Pagi itu, rumah Kara sudah dikepung wartawan. Suasananya mencekam, orang-orang mengepung pagar rumah seperti kawanan burung pemangsa. Mikrofon, kamera, dan teriakan pertanyaan memenuhi udara. Seperti gelombang badai yang tak bisa dihindari. Mala hanya bisa berdiri dibalik tirai jendela , napasnya tercekat. Sorotan itu bukan hanya tertuju pada Kara, melainkan kini pada dirinya juga.
Bane datang tergesa, membawa map dan tablet digital. Raut wajahnya tidak setegang biasanya, melainkan jauh lebih dalam, kesal, kecewa dan cemas. Rasanya bercampur aduk setelah semua yang seharusnya terkendali menjadi berantakan. “Ini seharusnya tidak terjadi,” desisnya lirih. “Saya sudah mengatur semuanya agar pernikahan ini tetap rapat dan bersifat rahasia. Tapi ini bukan soal itu lagi,” jelas Bane pada Mala. “Maksud Pak Bane?” Mala bingung. “Bukan soal pernikahan kalian, Nona Mala. Media tidak menyerbu karena itu. Ini soal…,” Bane terdiam sejenak. Mala menatap dengan serius. “Ini soal skandal yang dibuat Tuan Muda Kara,” jelasnya. Mala mengernyitkan dahinya. “Skandal apa maksudnya?” Bane tidak langsung menjawab. Ia mondar-mandir di depan sofa, lalu akhirnya menatap Mala lurus. “Tuan Muda hilang sejak semalam. Dia tidak menjawab satu pun panggilan. Dan …” suara Bane tercekat. “Dan apa?” Mala penasaran. “Tuan Muda mungkin sedang mencoba meredam isu yang sudah terlanjur bocor. Isu yang membuat media bukan hanya datang untuk mencari tahu siapa istrinya, tapi juga menuntut penjelasan soal kasus itu,” jelas Bane. “Kasus?” Mala nyaris berbisik, “aku tidak tahu apa-apa,” “Dan itu yang membuat semuanya lebih buruk. Kau terlihat seperti pion, Nona Mala. Media akan menyudutkanmu jika tidak ada strategi.” Mala hanya bisa menelan ludah. Bane terlihat bukan hanya kecewa pada Kara, tetapi juga lelah. Ia telah mengatur pernikahan ini sedemikian rupa agar tetap rahasia, dan kini semua usahanya seakan berantakan oleh kelalaian satu orang yang seharusnya paling bertanggung jawab. “Tuan Besar dan Nyonya akan datang. Mereka tidak suka kejutan, apalagi yang seperti ini. Jadi bersiaplah.” Tak lama kemudian, benar saja. Keluarga Kara tiba dengan perasaan yang tak biasa. Mereka mengambil jalan lain menuju rumah Kara agar tidak terekspos oleh wartawan . Dewa Ayah Kara, berjalan dengan gagah dan penuh kemurkaan ditemani oleh Nindya ibu Kara. Mereka menerobos ruang tamu, menggebrak meja hingga suara terdengar menggelegar membuat rumah terasa hidup. “Skandal? Wartawan? Di rumah ini?” Seru Dewa geram. “Bane, ini semua tanggung jawabmu! Kau yang mengatur semuanya, sekarang lihat hasilnya?” Kedua tangan Dewa membentang. “Saya tidak bisa mengatur apa yang dilakukan Tuan Muda di luar rumah, Tuan.” Jawab Bane dengan kepala menunduk. Nindya hanya duduk diam. Pandangannya tajam tertuju pada Mala, tapi tidak terucapkan sepatah kata pun. Dua hari berlalu, suasana rumah Kara kini sedikit mereda. Wartawan sudah tidak sepadat sebelumnya namun, isu yang beredar semakin liar. Dari isu skandal perusahaan, gosip mantan, hingga pernikahan diam-diam yang dianggap menutupi sesuatu yang lebih besar. Bane mengetuk pintu. Wajahnya tak lebih tenang dari sebelumnya, tapi ia menunduk sopan. “Tuan Muda menghubungi saya. Dia akan mengadakan jumpa pers sore ini. Beliau akan menyelesaikannya.” Mala mengangguk pelan. “Apa aku harus hadir?” Bane menggeleng. “Belum, tapi Nona perlu tahu satu hal mulai hari ini, kalian akan dibimbing oleh seorang profesional. Karina, konsultan public relations yang akan merapikan semuanya.” Saat sore menjelang, Karina datang. Ia mengenakan blazer krem yang rapi dengan sepatu hak tinggi yang memantulkan langkah percaya diri. Wajahnya tegas namun, cantik klasik, bibirnya tersenyum tanpa benar-benar hangat. Bane mengumumkan bahwa Kara telah kembali. Tidak banyak penjelasan . Ia menunjuk konsultan public relations untuk menangani segala rumor dan strategi citra. Dua hari itu, sosok yang muncul sebagai penyelamat reputasi justru menjadi bayang-bayang dari masa lalu Kara sendiri. Karina menjabat tangan ringan. “Senang akhirnya bisa bertemu Nyonya Shankara,” ucap Karina dengan nada ambigu. “Kau terlihat berbeda dari bayanganku.” Mala menahan napas, tetap tersenyum. “Aku akan bantu kalian menjaga citra pernikahan ini. Semoga kita bisa bekerja sama,” lanjut Karina. Namun, lirikan matanya saat melihat penampilan Mala, dress polos. ”Beginikah istri seorang Shankara?” Gumamnya dalam hati. Bane mencoba mencairkan suasana. “Karina sudah menyiapkan jadwal media dan strategi. Dia juga akan memberi pelatihan public speaking jika diperlukan.” “Tentu,” Karina menimpali dengan nada yang menohok. “Apalagi jika seseorang belum pernah berhadapan dengan kamera sebelumnya, kan?” Mala tersenyum kecil. Ia tahu lirikan itu. Ia tahu nada bicara seperti itu. “Karina adalah mantan tunangan Tuan Muda.” Bisik Bane sambil berjalan menuju ruang rapat pribadi. Napasnya terasa tercekat saat Bane mengungkapkan kalimat itu. Ia menoleh pada Karina , ia belum siap dengan kenyataan bahwa wanita ini yang sekarang mengatur langkahnya. Wanita masa lalu Kara yang belum benar-benar selesai. “Kita harus kendalikan narasi sebelum media mengarah ke hal-hal yang lebih pribadi,” ucap Karina pada Dewa. Saat Karina menoleh ke Mala, senyum tipisnya yang menggantung. “Kita akan sering bertemu Nyonya Kara.” Tatapan meremehkan itu tidak perlu kata-kata tambahan. Flashback Tiga tahun lalu. Kara berdiri mematung di bandara. Matanya mengikuti langkah Karina yang menarik kopernya ke gerbang internasional. Air mata yang sudah tak terbendung kini jatuh membasahi pipi Kara. Ia benar-benar belum bisa melepas kepergian kekasihnya. Kara mencekal tangan Karina. “Kau memilih pekerjaan itu daripada aku?” Karina menoleh, tersenyum tipis. “Aku memilih masa depanku. Kau seharusnya begitu, Kara.” Ia hanya menatap wajah Karina penuh harap. “Tidak bisakah kamu tinggal di sini saja bersamaku?” Karina menggeleng lalu melepaskan tangan Kara. Ia hanya menatap punggung Karina yang menjauh, meninggalkan janji dan cincin tunangan yang tak pernah sempat ia pasang. Flashback off Langit mulai gelap ketika Mala duduk di balkon lantai dua rumah itu, ditemani secangkir teh yang sudah mendingin di genggamannya. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma hujan yang belum sempat turun. Ia menarik napas panjang. Rumah ini terlalu besar untuk seseorang yang hanya diizinkan mengisi sudutnya. Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Mala mengambil ponselnya dengan malas. Namun, matanya langsung membesar saat membaca notifikasi berita dari media daring. “Putra Mahkota Grup Radeva Menikah Diam-Diam. Istrinya Bukan Dari Kalangan Elite?” Layar utama menampilkan foto dirinya turun dari mobil bersama Kara di acara keluarga beberapa hari lalu. Sudut pengambilan gambar begitu tajam, ekspresi wajahnya yang kaku tertangkap jelas. Ia menggulir ke bawah. Komentar demi komentar bermunculan. “Siapa sih dia? Gak ada latar belakangnya.” “Ini beneran istri Shankara? Kaya figuran acara sinetron.” “Kara jatuh miskin, ya?” Semakin ia gulir isi komentar tangannya gemetar . Mala menelan ludah, menekan tombol kunci ponsel. Ia memeluk lututnya sendiri. Dunia luar tahu lebih banyak tentang pernikahannya daripada dirinya sendiri. Ketukan pelan dibalik pintu balkon menyadarkannya. Bane berdiri di sana, membawakan kain untuk menghangatkan tubuh Mala. Menyelimutinya dengan kain itu, dan Mala menyambut hangat. “Berita mulai menyebar, kau harus bersiap. Ini baru permulaan.” Ucap Bane. Mala mengangguk, meski tak sepenuhnya mengerti apa yang harus ia siapkan. Dalam diam, ia menyadari sesuatu bahwa hubungannya dengan Kara mungkin hanyalah kesepakatan. Tapi, sejak hari ini citra, harga diri , dan kehidupannya sudah ikut dalam permainan yang tidak ia pilih. Dan semuanya, baru saja dimulai. “Kamu benar-benar menikahinya?”Lampu ruang tamu menyala samar. Karina duduk sendiri di ujung sofa, lutut dilipat, ponsel masih berada di genggaman. Wajahnya tanpa riasan, rambut diikat seadanya. Tapi bukan penampilannya yang berantakan melainkan pikirannya.Foto-foto Kara dan Mala masih terpampang di layar. Tawa mereka di bawah sinar matahari Cappadocia terus membayang.“Kenapa… kenapa bisa semudah itu? Dulu gue yang selalu bersama Kara. Gue yang menyaksikan dia jatuh dan gue juga yang menuntunnya bangkit. Tapi sekarang dia bisa jatuh cinta sama perempuan yang bahkan nggak tau siapa Kara di masa paling sulitnya?”Ia berdiri pelan, berjalan ke dekat jendela. Tirai disibakkan sedikit dan angin malam menerpa wajahnya. Tapi hawa dingin itu tak bisa menenangkan amarahnya.“Apa semua yang gue lakukan selama ini nggak ada artinya? Cuma karena gue ambil langkah mundur waktu itu… semua langsung dilupakan?”Ia kembali duduk, menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tangannya mengusap wajah, tapi bukan karena lelah, melainkan me
Chapter 26 Setelah kembali dari balon udara, mereka bertiga berjalan santai ke dalam hotel. Dingin pagi mulai mereda, menyisakan udara segar khas lembah. Kara melirik Mala yang tampak sumringah sejak tadi.“Kamu kayak anak kecil habis naik komidi putar,” celetuk Kara sambil menjentikkan ujung scarf Mala.Mala mencibir. “Ya ampun, aku baru sadar… ternyata kamu suka ngejek.”Kara tertawa. “Bukan ngejek, itu apresiasi.”Mereka tertawa ringan. Di tengah hotel yang tenang, suara canda mereka terasa seperti musik pagi. Kara berhenti di depan restoran hotel. “Ayp makan dulu.”Mala menahan langkahnya. “Nanti aja makannya.”Kara mengangkat alis. “Kamu nggak laper?”Mala menunjuk ke arah luar hotel, tepat ke jalan setapak yang mengarah ke pinggir sungai kecil di balik hotel. Alirannya tenang, jernih, dengan deretan batu besar di sisinya dan pohon-pohon cemara yang berbaris rapi.“Aku pengen kesana dul
Chapter 25Udara pagi masih menggigit saat Kara, Mala dan Bane keluar dari hotel dengan jaket tebal membalut tubuh mereka. Sebuah van hitam telah menunggu di depan. Sopir lokal yang ramah menyambut mereka dalam bahasa inggris.“Good morning, welcome ballon tour,” sapa sopir.Mala naik terlebih dahulu, duduk di jendela. Kara duduk di sebelahnya, sementara Bane duduk di belakang. Saat van mulai bergerak melewati jalanan kecil yang menanjak, mala melongok ke luar. Jalanan sempit berkelok, melewati rumah-rumah batu khas Goreme dan lembah berbatu yang siluetnya mulai terlihat samah di balik kabut.“Dingin banget.” Mala merapatkan syalnya sambil menatap ke luar.Kara memberikan sarung tangan pada Mala. Mala menoleh. “Eh?”“Pakai, udara dingin.”Mala mengangguk dan mengambil sarung tangan itu.Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil cukup tenang. Hanya bunyi
Chapter 24Malam di rooftop Cappadocia. Udara dingin menggigit lembut kulit, tapi langit malam benar-benar seperti lukisan. Taburan bintang terlihat jelas, langka di kota besar. Cahaya bulan mengintip malu dari balik awan. Menyinari daratan Cappadocia yang tenang, lembah dan batu-batu menjulang seperti dunia yang terlepas dari hiruk pikuk kehidupan. Mala menyelubung tubuhnya dengan jaket tebal. Syalnya melilit leher, sebagian menutupi dagu. Ia bersandar di pagar rooftop, matanya menatap langit dengan sorot kosong tapi damai.Tak lama, langkah kaki mendekat. Kara berdiri di sebelahnya, mengenakan mantel hitam. Ia menatap langit dengan tatapan yang tak jauh berbeda dari Mala, hampir seperti keduanya berbicara dengan cara yang sama, tanpa suara.“Langitnya jujur, ya?” Ucap Mala pelan.Kara melirik. “Kapan?”“Karena dia nggak pernah berusaha nutupin sesuatu. Nggak kayak kita yang tiap hari pura-pura baik-baik aja.”Ia ikut menyandarkan lengan di pagar. “Langit juga cuma bisa nunjukkin si
Chapter 23Tibanya di Bandara Kayseri, Turki. Langkah Mala sedikit tertahan saat pintu pesawat terbuka dan udara dingin langsung menyergap kulit wajahnya. Angin Turki di bulan-bulan awal musim dingin terasa seperti bisikan. Namun, anehnya menenangkan.Bane merapatkan syal di lehernya. “Aduhhh… dinginnya menggigit, tapi seger juga, ya.”Kara menyipitkan mata, menatap langit cerah dan bersih di atas landasan. “Udara jernih begini yang bikin pikiran ikut bersih.”Mereka berjalan menyusuri lorong bandara, melewati imigrasi yang relatif cepat karena rombongan mereka kecil. Di area kedatangan, seorang pria berpakaian rapi memegang papan bertuliskan.“Mr. Shankara & Family - GOREME PRIVATE TRANSFER”“Selamat datang di Kayseri,” sapa sang sopir dalam bahasa inggris dengan aksen lokal. “Saya akan mengantar Anda langsung ke hotel di Cappadocia.”Mereka pun diarahkan ke sebuah van premium berwarna
Chapter 22POV di kamar MalaLampu kamar dinyalakan dengan redup. Mala berdiri di depan cermin, membuka hoodie nya perlahan, lalu menyisir rambutnya yang sudah sedikit kusut. Di meja rias, sebuah koper sudah tertutup rapi. Tak ada yang tertinggal.“Semua sudah disiapkan… kecuali hati,” gumamnya pelan sambil mengoleskan pelembab ke wajah. Ia menatap bayangannya sendiri. Mata itu masih memendam banyak, tapi kali ini tidak ada air mata. Hanya kelelahan.“Mala, lo harus tenang. Jangan ikut terbawa permainan siapapun. Kara mungkin masih belum tau arah, tapi lo harus tau jalan lo sendiri.”Ia menghembuskan napas panjang lalu tersenyum, mencoba memeluk dirinya sendiri melalui pantulan cermin.“Besok… ayo kita pura-pura bahagia lagi. Tapi jangan lupa bawa cadangan sabar yang banyak.”Mala naik ke ranjang, menarik selimut sampai ke dagu. Lalu menatap langit-langit yang kosong. Tap