"Aksara..." ucap Livia, namun suaranya terhenti. Ia tak jadi melanjutkan kalimatnya yang tadinya bermaksud menanyakan kedatanganya.Aksara hanya mengangguk singkat pada Livia, lalu kembali menatap Indira. Sorot matanya penuh kelembutan yang jarang sekali ia tunjukkan. "Indira, saya turut berduka atas semua yang kamu alami..." ucapnya lirih, nadanya tulus dan begitu hati-hati, seakan takut kalimatnya justru melukai lebih dalam.Namun Indira tak bereaksi sedikit pun. Bibirnya terkunci rapat, wajahnya datar dengan tatapan kosong yang menembus ruang. Di dalam hatinya, luka itu masih terlalu segar, terlalu dalam untuk disentuh kata-kata penghiburan apa pun. Apalagi, saat mengingat bagaimana sikap Aksara padanya terkahir kali yang begitu dingin, hingga membuat Indira menyimpan rasa bersalah yang tak pernah benar-benar terhapus.Dan kini, lelaki itu berdiri di hadapannya dengan sikap lembut dan penuh empati. Membuat Indira merasa bingung harus bagaimana bereaksi. Akhirnya Indira hanya terdia
"Suamiku hilang, sahabatku meninggal, dan anak dalam kandunganku gugur... Kenapa semua penderitaan ini harus aku tanggung?" suara Indira pecah, parau, seperti keluar dari rongga dada yang hampa. Tatapannya kosong menembus ruang rawat yang dingin, seolah tak lagi mengenali dunia di sekelilingnya. Air mata yang sudah kering di pipinya seakan tak mampu lagi menetes, tapi matanya tetap sembab, merah, seperti menyimpan lautan duka yang tak terbendung. Tubuhnya gemetar kecil, menahan rasa sakit yang bukan hanya dari luka fisik, melainkan juga dari jiwa yang porak-poranda. Bu Fatma, dengan mata berkaca-kaca, hanya bisa mengelus bahu putrinya, berusaha menyalurkan kekuatan meski hatinya sendiri remuk melihat Indira seperti itu. Sementara ayahnya berdiri di sudut ruangan, menatap penuh iba. Tangannya mengepal menahan rasa sakit karena merasa tak mampu melindungi putrinya, hingga harus mengalami penderitaan sepedih ini. Indira belum boleh pulang. Tubuhnya masih lemah, penuh infus dan perban,
Dalam sekejap, jalanan yang semula lengang berubah kacau. Suara klakson mobil bersahut-sahutan, beradu dengan sirine ambulance dan polisi yang meraung dari kejauhan. Namun kemacetan panjang membuat laju kendaraan darurat itu tersendat, seakan waktu ikut bersekongkol melawan Indira dan Yanti. Indira terbaring di atas aspal panas, napasnya memburu. Tangannya masih menekan perut yang berlumuran darah, sementara sinar matahari yang mulai naik menyorot wajahnya yang pucat. Pandangannya nanar menatap langit biru yang perlahan diselimuti awan tipis, seolah berusaha tetap sadar meski tubuhnya terus melemah. Di sampingnya, Yanti tak bergerak. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak pucat di bawah bayangan kendaraan yang berhenti tak beraturan. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian panik berteriak minta tolong, sebagian lain hanya berdiri terpaku menatap ngeri. Indira berusaha mengatur napasnya yang semakin pendek. “Bertahan… Kamu harus bertahan bersama Ibu, nak...” bisiknya lirih, meski suara
"Udah buruan naik, nunggu apa lagi, sih?" seru Yanti sambil menepuk jok belakang motornya.Indira masih terpaku di tempat, tangannya menggenggam ujung tas dengan ragu. "Yan... apa kita batalkan aja ya pergi ke orang pintar itu?" suaranya pelan, lebih seperti berbicara pada diri sendiri."Waduh, jangan gitu dong! Aku udah rapi-rapi, motor juga udah siap, masa mau dibatalin sekarang? Sayang banget, Dira!" Yanti langsung menolak mentah-mentah dengan nada sedikit kesal.Indira menggigit bibirnya. Hatinya penuh keraguan. "Aku bener-bener nggak tenang, Yan. Selain takut dosa, aku juga khawatir, naik motor jarak jauh begini bahaya buat aku. Kandunganku kan udah besar.""Ah, tenang aja! Aku janji bawanya pelan-pelan, aman kok! Jangan kebanyakan mikir, nanti malah nggak jadi-jadi," Yanti meraih lengan Indira, seakan memaksa sahabatnya itu segera naik.Indira menunduk, menimbang sejenak. Rasa takutnya masih ada, tapi dorongan Yanti membuatnya tak enak hati untuk menolak terus. Dengan berat hati
Indira menatap Yanti dengan penuh penasaran, menunggu sahabat lamanya itu melanjutkan kalimatnya.Yanti merapatkan duduknya, lalu menurunkan suara seolah takut ada telinga lain yang mendengar. “Aku dengar… di daerah Karawang ada orang pintar yang cukup terkenal. Katanya, dia bisa membantu menemukan segala hal yang hilang. Barang hilang, uang hilang, bahkan orang hilang seperti suamimu”Spontan Indira menutup mulutnya dengan tangan. “Astaghfirullah, Yanti!” serunya dengan mata membesar. Kepalanya langsung menggeleng kuat. “Mendatangi paranormal itu syirik. Itu dosa besar yang tidak akan diampuni Allah. Aku tidak mau menjerumuskan diri pada hal seperti itu.”Nada suara Indira tegas, bahkan agak bergetar. Jelas sekali penolakannya.Namun Yanti justru semakin mendekat, menatap Indira dengan sorot serius. “Dir, kamu jangan keras kepala dulu. Aku tahu ini bertentangan dengan agamamu, tapi pikirkan baik-baik. Farhan hilang sudah berhari-hari, polisi pun belum bisa memberi petunjuk yang jel
"Maafkan kami atas kesalahpahaman ini. Jenazah tidak memiliki identitas, sedangkan di mobil tertera STNK atas nama Farhan. Jadi, kami mengira jenazah tersebut adalah orang yang sedang Ibu cari," ucap seorang polisi dengan nada hati-hati, ditemani dokter forensik di sisinya."Indira terdiam. Hanya anggukan kecil yang ia berikan, meski hatinya terasa kian berkecamuk. Matanya masih basah, dadanya berdesir tak menentu. Ia tidak marah, hanya bingung dan perih.Tangannya refleks memegangi perutnya, seakan mencoba menenangkan diri sekaligus calon buah hati dalam kandungannya. "Mas Farhan..." bisiknya lirih. Nama itu pecah di ujung bibirnya, meninggalkan getar yang membuat tubuhnya lemas.Yang membuatnya lebih gelisah, adalah kenyataan bahwa nama yang tertera di STNK itu sama persis dengan nama suaminya 'Farhan Wicaksana'. Sebuah kebetulan atau mungkin petunjuk baru?Indira pulang ke rumah, di temani ayah dan ibunya. Air mata Indira tak berhenti menetes selama perjalanan dari Rumah Sakit ke R