Cipratan air kecil di lantai menjadi saksi ketika Reinan menoleh ke arah Esme. Kedua tangannya masih tenggelam dalam busa sabun saat ia berkata polos, “Esme, aku mau keluar sekarang."
Refleks, Esme melangkah cepat, panik seperti tersambar petir.
“Jangan dulu!” serunya buru-buru menahan tangan Reinan yang hendak bangkit. “Tunggu di sana. Aku ambilkan bathrobe.”
Dengan wajah yang mulai memerah, Esme berbalik, menyembunyikan rasa gugupnya. Ia meraih bathrobe putih yang tergantung di balik pintu, lalu mengambil handuk bersih dari rak di samping bathtub.
“Kamu bisa pakai sendiri, Rein?” tanya Esme sambil menyodorkan bathrobe, sengaja menatap ke arah lain.
Reinan tertawa kecil, seperti anak kecil yang bangga akan dirinya sendiri.
“Bisa. Tapi... aku nggak bisa ikat talinya. Itu bagian yang paling susah.”
“Nggak apa-apa. Nanti aku bantu,” tutur Esme lembut.
Gadis itu tetap berdiri membelakangi bathtub. Degup jantungnya makin tak teratur setiap kali mendengar Reinan bergerak di belakangnya.
Sekilas, bayangan muncul di kepala Esme—Reinan sedang mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuh tegapnya.
Buru-buru, ia menggeleng pelan, pipinya memanas.
Entah mengapa pikirannya malah melantur sejauh ini. Padahal Reinan masih anak-anak, polos, tak mengerti apa-apa. Betapa memalukan bila ia sampai larut dalam perasaan aneh itu.
Mencari cara mengusir kegelisahan, Esme akhirnya bertanya pelan. “Sudah selesai?”
“Sudah!” jawab Reinan riang.
Esme akhirnya menoleh. Begitu matanya menangkap sosok Reinan yang berdiri dengan bathrobe setengah terbuka, ia menahan napas sejenak. Air menetes pelan dari rambut ke dada bidang yang tak seharusnya ia perhatikan.
“Ini masih basah. Bagian ini, dan ini….”
Tanpa ragu, Reinan menandai dada, leher, tangan, dan kakinya, meminta Esme untuk mengeringkannya satu per satu.
Mau tak mau, Esme berjalan mendekat dan mengambil handuk kecil. Ketika menyentuh kulit Reinan, harum sabun bercampur aroma tubuh pria dewasa membuat debar jantungnya kian meningkat.
Kedua tangannya begitu kaku saat mengusap dada lelaki itu. Sementara, Reinan tak bergerak sedikit pun, hanya menatap Esme tanpa berkedip.
Tak ingin berlama-lama, Esme segera menunduk untuk mengelap kaki Reinan. Setelah selesai, ia langsung berdiri dan mengikat bathrobe itu dengan simpul rapi.
“Selesai,” bisik Esme, lebih kepada dirinya sendiri. “Kita keringkan rambutmu di kamar.”
Reinan menuruti tanpa protes. Mereka berjalan ke kamar, dan Reinan duduk di kursi meja rias dengan cermin lebar. Cahaya dari jendela menyinari wajahnya yang tampan.
Dengan gerakan lembut, Esme menggosok rambut Reinan dari belakang. Untuk sesaat, lelaki itu menutup mata, membiarkan jemari Esme bermain di antara helaian rambutnya.
Namun, tak lama kemudian, Reinan membuka mata. “Aku mau pakai kaus dan celana pendek.”
Esme meletakkan handuk dan berjalan ke lemari besar di sudut ruangan. Di sana tersusun rapi pakaian milik Reinan: dari jas mahal hingga pakaian tidur.
Sedikit ragu, Esme mengambil satu kaus hitam dan celana pendek senada. Wajahnya semakin memanas kala ia harus mengambil pakaian dalam untuk sang suami.
“Ini... silakan pakai,” kata Esme gugup.
Reinan menerimanya dan berkata, “Aku bisa pakai sendiri, ini mudah. Kamu balik badan ya, jangan lihat.”
Ketika Reinan sudah selesai berpakaian, Esme tanpa sadar menelan ludah. Ia terpaku melihat Reinan berdiri di sana, dengan kaus hitam yang pas membungkus tubuhnya, dan celana pendek yang memamerkan betis kekar.
"Giliran kamu yang mandi,” kata Reinan memecah kesunyian. “Aku nggak suka tidur di sebelah orang yang bau keringat.”
Esme membelalakkan mata. “Tidur? Tapi... ini masih jam dua siang.”
Ekspresi Reinan langsung berubah cemberut. “Aku capek setelah main Cinderella tadi. Kamu harus temani aku tidur.”
Antara tidak percaya dan tidak sanggup menolak, Esme terpaksa mengangguk perlahan.
“Baiklah, aku mandi dulu. Kamu istirahat saja, Rein.”
Sambil menggigit bibir, Esme berjalan menuju kamar mandi.
Air hangat menyapu kulitnya, tetapi ketenangan tak kunjung datang. Sejak menjejakkan kaki di ruangan beraroma greentea itu, hatinya justru semakin gelisah. Tangannya bergerak otomatis, sementara pikirannya berkecamuk.
Esme mencoba mengingatkan diri—Reinan hanyalah pria polos yang bersikap seperti anak kecil. Bahkan tadi, ia tak paham cara memakai bathrobe dengan benar. Tidak akan terjadi apa-apa, meskipun mereka berbagi ranjang.
Lagi pula, suaminya menganggap pernikahan mereka sebatas permainan dongeng. Mana mungkin Reinan benar-benar melihatnya sebagai seorang wanita?
Meski begitu, membayangkan mereka akan berbaring di tempat tidur yang sama membuat seluruh saraf Esme menegang. Jantungnya berdetak kacau, seolah menolak diyakinkan.
Setelah menyelesaikan mandinya dengan cepat, Esme mengenakan gaun rumahan berwarna biru, dan menyematkan alat bantu dengar.
Ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, pandangannya langsung tertuju pada Reinan yang setengah berbaring. Tubuh tegap itu bersandar santai pada kepala ranjang. Jemari Reinan sibuk menari di atas ponsel—mungkin masih asyik dengan permainan pahlawan dan penjahat yang selalu memikat dunianya.
Tak ingin mengganggu sang suami, Esme berjalan pelan menuju kopernya di sudut kamar. Ia mengeluarkan sebotol parfum dalam kaca bening, racikan dari sang ibu. Dahulu, ibunya sangat ahli dalam meracik berbagai tanaman menjadi parfum atau minuman herbal berkualitas.
Wangi bunga magnolia putih berpadu akar vetiver pun memenuhi udara, manis sekaligus misterius, aroma yang tak akan ditemukan di toko mana pun.
Esme menyemprotkan sedikit ke leher dan pergelangan tangan, seakan berusaha menenangkan kegelisahan yang tak mau reda. Entah Reinan akan peduli atau tidak, ia hanya ingin merasa layak berdampingan sebagai istri. Terlebih, Reinan sepertinya sangat sensitif dengan bau tidak sedap.
Perlahan, Esme mendekat dan naik ke sisi ranjang dengan hati-hati. Ia berusaha tidak menarik perhatian. Namun tak disangka, begitu tubuhnya menyentuh kasur, Reinan tiba-tiba berhenti bermain.
Tanpa aba-aba, pria itu meletakkan ponselnya di nakas dan meraih tubuh Esme dalam satu gerakan. Tangan Reinan melingkar erat di pinggang Esme, menarik tubuh mungil itu ke pelukannya.
Seketika, pori-pori kulit Esme meremang, dadanya naik-turun menahan debar yang semakin kencang.
“R-Rein? Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar.
Reinan mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal. Sebelum Esme bertanya lebih jauh, lelaki itu menunduk, menghirup lembut aroma di leher sang istri.
“Parfummu,” bisik Reinan dengan suara rendah. “Aroma ini… dari mana kamu mendapatkannya?”
Ucapan Reinan membuat Esme terperanjat. Tak disangka, sang suami lebih dahulu menyadari keberadaan Nelson. Padahal, sejak awal Esme sudah curiga, tetapi belum sanggup membicarakannya.“I-iya, itu memang Kak Nelson,” ucap Esme setengah berbisik. “Tadi aku melihatnya keluar dari kamar nomor 512.”“Hmm, apakah aku harus menyapanya?" tanya Reinan sambil bertopang dagu. "Atau, kita ajak Kak Nelson makan bersama di sini?”Setelah berkata demikian, Reinan hendak bangkit dari kursi. Namun, Esme menyentuh lengannya secepat kilat, menahan geraknya dengan lembut. “Jangan, Rein."Reinan menoleh, keningnya berkerut bingung. “Kenapa?”“Sebaiknya jangan sekarang. Kelihatannya Kak Nelson sibuk bersama temannya,” jawab Esme pelan, menahan desakan rasa tak nyaman di hatinya. “Kita nggak boleh ganggu. Lagi pula, kita sedang menyamar, ingat?”"Iya juga, ya. Nanti saja aku sapa Kak Nelson," balas Reinan menyandarkan punggung ke kursi.Tak ingin Reinan terlalu lama memperhatikan kakaknya, Esme menyodorka
Walaupun Esme telah memejamkan mata selama beberapa menit, rasa kantuk tak kunjung datang. Ia mengatur napas perlahan, berharap suara detak jam atau desiran lembut pendingin ruangan bisa menenangkan pikirannya. Akan tetapi, kenyataan justru berbanding terbalik. Bukan lagi bayang-bayang Bella atau sosok Nelson yang mengusik, melainkan ada sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih menyayat.Hatinya gelisah.Barangkali karena aroma seprai hotel yang terlalu bersih, atau mungkin karena kenangan pahit yang tiba-tiba menyeruak.Ini bukan pertama kalinya Esme menginap di hotel. Namun inilah kali pertama ia menapakkan kaki di sebuah kamar hotel, setelah malam kelam itu. Dan, meski Reinan ada di sisinya, rasa tak nyaman itu kembali menjalar. Membuat punggung Esme mulai menggigil, seperti diselimuti hawa dingin.Sebelum trauma itu kian menguat, Esme memilih untuk mengalihkan perhatian. Mungkin, berbincang dengan Reinan bisa sedikit menenangkan hatinya.Tak lama berselang, Esme memb
Mobil berhenti perlahan di area parkir bawah tanah Hotel Artemis, mengikuti arahan dari petugas hotel. Mesin dimatikan, dan suasana menjadi sedikit hening. Hanya terdengar desau samar kendaraan lain yang melintas di kejauhan.Tanpa berkata apa-apa, Reinan meraih tas hitam yang disimpan di kursi belakang. Gerakannya cepat dan terkontrol. Ia membuka resleting tas itu dan mengeluarkan dua benda: sepasang kacamata berbingkai tebal dan masker biru muda. Dengan raut wajah serius, ia menyodorkannya pada Esme. “Pakai ini sebelum kita masuk,” ucapnya singkat.Esme mengerutkan kening heran. Ia menatap kacamata di tangannya, lalu melirik Reinan dengan bingung.“Untuk apa ini, Rein?” Reinan mendekat, suaranya diturunkan sedikit, seolah sedang membisikkan rahasia penting. “Penyamaran. Mama bilang aku nggak boleh tampil di tempat ramai. Bahaya kalau ada yang tahu aku Reinan Gunadi. Nanti aku bisa diculik oleh kelompok mafia internasional,” ujarnya penuh keyakinan.Esme menahan tawa yang menggelit
Esme baru saja keluar dari kamar mandi, segar dalam balutan gaun biru laut yang jatuh mengikuti lekuk tubuhnya. Gaun tersebut membuat warna kulitnya tampak semakin cerah, menyatu dengan kilau cahaya matahari yang masuk dari jendela.Saat melangkah ke dalam kamar, Esme melihat Reinan sedang duduk di sofa dengan raut serius. Pria itu sudah berganti baju dengan kemeja biru tua yang dimasukkan ke dalam celana panjang."Ayo, kita sarapan dulu. Aku sudah kelaparan," kata Reinan langsung berdiri dan tersenyum lebar.Tanpa menunda lagi, Reinan menarik lengan Esme untuk mengikutinya. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan kamar, gadis itu terbelalak kagum. Apartemen milik Reinan ternyata sangat luas, bernuansa hangat dengan lantai kayu yang mengilat.Jendela besar membingkai pemandangan kota yang masih berkabut. Dekorasinya elegan, penuh dengan sentuhan maskulin. Esme berpikir, mungkin Reinan sendiri yang menata setiap ruangan di apartemennya, sebelum ia mengalami kecelakaan.Ketika mereka
Di atas ranjang empuk berlapis seprai sutra, Vera menggeliat seperti kucing yang baru bangun dari tidur panjang. Setelah sekian lama, ia dapat beristirahat tanpa gangguan, tanpa omelan Nelson dan tanpa komando untuk tidur di sofa. Dia tidak harus melihat wajah masam sang suami, yang lebih sering mengintimidasi ketimbang mencintai.Hari ini, dunia terasa miliknya. Nelson masih di luar kota, dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi langkahnya. Wajah Vera merekah dengan senyum penuh kepuasan. Ia mengingat kembali kejadian kemarin—bagaimana Esme mabuk berat karena minuman yang secara ‘tidak sengaja’ ditawarkan oleh Chika dan Lisya. Ah, kemenangan kecil yang terasa manis! Dia berencana merayakannya sepanjang hari ini.Kalung berlian sudah terbayang melingkari lehernya. Rambut akan ia gulung tinggi dengan jepitan bunga kristal. Dan, ia akan pergi bersama teman-temannya, menghabiskan hari penuh tawa, belanja, dan mungkin sedikit bergosip di rooftop kafe yang sedang hits.Dengan semanga
Sinar pagi menelusup di balik tirai putih yang setengah terbuka.Esme terbangun perlahan, kepalanya berat seolah baru dihantam kenyataan pahit. Ia meringis sambil memegangi pelipisnya yang berdenyut. Kelopak matanya mengerjap, mencoba mengenali sekitar. Langit-langit ruangan itu tampak asing. Begitu pula dengan dinding kamar, ranjang, dan seprai tempat ia berbaring. Jelas ini bukan kamar di paviliun, yang biasa ia tempati bersama Reinan. “Di mana aku?” bisik Esme, kebingungan.Dengan tubuh lemah, Esme menoleh ke kanan dan kiri. Ketika matanya jatuh ke arah tubuhnya sendiri, rasa takut dan panik segera menyerbu. Ia telah berganti pakaian, dengan piyama putih longgar yang jelas bukan miliknya. Itu ukuran pria, dan aroma wanginya sangat maskulin. Jantung Esme seketika berdetak lebih cepat. Ia menarik selimut hingga ke dagu, menutupi tubuhnya seolah itu bisa menghapus kenyataan. Seseorang telah mengganti bajunya saat ia tidak sadar. Seseorang telah melihat dirinya tanpa perisai, tanp