“Leya kenapa malah melamun? Rajendra sudah menunggumu dari tadi?” tegur Nyonya Nandini.
Catleya sontak tersadar dari lamunannya.
Ingin rasanya dia melarikan diri, tetapi sudah terlambat baginya untuk mundur dari pernikahan ini. Alhasil, Catleya hanya bisa pasrah saat Nyonya Nandini membimbingnya untuk duduk di samping Rajendra.Catleya langsung menundukkan kepala, tak berani menatap Rajendra maupun orang-orang yang ada di hadapannya. Namun, ia merasakan pandangan Rajendra yang sekilas melirik ke arahnya. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki muda yang akan menjadi suaminya itu. Yang jelas, Catleya khawatir bila Rajendra menganggap riasannya terlalu mencolok.
“Saya terima nikah dan kawinnya Catleya Wiryawan binti Andi Wiryawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Rajendra dalam satu tarikan napas.
“Bagaimana para saksi? Apakah sah?”
“SAH!”
Rajendra menarik napas lega, karena bisa mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Semua yang hadir terlarut dalam lantunan doa yang dibacakan oleh penghulu. Para saksi yang terdiri dari Kepala Desa dan Pak Warno ikut senang melihat sang pemilik peternakan akhirnya menikah dengan wanita dari kota. Begitu pula dengan tamu undangan yang berharap agar pernikahan tersebut langgeng hingga maut memisahkan. Di mata mereka, Rajendra dan Catleya adalah pasangan yang sangat serasi. Tak ada yang tahu bahwa usia Catleya jauh di atas Rajendra, karena perempuan itu memang memiliki paras yang awet muda.
“Silakan untuk pengantin wanita mencium tangan pengantin pria,” ujar Penghulu.
Melihat Catleya masih tak bergeming, Rajendra terpaksa menyenggol sedikit lengan istrinya itu. Sedikit ragu-ragu, Catleya mencium punggung tangan Rajendra dengan kepala tertunduk.
Detik ini juga Catleya ingin menitikkan air mata. Bukan karena dia terharu, melainkan karena ia sedang meratapi nasib. Meski pernikahan ini lebih mirip seperti sebuah drama, tetapi ia dan Rajendra sudah resmi menjadi suami istri.
Entah takdir macam apa yang menantinya di depan sana. Demi melepas status lajang, ia sampai nekat mengambil keputusan sebesar ini. Catleya hanya berharap agar Rajendra benar-benar menepati janjinya untuk menemukan penyebab kematian sang ibu.
Usai prosesi akad nikah, Rajendra dan Catleya naik ke atas panggung pelaminan yang sudah dihias sedemikian rupa. Untuk kesekian kalinya, Catleya dibuat tercengang menyaksikan para perempuan desa membawa berbagai macam hidangan dan jajan pasar. Lebih tepatnya, Rajendra seperti mengadakan pesta rakyat di momen resepsi pernikahan mereka.
Catleya menatap seluruh sudut balai desa yang dibuat untuk tempat resepsi, semuanya penuh dengan orang. Bahkan hiasan yang ada begitu sangat mendetail, sampai-sampai Catleya bingung bagaimana cara Rajendra mempersiapkan semua ini. Terlebih, biaya yang dikeluarkan oleh Rajendra untuk menjamu seluruh warga pastilah mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
"Mbak Leya, Pak Rajendra, selamat ya." Isti dan Irma datang menemui pasangan suami istri baru itu, wajah mereka berbinar melihat Catleya.
"Terima kasih, Isti, Irma. Berkat berkat bantuan dari kalian, istri saya terlihat sangat cantik hari ini," balas Rajendra sambil melirik sekilas ke arah Catleya.
Mendapat pujian dari sang juragan ayam, membuat saudara kembar itu tersipu. Namun yang lebih malu di sini adalah Catleya. Bagaimana tidak. Sang suami tiba-tiba memuji kecantikannya di depan para tamu.
"Bukan karena kami, Pak. Wajah Mbak Leya memang cantik dan kulitnya putih seperti mutiara, makanya waktu dirias jadi terlihat manglingi,” jawab Isti.
Setelah obrolan singkat itu, Irma dan Isti meninggalkan sang mempelai karena masih banyak tamu lain yang akan menyalami mereka. Di sisi lain, para tamu undangan yang hadir begitu menikmati pesta yang digelar oleh Rajendra. Makanan prasmanan yang begitu lengkap sangat memanjakan para tamu. Kebanyakan dari mereka makan dengan lahap, bahkan tak sungkan untuk mencicipi semua menu yang tersedia. Tak mungkin mereka akan menyia-nyiakan kesempatan untuk makan enak dan gratis pula.
Di samping acara makan, Rajendra juga menyiapkan hiburan untuk para tamunya di siang hari itu. Lagu campur sari dan juga suara gamelan yang sangat kental dengan adat Jawa, memenuhi aula besar itu. Alhasil, para warga merasa sangat betah untuk berlama-lama di balai desa.
Senyuman Rajendra tidak ada lunturnya saat para tamu terus-menerus berbaris untuk memberikan ucapan selamat. Berbeda dengan Catleya yang sudah tak tahan untuk berdiri lebih lama. Apalagi Catleya adalah tipe wanita introvert yang cepat sekali merasa letih bila berada di keramaian.
Sesekali Catleya pun meregangkan kakinya, dan hal itu menarik perhatian Rajendra.
"Mbak Leya lelah?" tanya Rajendra dengan lembut. Dia mendekat ke telinga Catleya agar suaranya terdengar oleh sang istri.
Catleya menoleh, menatap mata Rajendra beberapa saat sebelum akhirnya berkata jujur.
“Kakiku pegal, Jendra,” keluh Catleya.
"Duduk saja kalau lelah, karena tamu undangannya masih banyak. Saya juga tidak menyangka kalau semua warga desa akan datang," ucap Rajendra masih tetap memakai bahasa yang formal.
"Tapi, tidak enak kalau menyalami para tamu sambil duduk. Tidak masalah aku berdiri sebentar lagi."
Catleya tersenyum untuk menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Namun, Rajendra paham betul kalau istrinya itu berpura-pura kuat. Tanpa banyak bicara, pemuda itu meninggalkan Catleya begitu saja saat tidak ada tamu yang naik ke panggung.
Melihat suaminya pergi begitu saja, membuat Catleya bingung. Perempuan itu langsung mengedarkan pandang untuk mencari keberadaan Rajendra. Ternyata dia sedang sibuk mengambil makanan dan minuman. Catleya jadi berpikir, mungkinkah Rajendra mengambil makanan untuk dirinya.
Tidak lama setelah itu, Rajendra kembali dengan sepiring nasi dan segelas es jeruk. Pemuda itu menatap kepada istrinya dengan sangat tulus.
"Minum dulu,” ujar Rajendra menyerahkan gelas kepada Catleya. Ternyata apa yang dipikirkan Catleya tadi tidak salah, Rajendra memang meninggalkan pelaminan demi dirinya.
Sedikit ragu, Catleya mengambil minuman tersebut lalu meneguknya hingga tandas. Melihat bagaimana cara Catleya minum, Rajendra tersenyum tipis. Dia tidak menyangka kalau istrinya itu sangat kehausan. Barangkali Catleya memang belum terbiasa berada di tengah kerumunan orang tanpa pendingin ruangan.
"Sekarang Mbak Leya makan, karena ini sudah lewat jam makan siang. Kebetulan masih belum ada tamu yang akan bersalaman dengan kita. Bibi Ijah mengatakan kalau Mbak Leya punya penyakit maag," kata Rajendra sambil menggenggam sendok, seakan hendak menyuapi Catleya.
Catleya melirik sekitar, merasakan beberapa pasang mata menatapnya dan Rajendra dengan senyuman. Mendapati hal itu membuat Catleya sedikit malu.
"Tapi semua orang melihat kita, Jendra,” bisik Catleya.
"Memangnya kenapa? Kita sekarang sudah menjadi suami istri, tidak ada yang salah. Lagipula hari ini kita menjadi raja dan ratu, tidak usah menghiraukan orang lain," tutur Rajendra.
Pemuda itu tersenyum manis, melihat Catleya malu-malu seperti itu membuat Rajendra merasa gemas.
"Ayo makan, biar aku yang menyuapi Mbak Leya," lanjutnya.
Pada akhirnya Catleya menerima saja suapan dari Rajendra, karena tidak bisa dipungkiri wanita itu memang sedang lapar. Bertatapan langsung dengan Rajendra membuat Catleya mengabaikan tatapan tamu yang ada di sana. Mendapatkan perhatian kecil dari sang suami membuat hati Catleya tersentuh. Sungguh Rajendra selalu paham dengan isi pikirannya tanpa ia perlu mengatakan apa pun.
* * *
Setelah pesta yang begitu panjang tadi, akhirnya Catleya, Rajendra, Nyonya Nandini, dan Bi Ijah pulang lebih dulu. Meskipun pesta di balai desa belum berakhir, mereka sudah terlalu lelah untuk berada di sana, terutama Catleya yang tak sanggup lagi untuk bertahan.
"Huh! Aku rasanya ingin langsung tidur, Ma," ucap Catleya saat baru saja sampai di rumah Rajendra.
Wanita itu langsung duduk bersandar di sofa ruang tamu. Sedangkan Rajendra pamit lebih dulu untuk masuk ke dalam kamar. Wajah pemuda itu juga terlihat letih dan ingin segera beristirahat.
"Kalau begitu kamu cepat ganti baju di kamar," sahut Nyonya Nandini.
"Iya, Ma. Bi Ijah, bisa tolong bantu aku untuk membuka kancing belakang kebaya ini?"
Catleya berdiri dari posisi duduknya dan mendekati Bi Ijah. Perempuan paruh baya itu langsung mengiyakan permintaan Catleya, tetapi Nyonya Nandini segera menahan tangannya.
"Kenapa, Nyonya?" tanya Bi Ijah bingung.
"Bi Ijah ini gimana, biarin saja Leya minta tolong ke suaminya untuk melepas bajunya. Masa Bi Ijah mau ikut ke dalam kamar pengantin baru?" jawab Nyonya Nandini dengan nada bicara yang sedikit menggoda.
Menyadari hal itu, Bi Ijah langsung membulatkan mulutnya.
"Maaf, Non. Apa yang dikatakan Nyonya benar, 'kan di kamar udah ada Jendra."
Catleya yang mendengar hal itu hanya bisa tertegun, dia tidak menyangka pikiran dua wanita paruh baya itu bisa sangat jauh. Mana mungkin dia meminta bantuan kepada Rajendra untuk hal pribadi semacam ini. Namun, jika dia membantah perkataan Nyonya Nandini, sudah pasti ibu tirinya itu akan curiga.
Karena tak ada pilihan lain, Catleya terpaksa masuk ke dalam kamar yang ditempati Rajendra. Tatkala membuka pintu, Catleya disambut oleh harum semerbak bunga melati yang menghiasi sisi ranjang. Wanita itu sampai tidak bisa berkata-kata. Entah siapa yang menghiasi kamar pengantinnya jadi seindah ini. Catleya bahkan merasa bagaikan seorang putri ningrat yang akan merayakan malam pertama bersama sang suami.
"Mbak Leya mau mandi atau ganti baju dulu?" tanya Rajendra. Laki-laki muda itu ternyata sudah melepas seluruh atribut pengantin yang ia pakai. Sekarang, Rajendra mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu dan celana hitam selutut. Memakai baju rumahan seperti ini, justru membuat otot-otot lengan Rajendra terlihat jelas di mata Catleya.
"A-aku mau melepas aksesoris rambut dan menghapus riasanku dulu,” ujar Catleya gugup.
Dia merasa sangat aneh karena berduaan dengan Rajendra di dalam kamar yang suasananya begitu romantis. Alhasil, Catleya terburu-buru melepas sanggulnya, hingga salah satu jepit rambutnya tersangkut. Catleya pun berusaha keras menarik jepit itu, tetapi tiba-tiba ia merasakan tangan Rajendra menyentuh helaian rambutnya.
“Biar saya bantu,” tutur Rajendra.
Deg!“Terima kasih,” lirih Catleya. Berkat bantuan dari Rajendra, sanggulnya kini sudah terlepas dengan sempurna. Tanpa diminta, Rajendra juga membukakan kancing di bagian belakang kebaya Catleya. Setelahnya, pria itu memilih duduk di tepian ranjang sembari mengecek ponselnya. Suasana di dalam kamar begitu sangat canggung. Baik Rajendra maupun Catleya tidak tahu harus membuat obrolan seperti apa. Terlebih, jantung Catleya sama sekali tidak bisa berdetak dengan normal. Dari balik kaca rias, ia merasa setiap gerakannya seakan diperhatikan oleh Rajendra. “Emmm, Jendra, aku mandi dulu,” ucap Catleya memecah keheningan. Karena tak tahan dengan kecanggungan yang ada, Catleya memutuskan untuk membersihkan diri dan berganti baju di dalam kamar mandi. “Iya, saya juga pamit ke peternakan ayam dulu, Mbak,” pamit Rajendra. "Kenapa?" tanya Catleya bingung. Kenapa juga harus ke peternakan di kala matahari sudah tenggelam. "Memang sudah seharusnya begitu, peternakan harus tetap dipantau meskipun ma
“Tenang saja, Mbak, itu pasti salah satu pegawai saya. Mbak tunggu di sini, saya akan periksa ke depan,” ucap Rajendra lantas melangkah pergi. Dengan wajah tegang, Catleya pun menunggu Rajendra kembali. Perempuan itu baru bisa bernapas lega tatkala melihat Rajendra datang bersama seorang pria berusia empat puluh tahunan. Dari gestur tubuhnya, tampak bahwa lelaki tersebut sudah mengenal Rajendra dengan baik. “Ini Pak Yadi, pengawas kandang. Dia kemari untuk tugas jaga malam,” kata Rajendra memperkenalkan pria itu kepada Catleya. “Selamat malam, Bu, maaf kalau kedatangan saya buat Ibu kaget. Saya baru saja selesai membersihkan balai desa bersama warga,” kata Pak Yadi sembari menunduk hormat. “I-iya, Pak, tidak apa-apa,” jawab Catleya merasa malu sendiri. Memang dirinya yang terlalu penakut hingga berpikiran macam-macam. “Pak, tolong jaga kandang. Besok sebelum jam tujuh pagi, saya akan datang,” titah Rajendra. Setelah memberikan arahan kepada pegawainya, Rajendra berpaling untuk
Mendengar pengakuan spontan dari Rajendra membuat Catleya tidak dapat menahan tawa. Catleya tidak menyangka masih ada pria sepolos Rajendra di muka bumi. Mana mungkin laki-laki seusia Rajendra tidak mengetahui mengenai hal-hal yang berbau dewasa, kecuali dia benar-benar seorang yang alim. Walaupun tidak pernah melakukan, paling tidak seseorang memiliki pengetahuan lewat buku, artikel maupun film. Di samping itu, Catleya juga tidak percaya bila Rajendra belum pernah berpacaran. Dengan didukung paras tampan dan kantong yang tebal, rasanya mustahil bila tak ada gadis yang berusaha untuk menarik perhatian Rajendra. Merasa ditertawakan, Rajendra menatap heran kepada Catleya. "Apa ucapan saya tadi lucu, Mbak?" Catleya tidak langsung menjawab, karena wanita itu masih berupaya mengendalikan tawanya. Beginilah resiko bila menikah dengan lelaki yang masih bocah biarpun secara fisik sudah terlihat dewasa. Sebagai pihak yang lebih tua, ia harus bisa memahami sisi kekanak-kanakan dalam diri
“Jendra….” lirih Catleya. Sengaja Catleya memanggil Rajendra dengan suara lirih untuk mengetes apakah suaminya itu sudah tidur atau belum. Tak ada sahutan yang terdengar dari lelaki itu, pertanda bahwa ia telah terbang ke alam mimpi. Ternyata Rajendra termasuk tipe orang yang mudah sekali terlelap hanya dalam hitungan menit. Berbeda dengan dirinya yang sulit memejamkan mata bila di sebelahnya ada orang lain. “Sebenarnya dia tidur atau hanya pura-pura?” gumam Catleya bermonolog.Merasa penasaran, Catleya beringsut mendekat kepada Rajendra. Dengan bertumpu pada sikunya, perempuan itu mengintip sang suami. Kedua kelopak mata pemuda itu terkatup rapat tanpa adanya pergerakan sama sekali. Catleya mencoba untuk mengamati Rajendra lebih dekat. Namun, ia malah menjadi gagal fokus saat memperhatikan bentuk wajah, alis, hidung, dan bibir suaminya. Sungguh, seorang lelaki tampan dalam kondisi apa pun tetaplah tampan, bahkan saat ia memejamkan mata. Barangkali jika Catleya bisa melukis, maka
Mendengar itu, Meliana justru memasang ekspresi prihatin sembari melipat tangannya di depan dada. "Kami datang jauh-jauh untuk memberimu ucapan selamat, Kak. Setahuku pengantin baru biasanya penuh kebahagiaan, tetapi kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu mengalami stress berat setelah menjadi wanita desa?” sarkasnya. Sekilas Catleya melihat Adrian menyenggol lengan Meliana agar berhenti bicara. Tindakan Adrian tidak membuat Catleya tersentuh sama sekali. Justru ia ingin menunjukkan kepada lelaki itu bahwa seorang Catleya Wiryawan bisa membela diri tanpa membutuhkan bantuan dari siapapun. “Aku tadi bangun pagi dengan wajah berseri-seri. Tetapi mood-ku langsung hancur saat ada dua lalat pengganggu yang beterbangan di rumahku. Selain bau busuk, lalat itu terus mendengung di telingaku. Aku berencana untuk menggeplaknya dengan raket listrik supaya lalat itu berhenti mengganggu kebahagiaanku,” tandas Catleya menekan setiap kalimatnya. Kini wajah Meliana memanas. Namun, perempuan itu
“Saya memang butuh bantuan dari Mbak Leya, tetapi bukan sekarang. Nanti Mbak Leya juga akan tahu kalau waktunya sudah tiba,” jawab Rajendra penuh teka-teki. Catleya terdiam. Namun, ia mencoba tak ambil pusing dan mengangguk. Mungkin, suaminya ini memang butuh waktu.***** “Jendra, apa kamu akan ke peternakan lagi?” tanya Catleya mengikuti langkah Rajendra yang berjalan menuju dapur. Jika pemuda itu sudah tidak disibukkan oleh pekerjaan, Catleya berencana akan bicara mengenai kepulangannya. Dia juga akan memesan tiket bus agar secepat mungkin bisa meninggalkan desa Purwabinangun. Catleya bertekad untuk mengurus keperluannya sendiri agar tak selalu merepotkan Rajendra. “Iya, dua jam lagi saya akan kembali ke kandang untuk mengawasi penyuntikan vaksin. Mungkin saya pulang agak malam,” kata Rajendra sembari mencuci tangannya dengan air sabun. “Ayam juga perlu divaksin?” tanya Catleya heran. Catleya memang tidak tahu-menahu cara memelihara hewan yang menjadi makanan favorit sebagi
Dalam beberapa detik, Catleya mengerjap-ngerjapkan mata lantas mencubit tangannya sendiri di bawah meja. Ketika merasakan kulitnya tertarik, barulah Catleya yakin bahwa ia tidak bermimpi di siang bolong. Ternyata dewi fortuna sedang berpihak kepadanya hingga Rajendra tiba-tiba mendapat pekerjaan di kota! Meski senang bukan kepalang, Catleya lantas berpikir keras. Bila Rajendra turut serta pindah ke Jakarta, artinya mereka akan tinggal serumah lagi. Bukannya dia benci kepada Rajendra, tetapi Catleya tidak ingin terbawa perasaan jika serumah terus dengan sang suami. Pasalnya dengan jurang perbedaan usia yang cukup jauh, tidak mungkin bagi mereka untuk menjalani pernikahan sungguhan. Di samping itu, Rajendra nampaknya lebih tertarik mengurusi ayam dibandingkan memikirkan masalah cinta...? “Apa kamu akan bekerja di perusahaan peternakan juga? Lalu bagaimana dengan usahamu sendiri di desa ini?” tanya Catleya penasaran. “Pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan ayam, Mbak. Soal pe
Bukannya ikut bersemangat, Catleya justru menguap lebar. Kedua kelopak matanya mendadak terasa berat dan minta untuk dipejamkan dengan segera. Mungkin ini merupakan efek samping dari perutnya yang sudah kekenyangan. Atau bisa jadi dia terlalu bosan mendengarkan informasi yang disampaikan oleh Ineke.“Ley, kamu masih mendengarkan aku?” tanya Ineke merasa diabaikan.“Sorry, aku tiba-tiba ngantuk banget, Ke,” jawab Catleya sambil menguap untuk kedua kalinya.“Ish, bisa-bisanya menguap di saat aku bicara serius denganmu. Aku sumpahin kamu nanti jatuh cinta dengan CEO baru kita,” sembur Ineke.“Itu tidak mungkin terjadi, karena kami beda alam,” jawab Catleya sekenanya. Mana mungkin dia bisa jatuh cinta sedangkan melihat rupa CEO saja belum pernah. Seandainya suatu hari mereka tak sengaja berpapasan di lobi atau lift, paling hanya dianggap angin lalu saja. Mustahil ada adegan jatuh terpeleset atau tabrak-menabrak yang berujung cinta, seperti dalam serial drama. Itu semua hanyalah imajinasi