Langkah tergesa Wina terdengar bergema di ruang tamu. Baru saja ia meraih gagang pintu, suara ibunya terdengar nyaring dari belakang.“Wina, jangan keluar rumah dulu. Migrain papamu kambuh sejak pagi. Kalau tiba-tiba dia pingsan, siapa yang bisa menolong Mama?” Wina berhenti sejenak. Senyum sinis menyelip di bibirnya. “Paling sakitnya Papa itu karena pusing memikirkan utang. Perusahaan rugi, saham jatuh... bukankah sudah jelas? Kepala siapapun pasti migrain kalau isi dompetnya kosong.”Nyonya Belinda terbelalak, wajahnya memucat. “Wina, apa maksudmu bicara begitu?”Alih-alih melunak, Wina justru mendesah pelan, nada bicaranya setengah mengejek. “Mama tunggu saja. Kalau aku pulang dengan membawa segepok uang, aku yakin migrain Papa akan sembuh seketika. Bukankah uang selalu jadi obat paling mujarab?”Nyonya Belinda membeku di tempat, hanya bisa memandang putrinya yang semakin hari semakin sulit diatur.Pintu berat itu menutup di belakang Wina, menyisakan sang ibu yang masih termangu
Ketika Esme keluar dari lobi, pandangannya langsung menangkap keberadaan Kailash di balik kemudi. Wajah Esme berbinar, kakinya bergegas menuju kendaraan mewah itu.Begitu pintu terbuka, Kailash menyambut ramah. “Selamat malam, Nyonya Muda,” ucapnya, sebelum menyalakan mesin.Esme pun duduk tenang, menyangka perjalanan mereka akan langsung menuju apartemen. Namun, rasa heran muncul saat mobil berbelok ke arah jalan kota yang ramai. Berhenti di depan toko kue yang menjadi langganan para sosialita.Kening Esme berkerut. “Paman Kailash, kenapa kita berhenti di sini?” tanya Esme, penasaran.Kailash menoleh sebentar, bibirnya membentuk senyum kecil. “Ada pesanan Tuan Muda untuk Nyonya. Mohon tunggu di mobil.”Hati Esme berdegup aneh. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi Kailash sudah terlanjur keluar.Pria itu berjalan masuk ke toko kue yang diterangi cahaya keemasan. Beberapa menit kemudian ia kembali, membawa sebuah kotak mika berhiaskan pita satin.Kotak itu transparan, menampilkan dua c
Setelah Reinan dan Mr. Hayato pergi meninggalkan ruangan, atmosfer laboratorium kembali normal. Denting botol kaca, bunyi pena yang menoreh kertas laporan, serta suara halus mesin pencampur mendominasi ruangan. Para perfumer sibuk melanjutkan pekerjaan masing-masing, tak lagi mengingat momen yang barusan terjadi.Esme berusaha menenangkan diri dari sisa degup yang diciptakan Reinan. Di hadapannya, tabung berisi cairan beraroma bunga segar menyeruak di udara. Itu adalah formula pendamping untuk edisi Hari Ibu, yang telah dinyatakan layak oleh Violin.Disti, yang sejak tadi memperhatikan, berjalan mendekati Esme. Matanya melirik ke arah larutan yang memantulkan cahaya keemasan. “Apakah formulanya sudah selesai?”Esme mengangguk. “Sudah. Tinggal menunggu instruksi Bu Violin untuk penyimpanan.”Alis Disti terangkat, pura-pura penasaran. “Lalu, akan disimpan di mana? Apakah di Secret Room?”“Aku tidak tahu pasti,” jawab Esme.Disti mengangguk kecil seraya mengulas senyum tipis. Namun, sor
Suasana laboratorium sore itu mendadak berbeda, begitu Reinan berdiri di ambang pintu. Tubuhnya yang tinggi tegap memancarkan kharisma, membuat setiap pasang mata menunduk penuh hormat. Di samping Reinan, Mr. Hayato terlihat begitu antusias. Ia menatap barisan meja kerja, botol kaca berisi cairan warna-warni, dan aroma samar dari bunga serta rempah yang memenuhi udara.“Inilah salah satu pusat kehidupan Gala Corp,” tukas Reinan mantap, suaranya jelas terdengar ke seluruh ruangan. “Tempat para perfumer terbaik kami menciptakan keharuman yang dipercaya pelanggan dari berbagai negara.”Mr. Hayato mengangguk, wajahnya menampakkan kekaguman yang tulus. “Luar biasa. Saya kagum melihat bagaimana semua ini dikerjakan. Bolehkah saya berkenalan dengan para perfumer?”Violin yang sejak tadi berdiri dengan sikap waspada, bergegas menghampiri sang tamu kehormatan. Senyumnya terjaga, penuh profesionalisme. “Tentu saja, Mr. Hayato. Mari saya antar.”Pria Jepang itu mengangguk senang, sebelum berja
Reinan menegakkan bahu, dan segera mendekati Mr. Hayato. Ia sadar jika Isabella terus dibiarkan berbicara, maka akan semakin banyak pernyataan yang dapat memperkeruh suasana.“Mr. Hayato, mari kita berkeliling dulu untuk melihat produksi garmen kami,” tukas Reinan mengambil alih percakapan. “Saya ingin menunjukkan proses kerja yang menjadi kebanggaan Gala Corp.”Mata Mr. Hayato berbinar. “Tentu saja, Tuan Reinan.”Reinan mengarahkan langkah, diikuti seluruh rombongan. Mereka memasuki ruang produksi yang luas, di mana puluhan mesin jahit berderet rapi. Seorang supervisor dengan cepat menghampiri, lantas membuka lembar kain yang sudah disulap menjadi gaun koktail berwarna marun. Di sampingnya, terdapat jas pria berwarna biru tua, dengan lapisan satin hitam di kerah—menampilkan citra maskulin yang berkelas.“Desain untuk lini formal kami,” jelas Reinan, dengan suara tenang. “Gaun ini sedang disiapkan untuk koleksi musim semi, sementara jas akan dipasarkan khusus untuk acara korporasi da
Setelah kekacauan kecil yang sempat membuat seisi laboratorium gaduh, suasana perlahan kembali tenang. Esme telah menyelesaikan tugasnya dengan penuh konsentrasi. Ia membersihkan tumpahan cairan, dan melanjutkan percobaan baru. Kali ini, Esme bergerak hati-hati, menuang cairan bening ke dalam tabung kaca, lantas meneteskan esens bunga lili yang beraroma segar.Sesuai saran dari Jackson, Esme menambahkan sedikit esens bunga mawar putih. Perpaduan keduanya menciptakan aroma yang lembut sekaligus mewah, menyerupai sosok seorang putri. Esme menahan napas, lalu mencoba hasil racikan itu. Aroma baru tersebut langsung memenuhi ruangan di sekitarnya.Melihat hasil kerja Esme yang bagus, Jackson mengangguk puas.“Kamu berbakat, Esme. Hidungmu tajam, dan nalurimu kuat. Tapi ingat, keindahan parfum hanya lahir dari ketelitian. Jangan sampai satu kecerobohan menghancurkan hasil kerja kerasmu.”“Baik, Pak. Saya akan lebih hati-hati,” jawab Esme, menerima nasihat itu dengan hati tulus. Karena ja