mental seperti itu.]
Esme terkikik pelan, meski masih ada rasa getir yang menusuk di hatinya.
[Justru dia sangat tampan. Mirip aktor favorit kalian.]
Sekejap kemudian, deretan emotikon terkejut memenuhi layar.
[Hah? Kamu serius?]
Sela pun menulis:
[Kalau begitu, kirim fotonya sekarang. Atau kami akan datang ke rumahmu untuk mencari tahu!]
Esme menghela napas panjang. Dua sahabatnya itu tak akan tenang sebelum melihat sendiri wajah Reinan. Terpaksa, ia mengangkat ponsel, dan mengarahkan kamera ke arah Reinan yang terlelap di ranjang.
Tepat saat jari Esme menekan tombol potret, Reinan menggeliat pelan.
Jantung Esme serasa berhenti berdetak. Ia menahan napas, takut pria itu terbangun. Untungnya, Reinan hanya membalikkan badan dan kembali terlelap, napasnya teratur.
Tanpa membuang waktu, Esme mengirim foto itu ke Sela dan Seli. Dan, selang beberapa detik, ponselnya dibanjiri oleh pesan yang bertubi-tubi.
Seli:
[Kalau pria gilanya setampan ini, aku juga rela jadi istrinya!]
Sela menambahkan :
[Esme, kalau dia kekanak-kanakan, kamu yang harus mendidiknya jadi pria sejati!]
Esme menutup wajah dengan satu tangan. Jemarinya mengetik balasan seadanya:
[Bagaimana caranya?]
Seli mengetik:
[Tunggu sebentar. Kami akan mengirim panduan rahasia.]
Esme menelan ludah, matanya tak berani menatap layar. Ia tahu kedua sahabatnya itu tak pernah setengah-setengah kalau sudah berurusan dengan masalah cinta.
Beberapa detik kemudian, notifikasi baru berdatangan. Tiga tautan artikel muncul bersamaan.
Esme menatap judul-judulnya dengan mata membulat:
"7 Cara Merayu Pasangan Agar Makin Lengket."*
"Panduan Malam Pertama: Dari Persiapan Mental hingga Sentuhan Romantis."* "Langkah-Langkah Menggoda Suami.’Pipinya merona hebat. Tanpa pikir panjang, Esme langsung menghapus tautan-tautan itu, seolah sedang menyingkirkan sesuatu yang tak seharusnya ia lihat.
Dengan tangan gemetar, ia mengetik:
[Aku mau tidur dulu.]
Seli membalas :
[Baik. Tidurlah biar tenagamu cukup untuk malam pertama. Besok, jangan lupa kerja. Tante Yola marah karena kamu absen mendadak dari restoran.]
Esme menghela napas, menaruh ponsel di nakas. Ia melepas alat bantu dengar, lalu perlahan membaringkan tubuh di sisi ranjang.
Untuk sesaat, ia hanya menatap langit-langit. Ada debar aneh yang tak bisa ia usir, seakan seluruh kenyataan belum benar-benar ia terima. Dalam kelelahan, matanya pun terpejam.
Entah berapa lama ia terlelap, sampai sebuah hembusan hangat menyapu pipinya.
Ketika Esme membuka mata, pandangannya langsung bertemu wajah Reinan yang kini menunduk sangat dekat.
Lelaki itu sudah terjaga, kepalanya miring, bertumpu dengan satu siku. Reinan meniup rambut Esme dengan ringan, seperti anak kecil meniup kelopak bunga.
Esme sontak bangkit, duduk setengah panik. “R-reinan? Kamu sudah bangun?”
Reinan tidak menjawab langsung. Ia hanya menunjuk ke telinga Esme dan berkata dengan polos.
“Kamu nggak bangun-bangun, padahal ponselmu bunyi terus. Jadi, aku tiup-tiup saja.”
Buru-buru, Esme meraih alat bantu dengar dan memakainya.
“Maaf, aku nggak dengar,” gumamnya canggung.
Jantungnya kembali berdegup kencang saat mengecek ponsel. Puluhan pesan baru dari Sela dan Seli memenuhi layar, disertai satu video yang tampaknya terunduh otomatis.
Tanpa sengaja, jari Esme malah menekan ikon putar. Alhasil, suara narator terdengar jelas di keheningan kamar:
[Variasi posisi bercinta sangat penting, untuk menciptakan kedekatan emosional antara suami dan istri.]
“Astaga!”
Esme hampir menjatuhkan ponsel. Dengan gerakan gugup, ia menekan tombol berhenti dan mematikan layar. Wajahnya memerah semerah delima, panasnya menjalar sampai ke telinga.
Namun, yang membuatnya lebih gugup bukan hanya isi video—melainkan tatapan Reinan yang penuh rasa ingin tahu.
“Apa itu ... bercinta?" tanya Reinan, matanya berkedip dua kali.
Esme menelan ludah. Tangannya gemetar, sementara otaknya berputar cepat.
Apa yang bisa ia jelaskan pada pria sepolos anak kecil, sementara wajah dan sosoknya menyerupai tokoh utama dalam drama romansa?
"Kalau bercinta itu seru, aku mau mencobanya, Esme," imbuh Reinan, terlihat antusias.
Kalau kalian jadi Esme, jawaban apa yang akan kalian berikan? Yuk, komen dan berikan like serta gems setelah baca ya. Jangan lupa, simpan novel ini di pustaka kalian.
Isabella menatap wajah Reinan dengan mata berkaca. Jemarinya yang pucat masih mencengkeram lengan pria itu, seperti takut jika Reinan tiba-tiba menghilang lagi.“Kenapa semalam kamu pergi, Rein?” tanya Isabella dengan ekspresi sedih. “Apa kamu ingin menghindariku? Apa kamu keberatan kalau aku tidur di kamarmu?” cecar Isabella.Reinan menunduk sedikit. Ia balas menatap Isabella dengan wajah polos, yang biasa ia gunakan untuk menyamarkan kecerdasannya. “Nggak begitu, Bella. Aku sudah mengatakan semalam, kaamu boleh tidur di kamarku,”Isabella menggeleng cepat, tatapannya memanas. “Tapi, kenapa kamu malah pergi bersama Esme? Seharusnya, kamu menemaniku sepanjang malam.”Reinan tidak langsung menjawab. Ia bangkit sebentar, mengambil nampan di meja nakas yang masih penuh makanan tak tersentuh. Dengan gerakan tenang, Reinan kembali duduk di samping Isabella sambil menyendok mashed potato yang masih mengepulkan aroma hangat.“Makan dulu, tiga suap. Baru aku jawab pertanyaanmu.”Isabella me
Reinan menatap istrinya lekat-lekat, seolah ingin membaca isi hatinya yang terdalam. “Esme, kamu mendengar semuanya, kan?Esme mengangguk pelan. “Iya, aku mendengarnya.”Melihat kebimbangan di mata Reinan, Esme meraih tangan pria itu dan menggenggamnya erat. Ia yakin sang suami sedang mengalami dilema, antara keinginan menolong Isabella, tetapi juga khawatir membuatnya salah paham.“Pulanglah dan bantu Isabella, Rein. Dia teman masa kecilmu, pernah sangat dekat denganmu. Mungkin dia sangat kecewa karena kamu pergi tiba-tiba semalam,” tutur Esme. “Hanya kamu yang bisa membujuknya."Sorot mata Reinan meredup, tergores rasa bersalah dan kagum sekaligus. Tangannya terulur membelai pucuk kepala Esme dengan penuh kelembutan, seperti ingin mengabadikan kebaikan hati itu di dalam dirinya. “Kamu memang pantas menjadi Cinderella-ku,” tuturnya lirih. “Hati sebaik ini… hanya kamu yang punya.”Reinan merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam berkilau dari dalam dompet
Pagi itu, Esme terbangun oleh aroma manis vanila yang hangat. Lalu, dalam kondisi setengah sadar, ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya. Tatkala membuka mata, wajah Reinan sudah begitu dekat. Pria itu memberikan ciuman, seolah ingin membangunkannya dengan cara paling indah di dunia.Esme mengerjap, kaget sekaligus malu. Tubuhnya refleks terbangun, tetapi seketika ia tersadar, tak ada suara yang bisa ditangkap telinganya. Dunia terasa sunyi.Reinan justru tersenyum hangat. Dengan penuh kesabaran, ia memasangkan alat kecil di kedua telinga Esme. "Aku sengaja melepasnya semalam, supaya kamu bisa tidur dengan tenang," tuturnya lembut sambil menyentuh bibir Esme sekali lagi.Wajah Esme merona. Ingatannya langsung melayang pada malam panas yang mereka habiskan, di mana jiwa dan raganya telah benar-benar ia serahkan pada Reinan. Sebelum Reinan menggodanya, Esme menenggelamkan wajahnya ke dalam selimut, ingin bersembunyi dari tatapan pria itu.Namun, Reinan tak memberi celah. Ia menyiba
Mendengar tawaran tak terduga dari bibir Esme, Reinan berbalik perlahan, seakan ingin memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Ia menatap wajah mungil sang istri yang terlihat berani sekaligus rapuh.Saat tatapan abu-abu itu menancap padanya, Esme hampir tak bisa bernapas. Ada bara hasrat yang berpendar di mata Reinan. Sorot itu bagaikan lingkaran api, mengurung Esme tanpa memberi jalan untuk lari.Wajah tampan Reinan terukir oleh bias cahaya redup lampu nakas, menambah aura misterius sekaligus menggetarkan. Senyum tipis yang muncul di sudutnya justru membuat Esme semakin berdebar. Mustahil ada wanita yang sanggup bertahan, bila ditatap penuh damba oleh seorang pria seindah itu. Dalam diam, Reinan bergeser mendekat, hingga jarak di antara mereka kian menipis. Esme merasa seluruh pertahanannya runtuh dalam sekejap. Degup jantungnya terdengar jelas di antara hening kamar.“Kalau aku menerima hadiahmu, kamu nggak bisa menariknya kembali,” tutur Reinan dengan suara rendah.Kepala Esme
Lenguhan lirih dari bibir Esme membuat senyum Reinan merekah. Senyum itu tidak dingin, melainkan senyum seorang pria yang menemukan kepuasan, saat melihat betapa mudahnya ia meruntuhkan pertahanan sang istri.“Gambarmu mulai melenceng,” lirih Reinan tenang, seperti guru menggambar yang menegur muridnya. Tatapan Reinan pura-pura lugu, penuh kepolosan yang justru membuat Esme semakin salah tingkah..“Apa ada sesuatu yang membuatmu terganggu, hm? Sampai bersuara begitu?”Esme mengerucutkan bibir, menahan malu sekaligus dongkol. Ia tahu betul Reinan sengaja mempermainkannya. Untuk menutupi rasa kalut, Esme menggigit bibir erat-erat, bertekad tidak akan lagi kehilangan kendali.Meski begitu, tubuhnya masih bergetar setiap kali Reinan bergerak perlahan. Membuat perhatiannya terbelah antara goresan pena dan gejolak yang sulit ia jinakkan.Dengan sisa tenaga yang terkumpul, Esme akhirnya berhasil menuntaskan gambarnya. Napasnya tersengal saat ia menyerahkan kertas itu.“Sudah selesai.”Rein
Mobil yang dikemudikan Kailash meluncur mulus, menembus jalan raya yang diterangi lampu-lampu malam. Di kursi belakang, Reinan duduk bersandar dengan tenang. Ia baru saja mematikan ponselnya, lalu memberi instruksi singkat pada Kailash.“Cari restoran yang menjual makanan berkuah, Paman.”Kailash mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia melajukan mobil hingga berhenti di depan sebuah restoran yang ramai.Reinan turun lebih dulu, lalu ia berputar dan menarik tangan Esme agar mengikutinya. Esme hampir tersandung karena langkah Reinan yang tergesa, jantungnya semakin berdebar. Sejak tadi pikirannya hanya dipenuhi satu hal, hukuman apa yang akan diberikan Reinan.“R-Rein,” panggil Esme parau. “Apa aku akan dihukum di sini? Di restoran ini?” Pertanyaan konyol itu lolos begitu saja, menandakan betapa gugup dirinya saat ini.Reinan pun menoleh ke arah Esme. Sudut bibirnya melengkung, membentuk seulas senyum samar. “Kamu pasti belum makan. Jadi, kenyangkan dulu dirimu supaya bisa menjalani hukum