Home / Romansa / Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh / Aroma yang Menggetarkan

Share

Aroma yang Menggetarkan

Author: Risca Amelia
last update Last Updated: 2025-07-01 22:16:29

Cipratan air kecil di lantai menjadi saksi ketika Reinan menoleh ke arah Esme. Kedua tangannya masih tenggelam dalam busa sabun saat ia berkata polos, “Esme, aku mau keluar sekarang."

Refleks, Esme melangkah cepat, panik seperti tersambar petir.

“Jangan dulu!” serunya buru-buru menahan tangan Reinan yang hendak bangkit. “Tunggu di sana. Aku ambilkan bathrobe.”

Dengan wajah yang mulai memerah, Esme berbalik, menyembunyikan rasa gugupnya. Ia meraih bathrobe putih yang tergantung di balik pintu, lalu mengambil handuk bersih dari rak di samping bathtub.

“Kamu bisa pakai sendiri, Rein?” tanya Esme sambil menyodorkan bathrobe, sengaja menatap ke arah lain.

Reinan tertawa kecil, seperti anak kecil yang bangga akan dirinya sendiri.

“Bisa. Tapi... aku nggak bisa ikat talinya. Itu bagian yang paling susah.”

“Nggak apa-apa. Nanti aku bantu,” tutur Esme lembut.

Gadis itu tetap berdiri membelakangi bathtub. Degup jantungnya makin tak teratur setiap kali mendengar Reinan bergerak di belakangnya.

Sekilas, bayangan muncul di kepala Esme—Reinan sedang mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuh tegapnya.

Buru-buru, ia menggeleng pelan, pipinya memanas.

Entah mengapa pikirannya malah melantur sejauh ini. Padahal Reinan masih anak-anak, polos, tak mengerti apa-apa. Betapa memalukan bila ia sampai larut dalam perasaan aneh itu.

Mencari cara mengusir kegelisahan, Esme akhirnya bertanya pelan. “Sudah selesai?”

“Sudah!” jawab Reinan riang.

Esme akhirnya menoleh. Begitu matanya menangkap sosok Reinan yang berdiri dengan bathrobe setengah terbuka, ia menahan napas sejenak. Air menetes pelan dari rambut ke dada bidang yang tak seharusnya ia perhatikan.

“Ini masih basah. Bagian ini, dan ini….”

Tanpa ragu, Reinan menandai dada, leher, tangan, dan kakinya, meminta Esme untuk mengeringkannya satu per satu. 

Mau tak mau, Esme berjalan mendekat dan mengambil handuk kecil. Ketika menyentuh kulit Reinan, harum sabun bercampur aroma tubuh pria dewasa membuat debar jantungnya kian meningkat.

Kedua tangannya begitu kaku saat mengusap dada lelaki itu. Sementara, Reinan tak bergerak sedikit pun, hanya menatap Esme tanpa berkedip.

Tak ingin berlama-lama, Esme segera menunduk untuk mengelap kaki Reinan. Setelah selesai, ia langsung berdiri dan mengikat bathrobe itu dengan simpul rapi.

“Selesai,” bisik Esme, lebih kepada dirinya sendiri. “Kita keringkan rambutmu di kamar.”

Reinan menuruti tanpa protes. Mereka berjalan ke kamar, dan Reinan duduk di kursi meja rias dengan cermin lebar. Cahaya dari jendela menyinari wajahnya yang tampan. 

Dengan gerakan lembut, Esme menggosok rambut Reinan dari belakang. Untuk sesaat, lelaki itu menutup mata, membiarkan jemari Esme bermain di antara helaian rambutnya.

Namun, tak lama kemudian, Reinan membuka mata. “Aku mau pakai kaus dan celana pendek.”

Esme meletakkan handuk dan berjalan ke lemari besar di sudut ruangan. Di sana tersusun rapi pakaian milik Reinan: dari jas mahal hingga pakaian tidur.

Sedikit ragu, Esme mengambil satu kaus hitam dan celana pendek senada. Wajahnya semakin memanas kala ia harus mengambil pakaian dalam untuk sang suami.

“Ini... silakan pakai,” kata Esme gugup.

Reinan menerimanya dan berkata, “Aku bisa pakai sendiri, ini mudah. Kamu balik badan ya, jangan lihat.”

Ketika Reinan sudah selesai berpakaian, Esme tanpa sadar menelan ludah. Ia terpaku melihat Reinan berdiri di sana, dengan kaus hitam yang pas membungkus tubuhnya, dan celana pendek yang memamerkan betis kekar. 

"Giliran kamu yang mandi,” kata Reinan memecah kesunyian. “Aku nggak suka tidur di sebelah orang yang bau keringat.”

Esme membelalakkan mata. “Tidur? Tapi... ini masih jam dua siang.”

Ekspresi Reinan langsung berubah cemberut. “Aku capek setelah main Cinderella tadi. Kamu harus temani aku tidur.”

Antara tidak percaya dan tidak sanggup menolak, Esme terpaksa mengangguk perlahan.

“Baiklah, aku mandi dulu. Kamu istirahat saja, Rein.”

Sambil menggigit bibir, Esme berjalan menuju kamar mandi. 

Air hangat menyapu kulitnya, tetapi ketenangan tak kunjung datang. Sejak menjejakkan kaki di ruangan beraroma greentea itu, hatinya justru semakin gelisah. Tangannya bergerak otomatis, sementara pikirannya berkecamuk.

Esme mencoba mengingatkan diri—Reinan hanyalah pria polos yang bersikap seperti anak kecil. Bahkan tadi, ia tak paham cara memakai bathrobe dengan benar. Tidak akan terjadi apa-apa, meskipun mereka berbagi ranjang.

Lagi pula, suaminya menganggap pernikahan mereka sebatas permainan dongeng. Mana mungkin Reinan benar-benar melihatnya sebagai seorang wanita?

Meski begitu, membayangkan mereka akan berbaring di tempat tidur yang sama membuat seluruh saraf Esme menegang. Jantungnya berdetak kacau, seolah menolak diyakinkan.

Setelah menyelesaikan mandinya dengan cepat, Esme mengenakan gaun rumahan berwarna biru, dan menyematkan alat bantu dengar. 

Ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, pandangannya langsung tertuju pada Reinan yang setengah berbaring. Tubuh tegap itu bersandar santai pada kepala ranjang. Jemari Reinan sibuk menari di atas ponsel—mungkin masih asyik dengan permainan pahlawan dan penjahat yang selalu memikat dunianya.

Tak ingin mengganggu sang suami, Esme berjalan pelan menuju kopernya di sudut kamar. Ia mengeluarkan sebotol parfum dalam kaca bening, racikan dari sang ibu. Dahulu, ibunya sangat ahli dalam meracik berbagai tanaman menjadi parfum atau minuman herbal berkualitas.

Wangi bunga magnolia putih berpadu akar vetiver pun memenuhi udara, manis sekaligus misterius, aroma yang tak akan ditemukan di toko mana pun.

Esme menyemprotkan sedikit ke leher dan pergelangan tangan, seakan berusaha menenangkan kegelisahan yang tak mau reda. Entah Reinan akan peduli atau tidak, ia hanya ingin merasa layak berdampingan sebagai istri. Terlebih, Reinan sepertinya sangat sensitif dengan bau tidak sedap.

Perlahan, Esme mendekat dan naik ke sisi ranjang dengan hati-hati. Ia berusaha tidak menarik perhatian. Namun tak disangka, begitu tubuhnya menyentuh kasur, Reinan tiba-tiba berhenti bermain.

Tanpa aba-aba, pria itu meletakkan ponselnya di nakas dan meraih tubuh Esme dalam satu gerakan. Tangan Reinan melingkar erat di pinggang Esme, menarik tubuh mungil itu ke pelukannya.

Seketika, pori-pori kulit Esme meremang, dadanya naik-turun menahan debar yang semakin kencang.

“R-Rein? Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar.

Reinan mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal. Sebelum Esme bertanya lebih jauh, lelaki itu menunduk, menghirup lembut aroma di leher sang istri.

“Parfummu,” bisik Reinan dengan suara rendah. “Aroma ini… dari mana kamu mendapatkannya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Musuh atau Teman

    Langkah Esme akhirnya sampai di ruang divisi perfumer. Suasana di laboratorium hening, hanya suara tetesan cairan dan bisikan diskusi antar perfumer yang terdengar.Ketika Esme akan duduk di meja, seorang pria berusia empat puluh tahunan menghampirinya. Dengan pembawaan yang berwibawa, ia memperkenalkan diri.“Saya Jackson, wakil kepala perfumer di sini,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Esme.“Hari ini, Bu Violin harus bertugas di pabrik sampai jam istirahat siang. Jadi, untuk sementara saya yang akan mendampingi kalian.”Jackson lantas menatap Disti yang berdiri tak jauh dari Esme.”Kamu bisa membantu Kirana di laboratorium. Dia sedang mengerjakan batch baru. Sedangkan Esme, ikut saya, kita mulai latihan dasar dulu.”“Baik, Pak,” jawab Disti patuh.Tanpa membuang waktu, Esme mengikuti langkah Pak Jackson menuju salah satu meja yang dipenuhi botol-botol kaca kecil dan kertas blotter. Pria itu mengambil sebuah botol parfum yang sudah jadi, membuka tutupnya, dan mengulurkan ke tangan E

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Manis Tapi Beracun

    Pukul enam tepat, Esme terbangun lebih dahulu dari Reinan. Tubuhnya masih terbungkus selimut hangat, sementara ingatannya kembali pada malam sebelumnya. Dia yakin dirinya ketiduran sambil belajar.Namun kini, buku yang semestinya berada dalam dekapannya telah lenyap. Esme tersentak panik. Tangannya meraba-raba permukaan ranjang, lalu ia cepat bangkit.Di atas nakas, kedua buku itu tergeletak rapi, jelas diletakkan di sana oleh seseorang.Esme menoleh ke samping. Reinan masih tertidur pulas, napasnya teratur dan wajahnya begitu damai.Senyum tipis merekah di bibir Esme. Hatinya menghangat karena ia tahu, sang suami-lah yang merapikan buku dan membaringkannya dengan penuh perhatian.Perlahan, Esme beringsut turun dari ranjang agar tidak menimbulkan suara. Tubuhnya bergerak lincah menuju wardrobe.Jemari mungil Esme memilih kemeja dan jas kerja milik Reinan, kemudian menyiapkan setelan blazer untuk dirinya sendiri.Sesudah itu, Esme menuju kamar mandi. Air dingin menyapa kulitnya, menyeg

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Kambing Hitam

    Balkon lantai dua mansion disinari cahaya lampu yang temaram. Nelson duduk sendirian di sana dengan sikap malas. Tangannya memegang segelas anggur merah, sementara ekspresi wajahnya tampak kaku.Di meja kecil, sebuah ponsel berdering. Layarnya sesekali berkedip ketika ada notifikasi pesan masuk.Lagi-lagi yang muncul adalah pesan dari Wina. Gadis licik itu tak henti mengirimkan ancaman. Dia berkata akan menyerahkan liontin ke tangan Reinan, jikalau Nelson batal memberinya empat milyar.“Kau pikir akan semudah itu mendapatkan uang? Tidak lama lagi liontin keluarga Gunadi akan kuambil darimu, Wina,” gumam Nelson sembari memblokir nomor gadis itu.Nelson tetap menunggu. Bibirnya sesekali bergerak, tetapi tatapan matanya tak lepas dari ponsel. Hingga akhirnya layar berkelap-kelip, tanda panggilan yang ia nanti tiba. Lekas saja, Nelson meletakkan gelas anggurnya dengan bunyi dentingan ringan. Kemudian, ia meraih ponsel dan menempelkan ke telinga.“Apa saja yang kau dapat hari ini?” tanya

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Berdua di Malam Hari

    Setiba di parkiran basement, Esme melangkah pelan dengan jantung yang berdebar. Matanya meneliti sekeliling, memastikan tak ada seorang pun karyawan yang berkeliaran. Setelah merasa cukup aman, barulah ia mendekat ke arah mobil yang terparkir di sudut, mobil milik Reinan.Reinan yang sejak tadi menunggu di balik tirai tipis, diam-diam memperhatikan tingkah istrinya. Melihat Esme celingukan ke kanan dan ke kiri, Reinan menjadi gemas. Ia mendengus pendek, lalu tanpa menunggu lebih lama tangannya membuka pintu mobil.Begitu Esme berada dalam jangkauan, Reinan segera meraih pergelangan tangan sang istri dan menariknya masuk. “Rein!” Esme terpekik, nyaris kehilangan keseimbangan. Sekejap kemudian tubuh mungilnya sudah terduduk di jok kulit yang hangat.Klik. Suara pintu mobil yang dikunci terdengar jelas. Reinan memberi isyarat singkat pada sopirnya agar segera menjalankan mobil keluar dari basement. Tatapannya lalu beralih pada Esme, penuh dengan kerinduan.“Aku kangen.” Wajah Reinan men

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Bermuka Dua

    Selesai memeriksa parfum racikan Disti, Amanda menutup buku catatannya dengan tenang. “Kau masih harus banyak berlatih. Formula ini sudah mulai terbentuk, tapi ketajaman konsentrasi aromanya belum stabil.”Disti hanya mengangguk patuh. Tak ada bantahan, hanya pasrah menerima kenyataan pahit yang terasa menekan. Setelah itu, Amanda menatap seluruh perfumer yang masih tegang menanti hasil penilaiannya.“Saya perlu berdiskusi sebentar dengan Bu Violin untuk menentukan pemenang. Kalian bisa kembali mengerjakan tugas masing-masing.”Jam di dinding sudah menunjuk pukul setengah enam sore. Waktu kerja resmi seharusnya usai, tetapi tak seorang pun berniat pulang. Aura tegang menahan mereka di ruangan itu. Disti menunduk, lalu berbisik lirih pada Esme. “Aku masih sangat amatir. Mungkin aku tidak bisa lolos masa percobaan.”Esme menepuk lembut tangan sahabat barunya itu. Senyumnya tulus meski ia sendiri menyimpan kegelisahan.“Tidak apa-apa, Disti. Kita memang masih perlu banyak belajar. Itu

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Ujian Menegangkan

    Keraguan masih sempat menggantung di bibir Esme. Namun tatapan Disti yang menuntut jawaban membuatnya tak mungkin terus berkelit. Ia menarik napas pelan, sebelum memberikan jawaban.“Nama suamiku… Rein. Dia sudah punya pekerjaan sendiri.”Disti tampak puas, matanya berbinar. “Rein? Nama yang bagus. Kalau dipikir-pikir agak mirip dengan nama CEO baru kita, Reinan. Siapa tahu, nanti suamimu juga bisa sekaya itu.” Ia terkekeh kecil, lalu menepuk tangan Esme ringan.Tak lama kemudian giliran mereka tiba. Esme memesan seporsi ayam goreng, sementara Disti mengambil sup dan sayuran. Mereka berdua mencari meja kosong di sudut kantin yang cukup ramai. Esme duduk dengan hati-hati, menaruh piring di hadapannya. Baru saja ia hendak makan, pikirannya tertuju pada pesan dari Reinan yang belum terbaca. Kali ini, Esme membuka pesan itu dan membacanya perlahan. Senyum samar muncul di bibirnya tanpa sadar. Tangan Esme segera mengetik balasan.{Aku sudah makan siang bersama temanku, seorang perfumer b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status