Share

Calon Suami Misterius

Mendengar itu, Catleya semakin bingung. Kenapa perjalanannya menemui Rajendra jadi horor begini? Terlebih, respon warga terhadap Rajendra terkesan sangat berlebihan, seakan pemuda itu adalah orang sakti atau penguasa negri yang sangat disegani.

“Saya berkunjung ke sini karena Jendra sendiri yang mengundang saya, Mbok,” jawabnya berusaha tenang.

Seketika Mbok Lasti dan Pak Warno saling melempar pandang dengan tatapan bingung. Begitu pula dengan beberapa orang warga di sekitar mereka yang berbisik-bisik. Catleya pun merasa risih karena diamati oleh Mbok Lasti dari pucuk kepala hingga ke ujung kaki. 

Setelah memindai Catleya dengan seksama, Mbok Lasti melihat ke sekeliling dan memanggil seorang pemuda yang sedang mengangkut peti telur.

“Danar, ke sini sebentar!”

“Ada apa, Mbok?” tanya pemuda berambut gondrong itu.

“Tolong antar Mbak Leya ke rumahnya Pak Jendra sekarang.”

Kini giliran Danar yang menatap heran kepada Catleya, seolah-olah dia baru saja bertemu dengan makhluk dari luar angkasa. 

“Lah, Mbok, kenapa saya yang harus mengantar Mbak Bule ini? Nanti saya kena marah Pak Jendra,” tolak Danar dengan raut cemas. 

Kedua pipi Catleya langsung merona saat mendapat julukan “bule” dari pemuda bernama Danar itu. 

“Sudah sana, Nar, antar Non Leya. Hanya kamu di desa ini yang paling sering bertemu dengan Pak Jendra.”

Danar meraup wajahnya kasar, lalu berjalan menghampiri Catleya. Tampaknya pemuda itu bersedia menyanggupi permintaan Mbok Lasti meski dengan keterpaksaan. Sebaliknya, kini malah Catleya yang merasa keberatan untuk diantarkan oleh Danar. Wanita itu pun mendekat kepada Pak Warno yang masih setia berdiri di sampingnya. 

“Maaf, Pak, boleh saya bicara sebentar di sebelah sana?” 

“Boleh, Non, mari.”

Pak Warno lantas mengajak Catleya berjalan ke sekumpulan pohon rindang yang berada di dekat lahan kosong. 

“Ada apa, Non? Apa Non tidak mau diantar oleh Danar?” tanyanya begitu tiba di sana.

“Bukan, Pak, tetapi saya ingin bertanya tentang Rajendra. Kenapa semua penduduk seperti takut kepadanya? Apa dia semacam dukun yang punya ilmu gitu, Pak?” Catleya memberanikan diri.

Pak Warno buru-buru menempelkan jari telunjuknya di bibir seraya merendahkan nada suara. 

“Non, jangan bicara asal seperti itu. Pak Jendra adalah pemilik peternakan ayam terbesar di daerah ini. Dia memberikan pekerjaan kepada warga kami, sekaligus membantu pembangunan Desa Purwabinangun sampai maju seperti sekarang. Pak Jendra juga terkenal sangat tegas dalam mengusir para preman.”

“Apa?” Catleya hampir tak percaya mendengar semua kehebatan Rajendra yang diceritakan oleh Pak Warno. Mungkinkah pria paruh baya ini sekadar melebih-lebihkan? Namun bila dipikir lagi Rajendra memang sosok laki-laki yang cukup sulit untuk ditebak. 

“Dari mana Rajendra bisa mendapatkan modal untuk membangun peternakan ayam? Setahu saya, Rajendra adalah keponakan jauh dari Bi Ijah, asisten rumah tangga saya,” cetus Catleya merasa penasaran. Dia ingin memastikan bahwa Rajendra tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum seperti mencuri, merampok, atau berdagang barang yang haram.

“Bi Ijah?” Pak Warno tampak mengingat wanita tua yang wajahnya tak mirip sama sekali dengan Rajendra. Bahkan, tersebar rumor bahwa Rajendra hanya berpura-pura menjadi keponakan Bi Ijah agar warga desa tak tahu identitas aslinya. Namun, rasanya kurang etis bila ia menceritakan rumor ini kepada Catleya.

Jadi, laki-laki tua itu pun akhirnya berkata, “Saya juga tidak tahu pasti, Non. Terakhir kali saya mendengar beberapa warga mengatakan bahwa Pak Jendra berasal dari kota besar. Karena itu, dia sangat cerdas dan punya banyak uang di usia muda. Pak Jendra juga yang mengajari warga tentang internet."

“Benarkah, Pak?” tanya Catleya terperanjat.

Pak Warno mengangguk pelan sebelum melanjutkan ucapannya.

“Kami yakin bila Pak Jendra itu anak orang kaya dari kota. Mungkin dia mengasingkan diri di desa karena terkena suatu masalah. Hampir empat tahun tinggal di sini, Pak Jendra jarang sekali menerima tamu, kecuali untuk urusan pekerjaan.”

Darah Catleya serasa berdesir saat mendengar fakta mencengangkan itu. Pantas saja Rajendra berani menjanjikan hal besar dan juga mengundangnya untuk datang ke desa! Ternyata pemuda itu bermaksud untuk menyombongkan harta dan kemampuannya. Meski begitu, Catleya masih penasaran sekaligus was-was dengan identitas asli Rajendra. 

“Pak, kalau begitu apakah saya….”

“Leya!!”

Belum sempat melanjutkan diskusi, sebuah suara bariton tiba-tiba memanggil Catleya dengan lantang. Meski belum bisa melihat sosok yang menyebutkan namanya, tetapi Catleya tahu Rajendra-lah yang memanggilnya.

Jantung Catleya sontak berdebar-debar. Terlebih, ia melihat Pak Warno sampai berubah pucat! 

“Selamat sore, Pak Jendra,” sapa pria tua itu–setengah membungkukkan badan.

Rajendra mengangguk tenang. “Sore, Pak. Terima kasih sudah menemani calon istri saya, ya.”

“Calon istri?” 

Tak hanya Pak Warno, Catleya sendiri ikut terperanjat mendengar ucapan Rajendra yang terlalu frontal. Padahal, ia belum memberikan persetujuan terkait dengan pernikahan mereka, tetapi Rajendra sudah mengumumkan dirinya sebagai calon istri. Pemuda itu juga berani memanggilnya dengan nama saja, seolah-olah mereka teman sebaya.

“Maaf, saya tidak tahu kalau Non Leya ini calon istri Anda. Kami baru bertemu di perjalanan,” kata Pak Warno terlihat sungkan.

“Tidak masalah, Pak. Kalau begitu, saya dan Leya pamit sekarang. Leya pasti lelah sehabis menempuh perjalanan jauh.”

Tanpa berbasa-basi lagi, Rajendra segera mengambil alih koper yang dibawa oleh Catleya. Melihat perempuan itu masih terpaku di tempatnya, Rajendra menyambar tangan Catleya dan menariknya pelan. 

Tindakan tiba-tiba itu membuat Catleya menjadi salah tingkah. Namun, untuk menepis tangan Rajendra, Catleya tidak berani melakukannya karena mereka sedang menjadi pusat perhatian warga desa. Pada akhirnya, Catleya hanya bisa menurut hingga mereka tiba di sebuah rumah bergaya joglo. 

Rumah itu tampak paling menonjol di antara rumah di sekitarnya. 

Begitu memasuki pekarangan, Catleya segera melepaskan tangannya dari genggaman Rajendra.

“Ada apa?” tanya Rajendra langsung menoleh. Entah mengapa tatapan tajam pria muda itu membuat nyali Catleya menjadi ciut.

“K-kenapa tadi kamu mengatakan kepada Pak Warno kalau aku calon istrimu?”

“Karena kenyataannya memang begitu. Jika Mbak Leya datang ke desa, artinya Mbak Leya setuju untuk menikah dengan saya," jawab Rajendra kembali memakai bahasa yang formal.

“Jendra, aku ke sini hanya untuk melihat apa pekerjaanmu dan bagaimana kehidupanmu sehari-hari,” bantah Catleya dengan segera.

“Sama saja, Mbak. Justru Mbak Leya mau melakukan penyelidikan karena tertarik untuk menjadi istri saya. Bukankah begitu? Lebih baik kita bicara di dalam karena di sini dinding pun bisa memiliki banyak telinga.”

Kesimpulan yang diambil Rajendra membuat wajah Catleya serasa tertampar. Selain mahir berdebat, pemuda ini memang memiliki kemampuan batin untuk membaca pikirannya. Catleya semakin yakin jika desas-desus yang beredar di antara warga tentang Rajendra adalah benar. Namun, bisa juga Rajendra memiliki latar belakang yang lebih misterius daripada yang pernah ia bayangkan.

Dengan ragu-ragu, Catleya mengikuti Rajendra melewati pintu utama. Begitu melangkahkan kaki, Catleya melihat perabotan di rumah itu yang didominasi warna hijau. Terdapat juga sebuah lukisan gamelan jawa beserta dua orang pesinden yang terpajang di dinding. 

Entah mengapa Catleya malah mengingat kisah-kisah mistis tentang orang yang memuja makhluk gaib demi mendapat kekayaan. Mungkinkah Rajendra ini adalah salah satunya? Jika benar begitu, maka dia harus segera kabur sebelum dikorbankan menjadi tumbal pesugihan oleh pemuda itu.

Tanpa sadar, Rajendra pun mengajak Catleya berbelok ke kanan–menuju sebuah pintu kamar yang tertutup rapat. 

“Kamu bisa tidur di sini, ya!” kata pria itu.

Seketika Catleya tersadar dari lamunannya. 

“Tunggu. Apa kamu mau menyuruhku menginap di rumahmu malam ini?” cegah perempuan itu pada Rajendra yang hendak membuka pintu kamar itu.

“Iya, Mbak. Untuk sementara, Mbak Leya tidur di sini, sedangkan saya akan menginap di rumah kepala desa. Tidak baik kalau kita tinggal serumah sebelum ada ikatan pernikahan.” 

Ucapan Rajendra yang sangat beretika dan sopan, membuat Catleya tertegun. Namun di dalam hati, ia justru takut ditinggalkan oleh Rajendra. 

“Jangan pergi, aku takut sendirian di rumahmu,” ungkap Catleya apa adanya.

Mendengar itu, Rajendra menaikkan sebelah alisnya, merasa heran dengan alasan yang dikemukakan oleh Catleya.

“Kenapa takut?”

“Karena barang-barang di rumah ini hampir semuanya hijau. K-kamu bukan pengikut buto ijo, kolor ijo, atau semacamnya, kan?” tanya Catleya keceplosan bicara. 

Di luar dugaan, pemuda tersebut malah menertawakan Catleya. Rajendra tidak terlihat marah sama sekali, tetapi malah terkekeh geli hingga muncul sebuah lesung pipit di pipi kanannya. 

“Jadi Mbak Leya berpikir saya menjadi kaya karena pesugihan? Pasti Mbak Leya terlalu banyak menonton film horor. Saya memilih warna hijau karena warna itu adalah favorit mendiang ibu saya. Mbak Leya jangan khawatir karena saya mendapatkan uang dengan cara yang halal, bukan dengan jalan pintas.”

Tanpa menunda lagi, Rajendra membuka pintu kamar itu dan meletakkan koper milik Catleya di lantai.

“Oh, iya. Saya akan memanggil Isti dan Irma untuk menemani Mbak Leya. Istirahatlah Mbak, karena besok siang kita akan melaksanakan akad nikah. Saya pergi dulu,” tandas Rajendra lantas melenggang pergi. 

Pria itu tak sadar Catleya termangu di tempatnya. Ia tak menduga jika pemuda itu bersungguh-sungguh akan menikahinya. 

“Astaga… bagaimana ini? Apa aku benar-benar akan menikahi lelaki yang cocok sebagai adikku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status