Ai yang sudah tidak bekerja itu mencoba mencari kesibukan yang bisa dimanfaatkan walau sedang tidak bebas bergerak. Satu ide pun muncul, ia memutuskan untuk merapikan kembali pakaian suaminya.Hal itu benar-benar membuatnya bahagia sebab bebas mencium bau parfume yang biasa digunakan oleh Ian. Hingga pada akhirnya, ia mendapati sebuah kotak yang berisikan hadiah dari klien. Ai memang sudah sangat ingin membukanya sejak lama, namun begitulah suaminya yang selalu melarang. Alasannya selalu saja malas karena bentukan kotak hadiah yang tidak begitu menarik.Namun kali ini, ia tak lagi dapat menahannya. Segera saja, kotak itu ia buka dan mendapati sebuah kaus oblong yang tampaknya memang bukan ukuran Ian."Kenapa kecil sekali? Malah seukuran badanku," pekik wanita itu sambil mencoba-coba mencocokkan dengan badannya.Senyuman indahnya tak kunjung lekang sampai akhirnya ia menemukan sesuatu yang amat sangat mengejutkan. Kotak kecil yang berisikan sepasang kalung itu membuatnya panik.Bagaima
Keesokan paginya, tatkala sudah bangun. Ian memperhatikan istrinya dengan rasa kasihan. Setelahnya, ia tampak tersenyum ketika saling berbalas pesan dengan seseorang.Tatkala menyadari Ai yang akan bangun, ia segera berpura-pura masih tidur. Wanita itu menatapnya dengan penuh rasa syukur kemudian berupaya sendiri untuk menyibak gorden yang ada di kamarnya.Setelah berhasil, ia kembali duduk di ranjang kemudian berusaha mengambil air minum yang ada di atas nakas. Namun, suara suaminya segera menghentikan kegiatannya."Sebaiknya kita tidak usah pergi liburan. Aku tidak bayangin gimana jadinya cerita liburan kalau keadaan kamu seperti ini.""Mas, kamu sudah bangun?" balas Ai mencoba tenang."Iya, sudah. Aku kasihan sama kamu yang tidak bisa bebas bergerak. Teringat kejadian yang lalu, aku tidak mau menambah beban untuk kamu. Soalnya kita juga tidak tau akan bertemu siapa saja di luar sana.""Jadi, maksudnya kita batal liburan?" tanya Ai memastikan dengan raut wajah yang amat sedih namun m
"Aku beliin jaket untuk kamu, Mas." Ai memasangkan benda itu di tubuh suaminya.Ian tampak pasrah. Sungguh, ia tidak ada niat untuk melawan sang istri yang mungkin akan berdampak juga terhadapnya. Batal liburan saja sudah membuatnya sangat tersiksa sebab tak dihiraukan oleh Mario."Terima kasih.""Sama-sama, Mas. Ini aku pesan sudah dari lama loh, Mas. Dibuat khusus untuk Mas Ian. Lihat, di sini ada namanya," terang Ai panjang lebar yang tidak didengar serius oleh pria itu.Setelahnya, keduanya ke luar dari kamar untuk mengikuti acara makan malam bersama. Mario segera menggandeng istrinya agar tidak semakin membuat posisinya terancam."Kamu mau yang mana, Nak?" tanya Rainy memperlakukan wanita itu dengan sangat baik.Berbeda dengan dirinya yang bahkan tidak mendapat perhatian dari siapapun. Acara makan malam itu benar-benar terlewati tanpa gairah."Ke mari, Nak. Kita main api unggun di luar, yuk? Bibi bakar sampah tadi, sekalian saja mama pesankan biar dibuatkan api unggunnya," kata Ra
Ana menatap ponselnya berkali-kali dan sudah sangat bosan menunggu balasan chat dari Ian. Perasaannya menjadi tidak karuan sebab pria itu semakin sering menghiraukannya akhir-akhir ini. Ia bahkan sudah meminta dengan sangat agar pria itu tidak melakukannya.Tatkala sudah berada di kantor, pria itu akhirnya datang namun belum juga dapat menyenangkan hati Ana."Ian, bukannya kemarin aku sudah bilang ya agar datang lebih awal. Ini kan urusan kantor, tidak akan ada yang curiga kalau kita menghabiskan waktu sebentar. Kenapa kamu malah seolah menjauh akhir-akhir ini?""Tidak. Aku tidak menjauh, juga tidak berniat seperti itu. Aku hanya sedang sangat sibuk dengan semua pekerjaan. Jadi, maaf tidak bisa datang lebih cepat."Walau terdengar masuk akal, Ana masih saja tidak percaya begitu saja. "Jangan-jangan, kamu habis anterin istri kamu ke rumah sakit, ya?"Sebuah tuduhan bertajuk pertanyaan yang tidak ingin disanggah pria itu. Ia hanya mengangguk memberi jawaban yang segera berhasil membuat
Ica yang masih tampak marah sangat ingin memuaskan amarahnya kepada Tiffany yang ia anggap adalah akar dari segala masalah. Tanpa pikir panjang, ia bergerak ke sana sekarang.Hampir saja terjadi kecelakaan di jalan raya yang untung saja masih bisa dielakkan. Mobil dengan kecepatan tinggi itu kini mendekat ke arah ruko milik Tiffany.Akibat fatalnya, dinding teras rumah itu segera tertabrak dan hampir roboh. Tiffany dan temannya yang memang bekerja dengannya, pun sangat terkejut.Kedua gadis itu tampak ke luar untuk memastikan. Namun, setelah melihat siapa yang datang,Tiffany memutuskan untuk menuntaskannya sendiri.Ia tampak mendekat pada Ica yang segera menarik rambutnya. Ya, Ica menjambaknya sekarang.Tak berhenti di sana, ia juga mengacak pesanan bunga yang padahal tampak sudah diselesaikan. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu pengiriman."Tante, kenapa pekerjaan saya dikacaukan seperti ini?" tanyanya merasa penasaran dan sangat bingung. Ia yang tidak diberi jawaban dan malah sema
Noah menatap Ana yang sekarang memang menjadi semakin lebih baik. Ia merasa bangga pada gadis itu. Bahkan sekarang, Ana mengajak Arzi untuk makan bersama.Ketiga orang itu tampak hendak memulai acaranya ketika Ai datang kemudian ikut bergabung. Kunjungan ayahnya memang tak pernah dilupakan. Mungkin itu adalah salah satu bukti jika ia sangat menyayangi pria itu."Makan, makan dulu," kata Ana menghentikan niat ayahnya yang hendak bicara.Hal lucu itu menjadi berubah serius sekarang ketika mereka saling menikmati makanan yang tersedia di meja. Noah yang memang selalu menilai makanan yang dimakannya, pun bersuara."Makanan ini enak sekali, tapi aneh," protesnya."Anehnya di bagian apa, Pa? Padahal baru saja aku beri aturan agar tidak bicara ketika makan," balas Ana."Makanan ini seperti dibeli," ucap Noah lagi namun setelah acara makan malam itu ditutup. Ana tersenyum kecut dibuatnya. Namun, segera berubah ceria dan penuh tawa."Iya, memang makanan ini dibeli tadi, Pa. Kenapa memangnya?"
"Ngapain kamu ke mari? Sudah lupa ingatan atau memang tidak tau malu?""Kenapa juga aku harus malu, Tante?" tanya Danny dengan nada santai."Hei, pergilah dari sini. Saya tidak sudi melihatmu ada di rumah saya," usir Ica tanpa peduli dengan perkataan pria itu.Danny masih tetap dengan sikapnya yang sedikit angkuh. Kini, ia duduk bersantai sambil menatap Ica yang keningnya tengah diperban. Senyumannya menyeringai."Sepertinya itu hukuman untuk orang yang terlalu sembarangan.""Pergi kamu!" Masih mengusir membuat Danny menaikkan nada suaranya."Dengarkan aku!" Seketika Ica terdiam mendengar bentakan Danny. "Kamu seharusnya bertanya pada Rald, ke mana dia pergi, apa saja yang dia lakukan di luar sana. Itu jauh lebih baik dari pada dengan gampangnya menuduh orang lain merusak putramu.""Tau apa kamu soal Rald? Kamu mau menolong gadis itu lagi? Sssh ... benar-benar tidak tau malu." Menggeram dengan nada kesal sembari memperhatikan keadaan sekitar, sungguh tidak ada siapa-siapa selain mereka
"Sayang, hari ini aku sangat sibuk. Untuk masalah pemotretan Ana, coba kamu yang handle. Tidak capek, kok. Hanya memberi perintah dan memperhatikan kurangnya saja," kata Ian pada sang istri ketika akan berangkat bekerja."Jam berapa, Mas?" tanya wanita itu membalas perkataan suaminya sambil merapikan dari di leher pria itu."Sorean saja, Sayang. Kalau kamu memang mau, boleh ajak siapa saja. Mama, Papa, siapapun boleh, kok.""Sore?" balas wanita itu bergumam sambil memikirkan jadwal sibuknya hari itu. "Iya, iya, mungkin aku akan ke kantor setelah cek ke dokter nanti.""Oh iya, lupa!" Menepuk jidatnya sendiri. "Hari ini kan jadwal kamu cek. Gimana dong, Sayang? Aku tidak bisa antarin dan temenin kamu sekalian.""Tidak apa-apa, Mas. Kan, alasannya juga sangat jelas. Banyak pekerjaan. Aku bisa ngerti, kok."Ian cukup senang dengan cara wanita itu memberikan perhatian dan pengertian untuknya. Ia tidak lupa menyuapkan sisa makanan di piring ke mulut istrinya. "Biar cepat sembuh," katanya de