"E... Ada apa, Sena?" tanya Ann terbata.
Langkahnya tercekat, ia bahkan enggan menikah pada sumber suara. Dadanya bergemuruh dengan degup jantung yang kencang. 'Ada apa dengan semua ini,' batinnya. "Aku akan memaafkanmu, asalkan berikan aku malam pertamamu untukku," bisik Sena dengan suara yang sangat dekat dengan telinganya. Deg! Nafas hangat Sena yang terasa ditengkuk Ann, membuatnya terdiam. Tangan Sena yang mulai melingkari pinggang, membuat Ann semakin menegang. "Sena, stop!" pekiknya keras. "Ma-maaf, aku tidak bisa melakukan hal yang melanggar kontrak," tegas Ann. Dengan keras ia menarik tubuhnya dari tangan Sena, susah payah ia berusaha namun nihil. "Mau ke mana, Ann? aku belum menjawab ucapanmu," bisik Sena lembut. Dengan satu gerakan Sena mengubah tubuh Ann menghadap dirinya, dengan keterkejutan Ann melingkarkan dua tangannya pada leher Sena. "Sena!" teriak Ann. Wajah Sena kian mendekat, hanya beberapa centimeter dari wajah Ann. Dengan jarak sedekat ini, Ann bisa merasakan nafas Sena, bahkan Ann bisa menatap lekat wajah suaminya. Tanpa banyak basa-basi, Sena melumat bibir istrinya dengan lembut. Penolakan Ann yang perlahan luruh, pipi memerah bak jambu merah. "Kamu hanya menolak berhubungan badan denganku, bukan berarti menolak ciumanku 'kan?" bisik Sena. Ann masih terdiam dalam posisinya, batinnya merutuki sikap Sena yang seenaknya sendiri. perlahan jarinya mengusap pelan bibirnya, rasa manis yang menguar. "Sampai kapan diam di situ, Ann?" tanya Sena. "Aku tidak suka ya!" gerutunya. Langkahnya sedikit berlari menuju kamar, dengan pipi yang masih bersemu merah. Lucu bagi Sena. "Selamat tidur, istriku," ucap Sena setelah membaringkan badannya di dekat Ann. "Ka-kamu tidur di sini juga?" tanya Ann dengan penuh keterkejutan. "Memangnya aku harus tidur di mana, Ann?" Sena membalikkan tanya. Manik mata yang kini menatap sekelilingnya, kesal! tidak ada sofa atau pun tempat yang layak di ruangan itu. Fasilitasnya memang sangat lengkap, tapi tidak ada sofa dan kursi panjang yang memungkinkan untuk tempat tidur. "Baiklah, tapi jangan sesekali menyentuh tubuhku!" peringat Ann. "Padahal tadi aku sudah menggendongmu, dan kamu sangat berat!" ledek Sena. **** Pagi-pagi sekali, Ann sudah bersiap dengan pakaian kerjanya. Berdandan rapi di depan meja rias di kamarnya. "Kamu mau ke mana, Ann?" tanya Sena yang entah dari mana. "Aku mau kerja, ada meeting di kantor hari ini," jawabnya dengan penuh antusias. "Kerja? Kamu di rumah saja ya, biar aku yang menafkahimu," dengan ulasan senyum yang sangat manis di wajahnya. "Sena, aku gak apa-apa kok kerja. Biar aku bisa bantu-bantu ekonomi kita," sela Ann. Ia merasa kasihan jika Sena mengandalkan gaji berjualan bakso yang tidak seberapa itu. Selain itu, Ann ingin tetap berpenghasilan agar bisa menabung untuk keperluannya sendiri. "Ann, aku serius. Aku mampu menafkahimu lahir dan batin secara keseluruhan. Gak usah kerja lagi ya," pinta Sena. Hanya gelengan kepala yang ia dapatkan, "Sena, aku tidak bisa jika hanya berdiam di rumah. Biarkan aku bekerja, aku nyaman dengan aktivitasku," ucapnya. "Baiklah, tapi jangan sampai kelelahan!" Setelah perdebatan kecil itu, keduanya menuju ruang makan. Dengan sajian sarapan yang sangat lezat. "Tuan muda, ini yang Anda minta tadi pagi," ucap Reni. Segelas susu coklat yang sengaja ia minta untuk Ann, seingatnya wanita itu sangat menghindari susu putih. "Untukmu, Ann," ucapnya. Manik mata berbinar, cantik! "Terima kasih, Sena." **** Tanpa Ann sadari, ia tinggal di kawasan elite ibu kota. Sepanjang jalan menuju kantor, ia hanya terdiam. Banyak kalimat tanya yang bersarang pada kepalanya. "Siapa Sena sebenarnya?" gumamnya. "Nona, kita sudah tiba di lokasi sesuai pin," ucap seorang sopir taxi online. "Terima kasih banyak, Pak." Langkah Ann terhenti tatkala semua teman-temannya menyambutnya hangat. Dengan baju yang senada. "Happy wedding, Ann. Maaf tidak bisa datang di hari bahagiamu," ucap Lena. "Terima kasih, Lena." Masih banyak ucapan selamat pada Ann, sekali pun ia terpaksa menikah dengan Sena. Ia harus tetap menjalani hidupnya dan pernikahannya. "Ann, selamat atas pernikahanmu. Omong-omong kamu tidak jadi menikah dengan Rafael ya?" tanya Dewa managernya. Seulas senyum yang merekah ia berikan pada Dewa, "Benar, Pak Dewa. Saya menikah dengan seorang laki-laki yang lebih baik dari pada Rafael," tegasnya. Meski suasana cukup chaos, Ann tetap berusaha profesional. Tidak peduli apa yang terjadi setelahnya. "Mari kita mulai meetingnya," ucap Dewa. **** [Tolong kembalilah ke rumah, Sena. Bawa Ann pulang.] Pak Adi. Satu pesan yang diterima Sena tatkala ia baru duduk di meja kerjanya. Dengan nafas yang gusar dan malas, ia hanya menatap dengan nyalang. "Pria tidak tahu diri," gumamnya. "Tuan muda, kami sudah mendapatkan kelemahan perusahaan Adi Sucipto," ucap Arka, sekretaris utama Sena. "Kerja bagus, setelah ini kita buat dia mengemis pada Ann. Atas segala tingkah yang ia lakukan pada istriku tercinta," ucap Sena dengan senyuman manisnya."Sena aku ragu," ucap Ann saat tiba di dekat rumah Adi.. "Mau sampai kapan ragunya, Ann? Ayah pasti merindukan anaknya. Kita datang bersama, tidak peduli apa kata Bu Ratih tentang aku," terang Sena dengan yakin. "Tapi, Sena ... ayah tidak tahu aku hamil dan ..," Ann menghentikan ucapannya. "Hust, kamu tidak hamil di luar nikah. Ini anak kandung kita, entah diterima atau tidak oleh Pak Adi. Kita hadapi bersama," Sena menggenggam tangan Ann dengan erat. "Oke." Tibalah ke duanya di halaman rumah Adi, sosok pria paruh baya yang cukup lama tidak Ann lihat. Sepasang mata yang menatap dengan tidak yakin. "Ann, kamu kembali, Nak?" tanya Adi berseru. "Iya ayah." Ann mendekap ayahnya dengan erat, merengkuh tubuh tua yang cukup lama ia tinggalkan. Sama halnya Sena, Adi adalah alasannya untuk tetap yakin dengan hidupnya. "Ini?" sebelah tangannya menunjuk bayi laki-laki yang sedang lelap. "Anakku dengan Sena," ucap Ann. Sempat diam dengan penuh keterkejutan, Adi m
Hari yang paling ditunggu Sena telah tiba, kini ia tiba di desa tempat Ann tinggal. "Selamat pagi, Ibu," sapa Sena pada Ratmi yang sedang berjemur dengan Cakra. "Aduh, kamu sudah datang saja. Cucuku ini harus lekas berangkat dong!" keluh Ratmi. "Tidak, Bu. Masih besok pagi," timpal Sena. Ratmi mengangguk, di atas stroller Cakra terlelap dengan sangat tenang. "Nduk, panggilkan Mbak Ann!" pinta Ratmi pada Ratna. "Iya, Buk." Tidak berselang lama, Ann keluar dari rumah. Matanya berkaca-kaca melihat Sena berdiri di samping stroller. "Kita akan pergi besok 'kan? Sekarang ijinkan aku quality time bareng Bu Ratmi dan Ratna ya. Aku pengen mengajak mereka berbelanja dan makan enak," pinta Ann. "Iya, berangkat saja. Apa kamu perlu kutemani?" tanya Sena. Ann menggeleng. "Tapi, Sena. Aku butuh sopir untuk menyetir, tapi sepertinya mengajakmu tidak masalah," ucap Ann meralat. "Bersiaplah, aku akan menjaga Cakra," Sena mengusap pelan lengan anaknya. "Oke." Se
"Kerja bagus, Arka. Belikan tiket pulang pergi," tegas Sena. "Anda dalam waktu dekat tidak ada perjalanan bisnis, Tuan," Arka sempat termangu sejenak. "Menjemput istri dan anakku, memang bukan perjalanan bisnis," terang Sena. Arka tergelak sejenak, menatap Sena dengan penuh tanya. sebenarnya apa yang terjadi pada pertemuan Tuan dan Nonanya itu? "Anak yang mana, Tuan? Memangnya Nona Ann sudah lahiran?" berondong tanya Arka. Sena mengangguk. "Tuan, kenapa Anda diam saja? kenapa tidak mengumumkan kalau Nona Ann sudah melahirkan anak. Parah sih, bagaimana bisa Anda diam seperti itu!" gerutu Arka dengan penuh kekesalan. Ini hal yang tidak Sena sukai, Arka selalu ingin tahu banyak hal. Bahkan dia sangat oversharing terkadang. "Jangan katakan pada siapa pun, sebelum Ann benar-benar kembali ke rumah. Atau kau akan mendapatkan masalah!" tegas Sena. "Ba-baik!" *** "Kangen banget sama Ann," gumam Lena. Dia gadis yang kini duduk di sudut cafe, menikmati sore har
Pada detik-detik yang menegangkan, kontraksi yang kian terlihat jelas. Mau tidak mau bidan mengambil tindakan. Sena yang kini memasuki ruangan, melihat Ann merintih kesakitan. "Nona Ann, kita berjuang bersama ya, saya akan memberi aba-aba," ucap bidan dengan lembut. Di samping Ann, Sena mengusap pelan kening istrinya. Sesekali ia mengusap keringat yang keluar, dan membantu bidan menyampaikan aba-aba. Suara tangisan bayi yang memecah ramai suara rintihan Ann. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat lucu. "Syukurlah, bayinya lahir dengan kelamin laki-laki. Selamat Nona Ann dan Tuan Sena," ucap Bidan dengan membawa bayi itu untuk dibersihkan. Ann masih menggenggam erat tangan Sena, membiarkan pria di sampingnya itu luruh dalam perasaan campur aduknya. "Sayang, terima kasih banyak. Maafkan kesalahanku," bisik Sena lembut di telinga Ann. Sejenak mengingat keterangan Sena, ia merasa salah besar. Apakah ia berdosa sudah marah pada suaminya? Yah, Ann merasa gaga
Pulang tanpa membawa apa-apa, untuk urusan pekerjaan Sena dan Arka kembali ke kota. Membawa duka dan kesal yang mendalam. "Kita akan meninggalkan Nona Ann di sini, Tuan?" tanya Arka seraya memasukkan kopernya ke mobil. "Ya, kita tunggu saja. Selesaikan dulu yang di kota, lalu biarkan aku kembali di sini," terang Sena. "Tuan? Benarkah Anda akan datang ke sini sendiri?" tanya Arka kembali melempar tanya. "Kau!" pekik Sena. Arka tergelak, tidak biasanya ia mendengar amarah tuannya. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Sena hanya diam. "Arka, berikan nomor Bu Ratmi," tegas Sena. "Untuk apa, Tuan?" tanya Arka dengan mendongak. "Berikan padaku!" seru Sena. Arka langsung memberikan nomor Bu Ratmi. Tidak lama, Sena menjauh meninggalkan Arka. "Halo," sapa Sena. "Siapa?" tanya Ratmi di seberang. "Saya Sena, Bu. Boleh mengobrol dengan Ann sebentar?" tanya Sena dengan lembut. Helaan nafas panjang terdengar samar di sambungan telepon. "Ada apalagi, Sena? B
Ratmi berjalan dengan gusar, setelah kepergian Sena dan Arka. Ia semakin tidak tega dengan Ann. "Ann," panggilnya. "Iya, Bu. Ada apa ya? Apa Sena sudah pulang?" tanya Ann memberondong. "Sudah, dia pria yang baik kelihatannya. Apa mualmu sudah mendingan, Nak?" tanya Ratmi. Ann hanya mengangguk pelan, dengan senyuman yang masih mengembang pada bibirnya. "Bu, apa yang aku lakukan ini salah?" tanya Ann. "Tidak, Ann. Laki-laki memang harus diberi pemahaman lebih agar dia mau berjuang. Jika kamu dengan mudah kembali dengannya, ia akan melakukan kesalahan yang sama," jelas Ratmi. Ratmi menggenggam tangan Ann dengan lembut. Mengusapnya secara perlahan, memberikan kekuatan pada gadis rapuh di hadapannya. "Baiklah, Bu. Aku akan beristirahat lebih cepat malam ini," ucap Ann. Raut wajahnya berubah, rona yang biasa Ratmi lihat kini telah berubah menjadi rona bahagia. Jiwa Ann seolah menemukan ketenangannya. "Ann, tunggu, apa kamu merindukan Sena?" tanya Ratmi. "Hehe