“Indira… mana Farhan…?” ucapnya lemah. "Dia tak ikut datang bersamamu...?"Kata-kata itu menembus hati Indira seperti pisau. Ia ingin menjawab, ingin menenangkan, tapi lidahnya kelu. Bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan yang sama sekali tak punya jawaban?Indira terdiam untuk sesaat. Tenggorokannya terasa tercekat, seulit mengeluarkan suara. Air matanya jatuh makin deras mendengar pertanyaan Bu Wulan. Setelah hatinya sedikit tenang, Indira melangkah mendekati ranjang ibu mertuanya. Ia menggenggam erat tangan ibu mertuanya yang terasa begitu dingin dan rapuh.“Ibu…” suaranya pecah, nyaris tak bisa ia kendalikan. “Mas Farhan… belum bisa pulang, Bu.” Indira memaksakan senyum tipis, meski wajahnya bergetar menahan tangis. “Tapi saya yakin… sebentar lagi dia akan datang. Doakan saja, Bu, supaya Allah segera mempertemukan kita kembali dengan Mas Farhan.”Mata ibu mertuanya berkaca-kaca. Dengan sisa tenaga yang ada, beliau menggeleng pelan. “Ibu… sudah tua, Nak. Ibu cuma ingin melihat Farha
Indira melangkah keluar dari ruang kerja Pak Erwin dengan langkah gontai. Amplop cokelat berisi slip gaji dan pesangon Farhan ia dekap erat di dadanya, seolah benda itu bisa menjawab semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Namun semakin ia menggenggamnya, semakin besar pula rasa sakit yang meremas hatinya.Udara siang Bekasi terasa panas menyengat, tapi tubuh Indira justru dingin. Indira pulang menaiki sepeda motor dengan pandangannya kosong dan pikirannya melayang-layang pada berbagai pertanyaan yang menyakitkan hatinya. Mengapa Farhan tidak jujur mengenai keuangan? Kemana sebenarnya dia pergi? Mungkinkah suaminya benar memiliki perempuan lain? Suara mesin motor mendengung pelan saat Indira memacu kendaraan di jalanan yang ramai. Matanya terasa panas, kabur oleh air mata yang ditahan. Tiba-tiba, getaran di saku jaketnya membuatnya tersentak. Ponselnya bergetar keras, seakan memaksa untuk segera dijawab.Dengan refleks, Indira menepi ke bahu jalan. Ia mematikan mesin motor, lal
Mata Indira terhenti pada slip gaji yang disodorkan Pak Erwin. Angkanya jelas tertera di sana bahwa penghasila suaminya per bulan mencapai dua belas juta rupiah. Sesuatu yang jauh dari angka lima juta yang selama ini selalu diucapkan Farhan."Jadi, gaji Mas Farhan selama ini adalah dua belas juta Pak?" Tanya Indira pada Pak Erwin, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Pak Erwin mengangguk mantap. "Yah, itu hanya gaji pokok. Bahkan bisa lebih jika ditambah dengan lemburan dan tunjangan dinas saat dia ke luar kota" Penjelasan itu menghantam Indira lebih keras daripada yang bisa ia bayangkan. Dadanya sesak, seakan udara di ruangan itu mendadak lenyap. Jantung Indira serasa berhenti berdetak. Tangannya gemetar ketika menggenggam kertas itu, seolah slip gaji tersebut bukan sekadar selembar dokumen, melainkan bukti pengkhianatan yang tak pernah ia duga.Ingatannya melayang pada kebiasaan Farhan—memberikan satu juta untuk ibunya, dua juta untuk dirinya, dan dua juta lagi katanya un
Setelah beberapa saat, Pak Erwin akhirnya membuka suara, " Tidak ada nama Mayangsari di perusahaan ini" ucap Pak Erwin dengan penuh keyakinan. Jantung Indira seakan berhenti berdetak. Ia menelan ludah, sulit percaya dengan apa yang baru saja didengar. “Tolong, Pak… coba dicari sekali lagi. Mungkin bukan di departemen Bapak, mungkin di bagian lain… atau mungkin masih di perusahaan grup yang sama,” suaranya bergetar, matanya memohon. “Saya… saya hanya ingin tahu siapa dia, Pak. Tolong…” Pak Erwin terdiam sejenak, menatap Indira dengan iba. Ia tahu betul, perempuan di hadapannya sedang menggantungkan harapan besar pada jawaban itu. Akhirnya, ia menarik napas panjang, lalu meraih gagang telepon di mejanya. “Jesika,” ucap Pak Erwin setelah menyambungkan nomor dalam. Suaranya tenang, tapi tegas. “Tolong cek di bagian HRD apakah ada karyawan bernama Mayangsari. Coba juga di seluruh grup perusahaan, bukan hanya kantor pusat.” Indira menatap Pak Erwin tanpa berkedip, jantungnya berdegup ke
"Mas Farhan... benarkah kamu yang melakukan ini padaku?" ucap Indira lirih, suaranya nyaris pecah di ujung tangis.Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Hatinya dipenuhi campuran marah, kecewa, dan rasa tak percaya. Suami yang selama ini ia doakan siang malam agar kembali, suami yang ia cari dengan penuh pengorbanan, hingga ia kehilangan sahabat dan bayi dalam kandunganya, mungkinkah justru dia yang tega menguras habis tabungan yang bertahun-tahun ia kumpulkan?Indira menatap kembali nama Mayangsari di lembar print out itu. Tubuhnya bergetar hebat. "Siapa dia? Siapa Mayangsari?" bisiknya.Pikiran buruk mulai menyeruak, meski hatinya berontak menolak. Apa mungkin... Mayangsari adalah perempuan lain dalam hidup Farhan? Selingkuhan yang selama ini ia butakan matanya untuk tidak percaya?Indira memejamkan mata rapat-rapat, berusaha menyangkal. "Tidak, tidak mungkin... Farhan tidak mungkin sekejam itu..." pikirnya, napasnya tersengal di antara tangis yang tertahan.Selama menjalani rumah t
Indira menatap layar ATM selama beberapa saat, dadanya naik turun tak teratur. Indira tak percaya jika uang tabunganya hilang begitu saja. Tidak mungkin... tabunganku hilang begitu saja.Ia teringat jelas, sejak pertama kali berjualan baju syar’i secara online, setiap keuntungan selalu ia sisihkan sedikit demi sedikit ke rekening itu. Uang itu adalah hasil jerih payahnya, ia rawat dengan hati-hati, bahkan tak pernah sekalipun disentuh. ATM dan buku tabungan pun ia simpan rapi di rumah, jauh dari dompet, agar dirinya tak tergoda untuk memakai uang tersebut.“Tidak... ini pasti salah sistem,” bisiknya gemetar.Dengan langkah gontai bercampur panik, Indira segera menuju kantor cabang bank terdekat. Hatinya ragu tapi masih ada harapan tipis, barangkali ada kesalahan teknis, barangkali saldo sebenarnya masih aman.Di bank, ia mengambil nomor antrean dan menunggu dengan resah. Ketika nomornya dipanggil, Indira menghampiri meja customer service. Seorang petugas perempuan menyapanya dengan ram