Sayangnya, lamunan Catleya terhenti kala bulu kuduknya merinding. Ia kembali menyadari bahwa dirinya sendirian di rumah serba hijau ini. Bagaimana jika tengah malam nanti ada tangan tak terlihat yang mencekik lehernya?
Ah, daripada pikirannya semakin melantur, Catleya memutuskan untuk mandi saja. Toh, ia merasa gerah sehabis menempuh perjalanan jauh. Awalnya, Catleya merasa was-was untuk menggunakan toilet yang ada di kamarnya, tetapi keraguannya lenyap saat melihat kamar mandi itu cukup nyaman.
Segera saja Catleya melepas bajunya, lalu menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin. Hanya saja, pikirannya berkecamuk dengan banyak hal sekaligus, terutama tentang sosok Rajendra sesungguhnya….
Apabila dilihat dari fasilitas rumah ini, sepertinya Rajendra memang bukan pemuda desa biasa. Apalagi penampilan, tutur kata, serta fitur wajahnya yang tampan lebih mirip dengan seorang lelaki muda dari kota metropolitan. Bisa jadi, Rajendra dan Bi Ijah sebenarnya tidak memiliki hubungan kekerabatan.
“Jika Rajendra bukan keponakan asli Bi Ijah, mengapa dia justru tinggal di desa dan menjadi peternak ayam?” gumamnya tanpa sadar.
Lebih anehnya lagi, Rajendra tergesa-gesa meminang dirinya tanpa alasan yang jelas. Sungguh teka-teki yang sulit dipecahkan ini membuat kepala Catleya serasa ingin meledak.
Tak terasa, Catleya sudah selesai membersihkan diri. Ia pun buru-buru mengeringkan tubuh dengan handuk dan memakai setelan piyama tidur lengan panjang yang sudah disiapkannya tadi. Selama berada di desa ini, dia memutuskan untuk selalu memakai pakaian yang tertutup agar terhindar dari gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Namun ketika Catleya sedang mengipasi rambutnya yang basah, suara perempuan tiba-tiba terdengar memanggil namanya, “Mbak Catleya….”
Deg!
Catleya hampir saja melompat dan bersembunyi di bawah selimut. Untungnya, dia teringat akan perkataan Rajendra sebelum lelaki itu pergi. Lekas saja, Catleya berjalan menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang. Benar saja di ambang pintu sudah berdiri dua orang perempuan muda yang wajahnya bak pinang dibelah dua.
“Mbak Leya, saya Isti dan ini Irma. Kami ditugaskan Pak Jendra untuk menemani Mbak Leya,” sapa salah satu perempuan muda itu.
“Kalian kembar?” tanya Catleya mengerutkan dahi.
“Betul, Mbak,” jawab mereka melempar senyum.
Irma yang mengenakan daster bercorak bunga, membawa rantang makanan bersusun tiga di tangannya. Gadis itu segera menyerahkan rantang tersebut ke tangan Catleya.
“Mbak, ini kami bawakan makan malam untuk Mbak Leya.”
“Terima kasih, di mana ruang makannya?” tanya Catleya.
“Kami juga tidak tahu, Mbak. Ini pertama kalinya kami diizinkan masuk ke rumah Pak Jendra,” jawab Isti dan Irma serempak.
Catleya menghembuskan napas panjang, lalu berjalan mendahului kedua gadis desa itu. Percuma juga dia bertanya panjang lebar kepada Isti dan Irma karena mereka pun terlihat takut kepada Rajendra. Lebih baik, dia menjelajahi rumah ini sendiri sembari menghapalkan tata letak ruangannya.
Tak butuh waktu lama, Catleya menemukan sebuah ruangan yang dilengkapi meja persegi empat dan lima buah kursi! Dia pun langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi kayu tersebut dan membuka rantang makanan. Sementara itu, kedua gadis desa tadi malah berdiri mematung, layaknya dayang yang mendampingi sang ratu untuk bersantap malam. Tentu saja hal ini membuat Catleya tak nyaman.
“Kalian duduklah, ikut makan bersamaku,” ajak Catleya menarik kursi di sebelahnya.
Namun, keduanya justru menggeleng bersamaan. “Tidak usah, Mbak, kami berdua sudah makan.”
“Makan lagi kalau begitu. Aku tidak akan sanggup menghabiskan makanan sebanyak ini.”
Kedua gadis kembar itu bertukar pandang. Melihat Catleya yang tampak bersikukuh, mereka akhirnya mau menemaninya di meja makan. Diam-diam, perempuan 30 tahun itu mengulum senyum. Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk bertanya kepada Isti dan Irma mengenai Rajendra.
“Apa kalian tahu Rajendra itu berasal dari mana? Dan sudah berapa lama dia memiliki usaha peternakan ayam?” tembak Catleya langsung.
Isti dan Irma saling melemparkan tatapan bingung. Dari ekspresi mereka, terlihat jelas bahwa kedua gadis itu sangat gelisah dengan pertanyaan yang diajukan oleh Catleya.
“Kami tidak tahu, Mbak. Untuk peternakan ayam, Pak Jendra sudah membangunnya sejak dia pindah kemari. Pak Jendra sangat pandai mengelola usahanya, seperti orang yang sudah berpengalaman,” urai Irma. Sontak, Isti langsung menyenggol kaki Irma supaya kembarannya itu tak banyak bicara.
Melihat ketegangan di wajah mereka, Catleya mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan akad nikah esok hari. Dia yakin kedua gadis kembar itu sudah mengetahui rencana yang disusun oleh Rajendra.
“Ehmm, apakah kalian akan menemaniku sampai besok pagi?” tanya Catleya.
“Iya, kami akan membantu Mbak Leya memakai kebaya dan berdandan mulai jam delapan pagi. Kami berdua adalah perias pengantin di desa ini,” tutur Isti.
“Uhukkk, uhukkk!”
Catleya langsung tersedak air putih yang baru saja diminumnya. Ternyata, Rajendra sudah mempersiapkan segalanya dengan matang, seolah dia sudah tahu kapan mereka akan menikah. Sungguh ajaib pemikiran pemuda desa yang satu ini!
“Tetapi menikah itu tidak hanya butuh perias pengantin. Harus ada penghulu, wali nikah, para saksi, tamu undangan, dan juga gedung–”
“Soal itu sudah diatur oleh Pak Jendra, Mbak. Pak Jendra berpesan kepada kami untuk membawa Mbak Leya ke balai desa, karena ijab qobul akan dilaksanakan di sana,” sahut Irma dengan mantap.
Mulut Catleya seketika melongo saat mendengar penjelasan yang diberikan Isti dan Irma. Selera makannya juga lenyap begitu saja. Jika sudah sedemikan matangnya persiapan yang dilakukan Rajendra, ia jelas tidak akan dapat menghindar dari pernikahan paksa ini!
Segera Catleya merapikan makanannya itu dan bergegas tidur. Besok, dia harus dalam keadaan prima untuk “berdebat” dengan Rajendra.
Namun, sungguh sangat disayangkan semua tak berjalan sesuai harapannya. Begitu keluar dari kamar di pagi hari, Catleya mendapat kejutan yang lebih mencengangkan. Saking herannya, wanita itu sampai mengucek matanya tiga kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat.“Mama, kenapa bisa ada di sini?” tanya Catleya.
“Mama sudah berangkat dari semalam bersama Bi Ijah karena mendapat telepon dari Rajendra. Sekarang bersiaplah, Leya, akad nikah kalian akan dilaksanakan pukul sepuluh,” tandas Nyonya Nandini.
Catleya sudah tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dia yakin semua acara sudah diatur sedemikian rupa oleh Rajendra. Namun bila dipikir lagi, menjadi istri Rajendra bukanlah hal yang buruk. Justru dengan pernikahan ini, dia bisa menutup mulut orang-orang sembari menemukan kebenaran dari kematian sang ibu. Catleya lantas menghela napas, menguatkan tekad untuk menikahi Rajendra.
Kurang lebih dua jam dirinya dirias oleh Isti dan Irma, penampilan Catleya kini berubah 180 derajat!
Berbalut kebaya brokat berwarna putih dan sanggulan khas Jawa yang dihiasi bunga melati, pesona Catleya meningkat tiga kali lipat. Kulitnya yang seputih susu jadi terlihat lebih bersinar.Perempuan itu tak hanya terlihat rupawan, tetapi juga anggun bak putri dari keluarga ningrat. Isti dan Irma bahkan tak sabar untuk mengambil foto Catleya, yang nanti akan mereka pakai untuk mempromosikan jasa rias pengantin. Barangkali inilah yang dimaksud dengan aura istimewa yang terpancar dari seorang mempelai wanita?
“Non Leya cantik sekali,” puji Bi Ijah terpesona.
“Terima kasih, Bi, tetapi rambut saya ini rasanya berat,” keluh Catleya.
“Tahan sebentar, Leya, akad nikahmu hanya berlangsung sebentar. Ayo, kita ke belai desa sekarang,” sahut Nyonya Nandini cepat.
Entah mengapa, Catleya merasa ibu tirinya yang paling tak sabar dengan pernikahan ini. Namun, ia berusaha mengabaikannya.
Catleya pun berjalan pelan-pelan menuju ke balai desa, dengan didampingi empat orang perempuan sekaligus. Begitu tiba di balai desa, Catleya menyaksikan para warga sudah berdatangan. Hanya saja, Catleya meneguk saliva kasar ketika memandang sosok lelaki gagah yang memakai beskap berwarna putih gading, lengkap dengan peci di kepalanya. Bolehkah ia katakan Rajendra sungguh mempesona?
Cataleya menggelengkan kepala dan mempertanyakan kewarasannya sendiri. Dia tak sadar bila laki-laki muda yang menurutnya tidak jelas asal-usulnya itu, diam-diam tersenyum kala memperhatikan ekspresinya yang lucu.
‘Tidak salah aku memilihmu, Leya. Kupastikan, kamu tak akan menyesal dengan pernikahan ini,’ batin pewaris tersembunyi Chandra Kirana Group itu dalam hati.
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu