Ayahku ini memang selalu seperti ini, susah sekali untuk minta maaf, aku sering dengar pembicaraan ayah dan mamak, ayah selalu cari cara untuk tidak meminta maaf, entahlah, ini salah satu kelemahan ayahku. Hal lainnya, ayahku super hero bagiku.Mamak datang, begitu datang langsung minta maaf."Maafkan Mamak ya, Tet," kata mamak seraya memelukku.Mamak ini kebalikannya, mudah sekali meminta maaf, kadang aku yang salah pun mamak akan minta maaf. Akhirnya kami duduk-duduk di sofa malam itu."Tapi, Inang, biarpun mamak sudah minta maaf, kamu tetap bersalah, ayah tidak izinkan kamu pacaran," kata Ayah.Inang adalah panggilan sayang Ayah padaku, seringnya dipendekkan jadi "Nang" saja. "Kenapa panggil Inang, Yah?" aku justru mengalihkan pembicaraan. Bertanya sesuatu hal yang sudah kutahu jawabannya."Itu panggilan sayang, Tet," jawab Ayah."Kenapa ayah jarang panggil Inang, berarti ayah jarang sayang padaku," kataku lagi."Oale baya boru Regaron," Ayah justru mengutip sepenggal nyanyian un
Akhirnya kami jemput Bang Ucok lebih dulu, ini sebenarnya aneh rasanya. Masa polisi bertugas sendiri, biasanya polisi itu bertugas minimal dua orang, ini sendiri, atau dia memang sengaja datang sendiri."Tampan sekali Abang polisi ini ya, Tet?" kata Salsa saat kami dalam perjalanan."Iya, Salsa,""Pacarmu ini?" tanya Salsa lagi seraya berbisik."Nggaklah, Salsa, masih sekolah kita," kataku kemudian."Memang kalau sekolah tidak boleh pacaran, apa kabar si Revi yang pacaran masih SMP," kata Salsa lagi."Itu prinsip, Salsa, dalam keluargaku tidak boleh pacaran, Bang Ucok pun sama, tidak boleh pacaran," kataku."Wiii, putuslah harapanku," kata Salsabila."Hehehe," aku hanya tersenyum.Saat kami sampai di sekolah Bang Ucok, dia belum pulang, kami menunggu di depan sekolah. Bang Umar berdiri di samping mobil patroli, Sedangkan aku dan Salsabila duduk di depan tukang bakso.Brukkkk!Tiba-tiba terdengar suara seperti benturan keras, ternyata ada kecelakaan, motor menabrak mobil. Aku tak semp
Bang Umar tetap membawa orang tua tersebut ke kantor polisi. Tega sekali Bang Umar, lebih tega lagi yang mengadukannya. Orang tua sendiri dipolisikan?Saat kami sudah hendak berangkat, datang mobil pic up, lalu berhenti di depan rumah tersebut sementara orang tua itu sudah di dalam mobil. Bang Umar sedang mempersiapkan surat penangkapan untuk ditandatangani kepala desa setempat."Bagaimana rasanya, Ayah?" kata seorang pria yang baru turun dari mobil pic up. Orang tua itu hanya diam."Ini orang tua bapak?" tanyaku kemudian."Iya, benar,""Bapak mempolisikan orang tua sendiri?" tanyaku lagi."Iya, dia pantas dipolisikan, itu belum seberapa," katanya lagi.Emosiku meluap, ingin rasanya kupukul pria ini, enteng saja dia bilang begitu. Ya, Allah, ada orang seperti ini."Dasar sampuraga, Malin Kundang, si Mardan," aku menyebut semua tokoh cerita durhaka yang aku tahu "Jangan bicara begitu kalau tidak tahu ujung pangkalnya. Lebih baik diam." kata Pria tersebut."Memang bagaimana ceritanya?
PoV NiaTernyata punya anak beranjak dewasa itu lebih mengawatirkan dari pada punya anak bayi. Itu yang kurasakan saat ini. Putriku mulai dekat dengan pemuda, yang ditaksir anakku justru ada di rumahku sendiri. Membuat aku jadi sering deg-degan. Saat Salsabila di rumah kami, aku jadi sering khawatir iblis menang. Apalagi Salsabila sepertinya tanpa pertahanan iman yang kuat. Rasanya ingin tahunya sangat besar.Malam itu hari sudah jam sebelas lewat tiga puluh menit, seperti biasa aku masih mengobrol dengan suami. Ini memang waktu terbaik bagi kami untuk membicarakan apa saja."Sekiranya Abang mau, punya mantu polisi?" tanyaku pada Bang Parlin."Gak, Dek, tapi jika sudah jodoh, kita mau bilang apa," jawab Bang Parlin."Aku selalu khawatir dengan Butet, Bang," kataku lagi."Percayalah, Dek, kita sudah mendidik mereka dengan baik," "Bang, nanti anak kita kita kasih nama apa?" tanyaku lagi."Entahlah, Dek," "Jika perempuan jangan kasih nama Rara ya, Bang?""Ya, Allah, pembicaraan ditutup
Sepanjang perjalanan, Salsa terus diinterogasi oleh Butet. Pengakuan Salsabila tetap seperti itu."Aku tidak tahu lagi tidur di kamar Ucok, setahuku aku tidur di samping Butet. Kan pintu kamarnya sama," jawab Salsa."Mana mungkin, gak masuk logika, kenapa pintunya terbuka sedikit?" kata Butet lagi."Ya, gak tau juga," kata Salsa."Biar bisa kami lihat kan? Apa tujuanmu sebenarnya" tanya Butet lagi."Gak ada tujuan apa apa-apa," kata Salsa."Lalu kenapa harus ngaku yang nggak-nggak?" aku ikut bertanya."Aku hanya ingin jadi bagian keluarga kalian, Tante," kata Salsa."Astaghfirullah,""Aku takut dirajam, Tante," kata Salsa lagi."Ah, sudah gak benar kau, Salsa, dalam satu menit sudah berubah pengakuanmu, tadi katanya ingin jadi bagian keluarga kami, eh, sudah berubah jadi takut dirajam, kau pikir ayahku sekejam itu?" kata Butet."Maksudnya gabungan keduanya, Butet, pengen jadi bagian keluarga kalian, sekaligus takut dirajam," kata Salsa."Sudah, sudah, kita serahkan ke orang tuanya, se
Mobil kami tentu tidak bisa mengebut lagi. Hanya mobil Xenia tahun rendah. Setelah bangkrut dulu, mobil Mitsubishi Strada kami memang dijual Bang Parlin. Setelah naik lagi, dia beli mobil bekas yang murah. Tapi mesinnya masih terawat, bisa ke Medan entah sudah berapa kali bolak-balik. Di kebun ada tiga truk, satu sudah dimodifikasi khusus bawa sapi. Satu lagi truk pelangsir sawit. Satu lagu truk l 300 serbaguna, aku bilang serba guna karena trik itu seringkali kami pakai jalan-jalan. Sering juga dipakai Bang Parlin bawa rumput.Menjelang sampai di ibukota kabupaten, ada persimpangan. Bang Parlin mengehentikan mobil."Kita ke arah mana?" tanya Bang Parlin."Entahlah, Bang," jawabku."Aku ada ide, Yah, kita ikuti remehan roti," kata Butet."Oala, Butet, kau pikir film Hollywood ini?" kata Bang Parlin."Aku mau bilang ikuti tai ayam, tapi terlalu kasar, karena truknya truk ayam," kata Butet."Iya, ya, kok bisa pintar kau, Tet," kata Bang Parlin seraya turun dari mobil. Bang Parlin bena
PoV SalsabilaUang memang bisa membeli ranjang, tapi tidak bisa membeli tidur. Ungkapan itu sangatlah tepat untukku. Uangku banyak, tapi batinku tersiksa. Masih belum cukup umur, aku sudah punya uang dua ratus juta, seratus jutanya beli pedet. Semua kebutuhanku dipenuhi Papa. mobil beserta sopirnya siap sedia mengantarkanku ke mana kumau. Semenjak papa mengundurkan diri, semenjak Mama bunuh diri, hidupku berubah drastis. Tak ada lagi tempat bermanja-manja. Papa seperti orang lain saja. Paman dan bibi tak peduli lagi. Dua abangku justru larut dengan dunianya masing-masing. Setelah ibu tiriku ditangkap polisi. Kupikir papa akan berubah, akan tetapi ternyata tidak. Aku sangat sakit hati ketika papa membawa perempuan ke rumah. Kata papa itu mama baru. Makin sakit hati ketika papa bilang mau pergi bulan madu ke bali. Entah kapan mereka nikahnya. Aku disuruh ke rumah lama kami.Aku dapat ide pergi ke rumah Butet, keluarga mereka adalah keluarga terbaik yang pernah kutemui. Aku pergi tanp
PoV Nia"Ayahmu sayang padamu, Salsa, tak ada seorang ayah yang ingin anaknya menderita," kata Bang Parlin lagi."Tidak, dia lebih sayang pelacur, aku akan pergi cari jalan hidupku sendiri," kata Salsabila.Salsabila bertekad mengadu nasib di ibukota Jakarta, katanya dia mau jadi artis. Menurut pengakuannya dia sudah pernah ikut casting untuk pemeran sinetron di salah satu Rumah produksi, saat itu ibunya masih hidup, dia menang dan diundang ikut casting lanjutan ke Jakarta, tapi ibunya tidak mengizinkan."Jika ayahku bertanya lagi, bilang saja hilang, Om, aku benci ayahku," kata Salsabila lagi."Apakah kau punya uang?" tanyaku kemudian."Ada, sisa uang beli pedet masih ada seratud juta kita lagi." kata Salsabila."Kamu sudah yakin kah?""Yakin sekali, Tante, satu tahun lagi aku sudah tujuh belas tahun," kata Salsabila.Kami tentu tidak dapat mencegah lagi, sebenarnya kasihan juga Salsabila, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mau kami ajak pulang pun lebih banyak mudharatnya,