Mendengar pertanyaan Nelson, mata Wina berkilat puas. Dari cara Nelson bicara, lelaki itu telah masuk ke dalam perangkapnya. Kini, gilirannya yang menentukan harga atas sebuah rahasia yang mampu mengguncang hati Esme, serta nama baik seluruh anggota keluarga Gunadi.Seakan kesempatan emas benar-benar datang padanya, Wina menegakkan tubuh, lalu menyebut angka dengan lantang.“Sepuluh milyar.”Bola mata Nelson melebar, menatap gadis di hadapannya dengan sorot tak percaya. Angka yang meluncur dari bibir Wina membuatnya terperanjat. Ia tidak menyangka keberanian gadis itu setebal baja. Nekat menuntut jumlah yang sangat besar hanya untuk sebuah benda kecil yang dapat digenggam dengan satu tangan.“Sepuluh milyar?” Suara Nelson teredam, nyaris seperti geraman. “Kau serakah juga, Wina. Berani meminta sebanyak itu hanya untuk sebuah liontin kecil? Tidakkah kau sadar betapa berlebihan permintaanmu?”Gertakan Nelson tidak membuat Wina mundur. Senyum tipis yang mengembang di wajahnya bukanlah s
Mobil yang dinaiki Wina akhirnya berhenti tepat di halaman depan Hotel Evares. Wina melangkah turun dengan percaya diri, menyuruh sopirnya untuk tetap menunggu di parkiran. Kakinya berayun mantap menuju pintu kaca lobi yang terbuka. Tujuannya jelas: bar eksklusif yang terletak di lantai dua puluh, tempat para tamu pilihan dan orang-orang berpengaruh menikmati malam mereka. Ruangan itu diterangi cahaya lampu kristal yang temaram. Tatapan Wina langsung menemukan pria yang ia cari. Nelson Gunadi duduk di dekat sebuah tiang marmer besar.Tubuh pria itu bersandar tenang dengan jas hitam yang membingkai postur gagahnya. Segelas anggur di hadapan Nelson masih belum tersentuh, sementara jemarinya sibuk mengusap layar ponsel.Tanpa ragu, Wina berjalan menghampiri. “Selamat malam, Tuan Nelson.”Nelson mendongak. Tatapannya sontak tertahan pada pesona wanita muda yang berdiri tak jauh darinya.“Selamat malam. Silakan duduk,” ucapnya, seraya memberi isyarat dengan tangan.Wina menarik kursi den
Dengan antusias, Reinan menuntun Esme menuju mobil yang telah menunggu di depan paviliun. Sebelum pergi, Reinan sempat berpesan kepada Kailash agar tetap berjaga di paviliun. “Kalau Mama pulang tiba-tiba, Paman tahu apa yang harus dilakukan. Jangan biarkan Mama masuk kemari."Kailash mengangguk, sementara mobil yang membawa Reinan meluncur menuju pusat perbelanjaan elite di jantung kota. Sepanjang perjalanan, wajah Reinan dipenuhi kegembiraan. Sesekali ia menoleh pada Esme yang duduk di sampingnya.Setiba di lobi mall, Esme sempat menahan langkah. “Rein, kamu nggak akan menyamar lagi? Seperti waktu itu, saat kita ke hotel?” tanyanya dengan nada khawatir.Reinan terkekeh ringan, jemarinya bertaut erat pada tangan Esme. “Nggak perlu. Aku nggak takut lagi pada siapapun. Selama aku bersamamu, aku merasa lebih kuat.”Jawaban itu membuat hati Esme bergetar. Ada keyakinan dalam suara suaminya yang tak bisa ia sangkal. Mereka berjalan bersisian menyusuri koridor mall, menuju bioskop yang be
“Benarkah itu Nelson Gunadi?” ulang Gita. Matanya tak berkedip menatap pria yang tampak berbahaya sekaligus menggoda.Wina menyandarkan tubuhnya ke kursi, bibirnya melengkung dengan senyum penuh kemenangan.“Tentu saja. Dia adalah saudara iparku.”Gita terperangah. “Apa? Bagaimana bisa?”Dengan nada meremehkan, Wina mengibaskan rambutnya yang panjang. “Apa kau sudah lupa? Kakak tiriku yang tuli dan bodoh itu, Esme, sudah menikah dengan Reinan Gunadi. Maka otomatis, Nelson adalah iparku. Dan sekarang, aku akan menyapanya.”Sebelum Gita sempat mencegah, Wina sudah beranjak dari kursi. Tumit sepatunya beradu dengan lantai kafe, menarik beberapa pasang mata untuk menoleh. Gita hanya bisa membeku, menatap temannya yang melangkah dengan percaya diri menuju meja Nelson.Nelson, yang tengah sibuk menatap layar ponsel sambil menyeruput kopi, tidak memedulikan hiruk pikuk kafe. Wajahnya tetap dingin, dan konsentrasinya terpusat pada laporan yang sedang ia baca. Namun, ketenangan itu terusik
Langkah Esme tak lagi teratur dadanya terasa sesak oleh rasa cemas. Meski Kailash berulang kali memanggil, menyuruhnya berhenti, tetapi telinga Esme seakan tertutup. Pintu besar mansion utama didorong terburu, hingga membuat beberapa pelayan yang sedang beraktivitas terhenti. Mereka menatap Esme dengan wajah penuh tanya. Namun, Esme tidak memberi kesempatan siapapun untuk bertanya. Ia terus berlari menembus koridor yang lengang. Melihat suasana mansion yang lengang, Esme sempat heran. Tidak ada suara Vera, tidak ada Nyonya Tania yang biasanya selalu hadir di ruang utama. Hatinya semakin dicengkeram rasa khawatir. Apakah semua sedang berada di kamar Reinan, karena kondisi suaminya semakin gawat?Di tengah kepanikan, Esme berpapasan dengan Bi Leli yang baru keluar dari area dapur.“Bi Leli, Reinan… di mana Reinan? Apakah sudah dipanggilkan dokter?” Suara Esme parau, matanya memerah karena hampir menangis.Bi Leli menatapnya heran. “Dokter? Untuk apa dokter? Kalau mencari Tuan Muda,
Esok paginya, Esme terbangun diiringi sebuah bersin kecil. Tatkala kelopak matanya perlahan terbuka, pandangan Esme langsung mencari sosok yang semestinya ada di sisinya. Namun, ranjang itu sepi.Yang ia temukan bukanlah Reinan, melainkan dua buah benda. Di atas bantal terletak setangkai mawar putih yang masih segar, seperti baru dipetik dari taman. Sementara di sampingnya, ada sebatang cokelat yang dibungkus dengan pita kecil.Senyum merekah di bibir Esme. Ia tahu, hanya Reinan yang bisa meninggalkan kejutan semanis itu, sederhana tetapi penuh makna.Tangan kanan Esme meraih bunga itu, dan mendekatkannya ke wajah. Ia merasa bagaikan seorang gadis yang dibangunkan oleh pangeran impiannya.Saat melihat sinar matahari yang memantul di jendela, Esme pun meraih ponselnya di nakas. Tak disangka, jarum jam sudah mendekati angka delapan. Mata Esme langsung terbelalak. Barangkali karena beban di hatinya telah berkurang, maka ia bisa tidur cukup lama.Semalam, ia sudah berani berbagi cerita p