Share

BAB 2 - Parfum Siapa?

“Marcel?” tanyaku memastikan pada laki-laki yang tengah memegang pundakku ini.

“Kamu ingat aku? Iya, aku Marcel.”

Kami sama-sama saling memandang, lalu aku tersadar tangan Marcel masih menempel dengan nyaman pada pundakku. Melihat aku yang memandangi tangannya Marcel segera melepaskannya.

“Ah, maaf ...,” kata Marcel sembari tersenyum canggung.

“Tidak apa-apa.” Aku pun menjadi malu seketika, entah karena apa aku gugup di hadapan Marcel yang ternyata setampan ini dalam jarak dekat.

Biasanya aku bertemu Marcel ketika aku diajak Jovan bertemu teman-temannya sewaktu kami masih pacaran. Namun, setelah menikah aku sudah tidak pernah bertemu dengan Marcel lagi. Tidak disangka pemuda yang pendiam ini telah berubah menjadi pria matang yang mempesona.

“Ayu?” tanya Marcel ketika melihatku melamun. Aku langsung tersadar dan tersenyum canggung.

“Iya?!”

“Kamu lagi ngapain di sini? Bukannya hari ini ada acara rutin Wicaksono family? Jovan mana?” tanya Marcel beruntun mencecarku.

Aku tertunduk mendengarnya, tidak tahu harus menjawab apa. Daripada menjawab aku beralih bertanya. “Kamu sendiri ngapain di sini?”

“Ah, aku diundang sama Tante Jessica. Katanya sih mau ngasih oleh-oleh buat mamaku,” jawabnya dengan senyuman yang damai.

Sementara aku tersenyum pahit, bahkan orang luar saja diundang dan diberi oleh-oleh. Sedangkan aku, keluarganya sendiri malah mendapat hinaan.

“Oh, begitu. Kalo begitu aku pergi dulu ya.” Aku pamit tanpa menjawab satu pun yang ditanyakan Marcel.

Namun, ketika kakiku melangkah untuk pergi terasa genggaman halus mendarat di tanganku. Marcel menghentikanku.

Aku menengok, memasang wajah bingung akan sikapnya.

“Kamu curang, aku belum dapat satu jawaban pun. Gimana kalo kita pergi dari sini dulu? Kayaknya kamu butuh bantuanku,” katanya.

Eh? Apa ini? Apa maksud dari Marcel?

Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara kami. Keluar dari neraka itu aku justru tertabrak seorang pangeran tampan dan kini dia mengajakku untuk pergi. Benar, aku butuh bantuannya. Mungkin ini hadiah dari Tuhan, bolehkan jika aku mengambilnya?

“Ke mana?”

Pertanyaan itu tidak dijawab, Marcel langsung menarik sudut bibirnya. Tersenyum cerah hanya padaku, masih mengenggam tanganku dengan lembut menggiringku menuju mobilnya. Tidak tahu aku akan dibawa ke mana, sesaat aku terhipnotis oleh pria dengan kulit seputih salju ini.

Saat sudah di mobil, aku tersadar. Marcel kan diundang, jika dia pergi bersamaku, bagaimana sikap Jessica jika tahu nanti? Aku mulai menyadari tingkah bodohku.

“Tunggu Marcel, kalo kita pergi, kamu gimana nanti? Mama Jessica pasti menunggu kamu,” ucapku cemas. Aku sudah tidak mau menjadi samsak lagi, sudah cukup hinaan yang aku terima selama ini.

“Hmm, aku tinggal bilang nggak bisa dateng karena ada bidadari yang butuh bantuanku!” jawabnya dengan enteng.

Sontak aku menganga tak percaya, perkataan itu keluar dari mulut Marcel yang notabene adalah teman dari suamiku. Namun, terlepas dari hal itu, pipiku merona seperti kepiting rebus, teringat kembali pada suasana manis saat aku dan Jovan berpacaran dulu.

“A-apa maksud kamu, aku serius tahu,” kataku sembari menyembunyikan wajahku.

“Hahahah, aku juga serius. Gimana kalo kita langsung aja?”

Marcel kembali meracau hal yang membuat perutku dipenuhi kupu-kupu. Lelaki itu mengacak-acak rambut yang sudah kutata rapi tadi pagi, sembari berkata, “Gemes banget sih, kamu kayak anak gadis.”

“Tenang saja Ayu, aku punya banyak alasan untuk tidak datang. Aku bersyukur ketemu kamu, aku memang tidak ingin datang tadi. Aku juga tidak akan menyebut nama kamu. Jadi ... ini rahasia kita, ya?” lanjut Marcel mengedipkan matanya nakal.

Bukannya waspada aku justru terperangkap pada pesonanya. Memangnya boleh seperti ini?

-

“Dari mana aja kamu? Malam-malam baru pulang, aku telepon nggak diangkat?! Udah berani kamu sama suami?” bentakkan sinis dilancarkan pada Jovan tepat saat kakiku menginjak keramik dingin di rumah.

Benar, aku sengaja mengabaikan panggilan Jovan yang mencecarku saat aku pergi bersama Marcel. Saking asiknya bersama Marcel, aku lupa waktu dan pulang di jam malam. Tidak heran Jovan marah besar, sebelumnya aku tidak pernah seperti ini.

“Aku capek, mau istirahat.” Tidak menjawab pertanyaan Jovan, lelaki itu pun langsung bangkit. Dia meraih tanganku dengan kasar, mencegahku untuk masuk kamar. Mungkin harga dirinya terluka karena diabaikan olehku.

“Jawab dulu! Kamu punya mulut kan?” tanyanya dengan suara keras.

Aku sungguh malas meladeni Jovan, sekarang aku hanya ingin tidur.

“Kamu! Bau parfum laki-laki!” bentak Jovan kian nyaring ketika mencium aroma laki-laki pada tubuhku. Aku mulai gelagapan panik, seakan telah keciduk selingkuh.

Segera aku hempaskan tangan Jovan, dengan mimik yang marah aku balas kasar Jovan, “Maksud kamu apa sih?! Ini bau parfum kamu!” ucapku berdalih.

Amarah Jovan memuncak, walaupun sedikit bodoh, Jovan tidak mudah dikelabui. Dia tahu betul perbedaan wangi parfumnya. Aku pun tidak tahu akan seperti apa pertengkaran kami malam ini. Aku telah melibatkan pihak ketiga, tetapi aku tidak selingkuh. Aku hanya pergi sebentar dengan Marcel, dia pun juga teman dari Jovan. Katakan aku selingkuh di bagian mana?

“Kamu pikir aku bodoh? Ini bukan parfum aku! Dasar wanita murahan, kamu aku pungut dari keluarga miskin, hidup serba mewah dan sekarang kamu khianatin aku? Memang sialan kamu!” teriak Jovan tepat di depan wajahku.

Air mukanya kaku, menahan supaya tidak melayangkan tangannya padaku. Belum pernah aku melihat Jovan semarah ini padaku, jujur saja aku cukup tertegun.

“Kamu ngatain istri kamu murahan? Kamu sendiri yang biarin aku pergi setelah aku dipermalukan sama keluargamu itu kan? Inget ya Jovan, kamu yang memohon buat nikah sama aku, sekarang mulut kamu seenaknya bilang, aku dipungut sama kamu? Kamu liat keadaan kita sekarang, apa aku masih bisa hidup mewah? Aku berusaha hemat sekarang karena kamu ga berguna jadi suami!”

Aku mengatakannya.

Benar, aku mengeluarkan semua yang aku rasakan selama ini, semua itu pecah dan Jovan seakan terpatung mendengarnya. Tidak menyangka, Ayunya yang baik dan menuruti semua perkataannya berubah menjadi seganas ini.

Aku segera pergi meninggalkan Jovan yang masih terdiam dengan napas memburu. Aku banting pintu kamar dengan nyaring menandakan diriku marah. Pertama kalinya dalam rumah tangga kami, aku dan Jovan bertengkar hebat begini. Biarlah besok akan bagaimana, yang penting aku sudah mengeluarkan unek-unekku.

“Tapi tunggu ... gimana kalo Marcel cerita ke Jovan tentang hari ini? Eh ... tapi nggak mungkin lah. Dia bilang ini rahasia kita,” cicitku.

 Sementara itu, tanpa diketahui oleh Ayu. Jovan menggeraskan rahangnya, amarah memuncak dalam nadinya. Dia tahu betul pemilik dari parfum itu.

“Itu Parfum Marcel.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status