Hari itu, Karina datang dengan setelan jas putih dan rambut yang di kucir rapi. Senyumnya sehangat mentari, tapi sorot matanya menusuk. Sejak pertama kali datang ke rumah Kara sebagai konsultan PR, Karina bersikap seolah ia masih pemilik sah posisi di samping Kara.
“Kau benar-benar menikah dengannya?” Karina sempat berbisik ketika hanya mereka berdua diruang tamu. Mala mengangkat bahu, berusaha tidak peduli. Tapi itu tak cukup untuk menyembunyikan goresan kecil yang mulai terukir di hatinya. Ia hanya bisa mendengus kesal. Pintu utama ditutup pelan, tapi denting gagangnya terdengar seperti ledakan kecil di kepala Mala. Tumitnya berdetak tegas di atas lantai marmer. Langkah-langkah yang memantulkan kekesalan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Mala melempar clutch ke sofa, membuka heels yang membuat kakinya nyeri, lalu langsung ke kamarnya. Gaun pastel yang ia kenakan sejak sore mendadak terasa terlalu sempit, terlalu palsu. Sama seperti senyum yang dipaksakan saat berdiri di sebelah Kara dan Karina. Tangannya meraih pinggiran meja rias, memaksa dirinya menatap bayangan sendiri di cermin besar itu. “Kenapa harus dia?” Suaranya rendah tapi tajam, seolah menunjukkan pada pantulan dirinya. “Mantan tunangan, konsultan PR, wanita dengan gelar dan wajah sempurna. Hebat, Shankara,” gumamnya, menyipitkan mata. “Apa dunia ini kekurangan orang lain sampai kamu harus memilih dia?” Mala sadar, ini bukan tentang cinta, bukan soal cemburu. Ini tentang harga dirinya yang diinjak pelan-pelan oleh keadaan yang katanya “sudah diatur”. Cermin di hadapannya tak menjawab. Tapi Mala tahu, sorot matanya malam itu berbicara banyak. Ia marah, pada Kara, pada Karina, pada dirinya sendiri yang mulai peduli. Belakangan ini, berita mulai kembali berembus. Skandal yang hampir menjatuhkan Kara perlahan memudar. Mala hanya mendengar semuanya dari berita, ia tak pernah diajak berdiskusi. Ia hanya tahu saat Kara berjalan berdampingan dengan Karina di depan media, citranya yang sempat kelam kini kembali bersinar. Dan dirinya? Tetap dalam bayangan. Terabaikan. “Aku ini bagian dari cerita atau cuman catatan kaki?” Bisiknya pada cermin. Beberapa minggu setelah Karina resmi ditunjuk sebagai konsultan, jadwal Mala ikut padat. Alasan klise, demi memperbaiki isu. Agar publik melihat bahwa pernikahan Kara bukan pengalihan isu semata. Mala mulai sering muncul di acara formal pembukaan cabang bisnis, gala amal, kunjungan sponsor. Dan setiap tempat itu, Karina selalu hadir seolah menjadi bayangan resmi Kara. Mala hanya menjadi bagian figuran di tengah mereka. “Sekarang aku tahu kenapa kau diterima menjadi konsultan,” ucapnya ketika mereka berada dalam satu mobil menuju makan malam perusahaan. Karina tersenyum tipis, matanya tidak menoleh. “Aku mengerti ritme Kara. Lagi pula, semua orang ingin memperbaiki keadaan, termasuk kamu, kan?” Mala diam membeku. Namun, rasa asing itu tumbuh setiap kali ia melihat tatapan Kara pada Karina. Tatapan yang tak bisa ia artikan, tapi juga tak bisa ia abaikan. Tidak sedingin saat Kara memandangnya. Tidak se-netral ketika mereka berbicara dengan batasan dan jeda. Kadang, saat Kara tertawa kecil karena komentar Karina, Mala ingin berteriak. Tapi ia hanya menggenggam erat jemarinya di balik meja. Diam. Dan diam itu menyiksa lebih dari apa pun. Malam itu, sepulang dari acara yang mempertemukan mereka dengan investor asing, Mala membuka pintu kamarnya dan langsung menghampiri cermin, gaun navy gelapnya menjuntai sempurna, wajahnya masih tertutup oleh riasan, tapi matanya. Mata itu tak sanggup lagi berpura-pura. “Aku ini siapa sebenarnya, Kara?” Gumamnya pelan. “Tamu? Istri kontrak? Boneka pajangan?” Ia menyentuh bibirnya, lalu mengusap sudut matanya yang tampak letih. Rumah itu begitu besar, tapi terlalu sunyi. Bahkan langkah kaki Bane yang biasa terdengar pelan seperti gema di lorong. “Dia menyukainya.” Kalimat itu akhirnya keluar. Lirih. Kara mungkin tak sadar, tapi Mala memperhatikan. Gerak tubuhnya saat mendengar Karina berbicara. Ekspresi matanya saat Karina memaparkan strategi media. Bahkan, cara Kara menatapnya diam-diam saat Karina berpaling. Itu bukan pura-pura. Dan Mala... mulai terluka. “Lucu ya, Ra.” Suaranya hampir bergetar. “Kau pandai sekali menyembunyikan segalanya. Bahkan membuatku berpikir kalau kau mulai.. melihatku sebagai istrimu.” Mala tertawa miris. “Padahal aku Cuma strategi darurat. Sementara Karina? Dia yang tahu luar dalam.” Sambil menatap cermin, ia melepaskan anting satu per satu. Seolah dengan itu, ia melepas satu per satu lapisan kesabaran yang mulai menipis. Pintu kamar diketuk pelan. Suara Bane dari luar terdengar tenang seperti biasanya. “Nona Mala, besok pagi kita berangkat jam delapan untuk agenda CSR (corporate social responbility). Tuan Kara meminta Nona untuk ikut.” Mala menutup matanya, menarik napas panjang. Lalu menjawab, “Baik, Pak.” Dalam hatinya, Mala bertanya-tanya. Sampai kapan ia bisa berpura-pura menjadi pemeran utama di panggung yang skenarionya ditulis oleh orang lain? Matahari mulai tenggelam, menggantikan terik dengan temaram orange yang lembut. Suasana panggung utama mulai reda. Para tamu undangan menikmati makanan ringan sambil berinteraksi. Disudut taman yang didekorasi minimalis, Mal dan Kara duduk berdua. Sengaja diposisikan oleh Bane agar mudah di potret oleh media. Kara melirik sejenak ke arah kamera lalu membenarkan posisi duduknya. Ia mendekat sedikit ke arah Mala, senyum di wajahnya terukir lembut namun, matanya tetap dingin. “Kau cepat belajar. Senyum palsumu bahkan bisa menipu kamera dengan sangat baik.” Rayhan melirik Mala dari ujung mata, senyum tipis bermain di bibirnya. Mala menoleh pelan. “ Kau juga. Menyentuh tanganku seolah ini bukan bagian dari kontrak. Hebat.” Kalimat itu meluncur dengan nada datarnya. “Tentu saja. Kalau tidak begini, siapa yang mau percaya bahwa aku benar-benar tergila-gila padamu?” Ucap Rayhan sambil menyandarkan punggungnya. “Sayangnya aku tak sehebat itu untuk membuatmu tergila-gila, ya?” Mala berusaha tertawa dengan nada getir. Kara menatap wajah Mala dengan senyum menyeringai. “Jangan khawatir, Mala. Bahkan aktris keluasan dua pun kadang dapat nominasi penghargaan. Kau hanya perlu percaya diri.” Mala berdecak pelan, ia mengalihkan pandangannya dari Kara. “Dan kau seharusnya main film saja, Tuan. Dunia sandiwara terlalu cocok untukmu.” Kara tersenyum puas. “Sshh… jangan terlalu jujur. Nanti mereka kira kita benar-benar bahagia.” Tatapan Kara mungkin menyimpan dingin, tapi bibirnya tak bisa menyembunyikan senyuman puas. Ia berhasil membuat Mala gigit bibir. Dan Mala harus tetap tersenyum bukan karena bahagia, tapi karena itulah yang dibayar oleh semua peran ini. Karina, dari seberang meja hanya bisa menatap tajam. Ia tahu senyum itu dan uang benci karena itu bukan ditujukan padanya lagi. “Dia bahkan bisa tersenyum seperti itu, pada perempuan itu?” Karina meneguk napasnya dalam-dalam, menahan gejolak di dada yang tak mampu ditutupi lipstik mahal atau blazer mewahnya. “Senyum itu dulu milikku. Kebanggaan itu dulu hanya untukku.” Ia mengepalkan tangan, kukunya menyentuh telapak tangan dengan getir. “Aku yang meninggalkannya, tapi mengapa dia terlihat lebih hidup sejak aku pergi?” Gumam Karina.Karina dalam balutan blazer putih, tampak elegan dan percaya diri. Setelah melihat Mala dari kejauhan, ia mendekat ke arah Kara dengan senyum yang dibuat tulus. “Dia datang juga, ya. Padahal aku pikir bakal ngumpet setelah berita yang berhembus kemarin.”Kara hanya menatap ke arah lain, menyesap minumannya perlahan. Tak menjawab.“Kamu nggak takut citramu rusak, Ra? Istrimu dibicarakan banyak orang, katanya genit lah, suka cari sorotan lah, atau kamu memang suka begini biar dramanya makin kuat di mata publik?” suara Karina terdengar menurun tapi tajam.Kara menoleh singkat, tak berekspresi. “Aku kira kamu di sini buat kerja, bukan untuk jadi akun gosip dadakan.”Karina tertawa kecil. “Santai, aku cuman peduli. Kalau bukan aku yang jaga image mu siapa lagi? Mala, dia masih terlalu polos buat main di dunia kayak gini. Bisa-bisanya kamu ikut terseret kalau dia nggak paham cara bermain.”Kara tak membalas, ia hanya memutar gelas di tangannya, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Diam
Di dalam mobil, Kara duduk sendiri. Lagu klasik pelan mengalun. Tangan Kara membuka galeri ponsel, ia melihat tangkapan layar itu sekali lagi. Captionnya begitu sinis, tapi yang paling mengganggunya adalah fakta bahwa Mala terlihat sendirian. Padahl ia tahu, Mala tak salah apa-apa.“Kau pikir bisa main cantik, Karina? Baiklah. Aku bisa lebih dari itu,” batin Kara.Tapi belum sekarang, karena Kara memilih menjadi lelaki yang diam. Untuk sementara.Dua hari menuju eventHari itu rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Mala duduk di sofa ruang tengah, membolak-balik brosur digital event fashion art yang akan digelar dua hari lagi. Sebenarnya itu bukan acara besar, tapi cukup eksklusif. Undangannya hanya terbatas pada influencer terpilih dan brand partner termasuk, entah kenapa dia.Mala menatap layarnya agak lama“Kenapa undangan ini bisa sampai ke gue? Apa karena gue istri Kara? Atau ada nama Karina di belakang layar lagi?”Mala menghela napas. Tepat saat Bane datang membawa nampan beri
Langit mulai berubah warna saat mobil hitam memasuki halaman rumah. Sepanjang perjalanan pulang, kara hanya diam menatap ke luar jendela. Mala duduk di sampingnya, tangan di pangkuan, sesekali mencuri pandang ke arah Kara tapu urung membuka percakapan. Sesampainya di rumah, Kara langsung masuk ke kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Mala menurunkan tas dan menghela napas. Mencoba menetralisir gejolak yang tadi masih tersisa di dada. Ia melangkah pelan ke dapur, dan seperti biasa Bane sudah berdiri di sana. Memotong buah dengan ekspresi seolah tahu segalanya.“Udah pulang?” Tanya Bane.Mala mengangguk, mengambil segelas air. “Iya.. capek juga ternyata senyum di depan kamera.”Bane menyeringai. “Senyum yang dipaksakan emang paling makan energi.”Mala tersenyum miring.Bane menatap Mala lebih serius. “Tadi Karina dateng, ya?”“Kok tahu?”“Dari auranya,” jawab bane setengah bercanda.“kalau rumah ini tiba-tiba berasa dingin padahal AC mati, biasanya dia lewat.”Mala tertawa kecil.“Tapi
Bane mendapat kabar bahwa paket besar berisi perlengkapan photoshoot untuk promosi produk terbaru sudah sampai di rumah. Di dalamnya, ada undangan photoshoot khusus untuk pasangan Kara dan Mala. Dengan jadwal yang sudah di tentukan oleh Karina.Mala yang melihat namanya tercetak di undangan itu, sempat terpaku. Di pojok bawah kertas undangan, ada catatan kecil bertuliskan tangan.“Tolong hadir ya. Dunia luar perlu lihat versi kalian yang paling indah. -K”Kayaknya yang ini bakal jadi panggung duel tak langsung,” gumamnya.Mala menyipitkan matanya. Ia tahu, permainan ini belum selesai.Sesi photoshoot pertama - Studio dalam ruanganRuangan studio dipenuhi pencahayaan putih yang menyilaukan. Background berganti sesuai konsep. Dari hitam minimalis hingga abu pucat bertekstur marmer. Beberapa kru sibuk menyempurnakan pencahayaan, sementara fotografer tengah mengatur sudut bidikannya.Kara duduk di kursi makeup, diam tanpa banyak komentar. Setelan jasnya rapi seperti biasa, tapi wajahnya
Mala menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menopang tubuh Kara agar lebih nyaman, lalu perlahan membaringkannya di sampingnya. Ia tak tahu harus mulai dari mana, tapi tubuh Kara terasa sangat panas. Panik mulai menyelinap. “Pak Bane…“ Mala sempat ingin memanggil, tapi ia urungkan. Kara sendiri yang bilang tak ingin diganggu. Lagipula, dia sudah di sini. Ia berjalan cepat ke kamar mandi, membasahi handuk kecil. Lalu kembali dan menempelkannya di dahi Kara. Lelaki itu hanya mengerang pelan, matanya tetap terpejam. Setelah memastikan Kara sedikit lebih tenang, Mala meraih ponsel dari nakas. Ia mencari informasi tentang pertolongan pertama saat demam tinggi. Ia juga mengetik pesan singkat ke Bane. “Pak Bane, Kara ada di kamar saya. Dia demam tinggi, tolong siapkan sup untuk makan Kara, termometer dan obat demam, tapi jangan masuk ke kamar dulu. Biar saya yang urus.” Tak lama kemudian, Mbak Nila mengetuk pintu. Menyerahkan teh panas dan sekotak obat dalam nampan. “Terima kasih, Mba
Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu gantung di ruang utama dibiarkan redup, hanya terdengar detak pelan dari jam dinding. Mala baru saja selesai membersihkan riasan wajahnya. Berdiri di depan cermin kamar, memandangi bayangannya sendiri. Ia mengingat lagi percakapan di mobil, gestur hangat Kara dan tatapan Karina. Semua bercampur dalam pikirannya, seperti hujan yang tak kunjung reda.“Andai senyumnya bukan bagian dari skenario, mungkin aku bisa percaya sedikit,” gumamnya pelan.Sementara itu, di ruang kerja. Kara duduk sendiri, jasnya sudah terlepas dengan dasi yang longgar. Ia membuka ponselnya, melihat foto-foto gala dinner yang sudah mulai tersebar di media sosial. Salah satunya, gambar saat ia tersenyum pada Mala. Sementara Karina berada di sisi lain, tersingkir dari frame. Bibirnya terangkat sedikit mengulas senyum. Suara ketukan halus terdengar di pintu, “Masuk aja,” gumam Kara.Bane melongokkan kepala, lalu masuk dengan senyum tipis. “Pers malam ini aman, kayaknya l