Share

6. Sebuah permintaan

Aku masuk ke dalam kamar menyusul suami yang katanya ingin segera membersihkan badannya.

Baru saja aku melangkah ke dalam kamar dengan pintu yang sengaja tidak tertutup dengan sempurna.

"Iya sayang, Mas juga sudah tidak sabar untuk kita hidup bersama."

Seketika langkah kaki yang membawa diri ini terhenti dengan sendirinya. Dada ini berdentum hebat hingga cairan bening tak terasa mengembun di sudut mata.

"Iya, sayang, pokoknya kamu harus sabar dulu. Mas akan secepatnya mengambil keputusan untuk hidup kita berdua. Iya, Mas akan janji. Jangan merajuk begitu, nanti cantiknya malah tambah berkali lipat loh."

Astaga apa ini. Apa telingaku tidak salah mendengar. Apa benar ucapan Mas Irwan barusan adalah sebuah rayuan yang sudah jelas ia utarakan untuk perempuan lain. Jujur saja hatiku sangat panas mendengar kata-katanya tadi. Pada istri yang sudah membersamainya sekian tahun. Mau menerima kondisinya seperti apapun dan juga telah menemaninya dari nol dari titik terendah, tidak pernah ia berkata manis atau sekadar memuji dan berterimakasih kepadaku.

Perempuan seperti apa yang sudah membuat suamiku mencoba untuk memutar haluan. Sehebat apakah ia sehingga mampu menggeser kedudukan ku yang jelas-jelas sudah bertahan lama dengan Mas Irwan sedari ia berada di titik paling rendah dalam hidup yang pernah kami jalani bersama.

"Bunda, kenapa?" tanya putra kecilku karena aku yang tiba-tiba menghentikan langkah ketika sudah berada di depan pintu masuk kamar yang kami tempati selama tinggal di rumah ini.

Sambil mencoba menetralkan perasaan di dalam sini. "Alif janji sama bunda, ya. Kalau nanti ayah belum menyapa Alif dulu, Alif tidak boleh menganggu ayah. Kasihan ayahnya baru saja pulang pasti capek." Susah payah aku menenangkan hati ini juga putra kami. Aku tidak mau jika kejadian tadi kembali terulang. Sikap Mas Irwan yang menolak putranya sendiri dan juga sikap acuhnya sudah cukup mengoyak hati ini. Semoga hal yang serupa tidak terjadi dan dirasakan oleh putraku ini.

Aku bersumpah jika suamiku sendiri, ayah kandung dari anak-anakku dengan sengaja dan tega melukai hati keduanya. Sampai kapan pun tidak akan pernah aku lupakan dan maafkan.

Aku menghapus jejak air mataku sebelum akhirnya aku kembali melanjutkan langkah ini untuk masuk ke dalam kamar kami.

Sepertinya Mas Irwan juga belum menyadari keberadaan ku dan juga putranya. Dia juga tidak sadar jika telinga ini tengah menangkap deretan kalimat yang seharusnya itu tidak pernah terucap pada mulut pria yang sudah beristri kecuali pria tersebut, entahlah. Aku harus segera mendapatkan bukti yang kuat membuatku bisa menyimpulkan jika Mas Irwan benar adanya telah bermain hati dengan perempuan lain.

"Mas, Aku mau bicara sama kamu," ucapku menyapa dulu dan mencoba untuk membuka percakapan dengan dirinya. Pria berkulit sawo matang itu baru saja keluar dari kamar mandi dan menatapku sekilas. Mata ini mengikuti gerak tubuhnya. Aku masih menunggu mulutnya itu bersuara.

Setelah beberapa menit aku menunggu suamiku itu. Akhirnya ia datang untuk mendekat ke arahku. Aku sengaja menunggunya di dekat jendela kamar ini. Aku berusaha menjauh dari ranjang tempat kedua anak kami sedang terbuai dalam mimpi indah mereka. Bukan tanpa alasan kami semua masih sering tidur satu kamar seringnya Mas Irwan tidur di kamar yang berbeda semenjak kehadiran Latifah putri kedua kami. Alasan ibu mertuaku itu adalah agar tidak boros tempat dan juga listrik tentunya karena anak-anakku juga masih berusia balita. Padahal di rumah ini masih ada dua kamar yang masih kosong. Ya, begitulah memang sifat dan juga kelakuan dari ibu mertuaku itu. Sadar atau tidak sadar harusnya ia menyadari jika seluruh kebutuhan di rumah ini aku jugalah yang ikut menanggungnya.

"Rum, Aku mau ngomong sama kamu," ucap suamiku ketika jarak di antara kami hanya sebatas satu jengkal.

Mas Irwan seperti ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting. Itu tebakan dari isi kepalaku. Dia nampak sedikit gugup namun berusaha tetap bisa untuk menguasai dirinya sendiri. Beberapa kali aku menangkap dirinya yang berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya dan kemudian dia buang secara perlahan.

"Mau bicara apa kamu, Mas? Sepertinya penting?" tebak ku yang sok tahu ini.

Aku membenarkan posisiku sebelum siap untuk mendengarkan apa yang akan dikeluarkan oleh mulut suamiku ini.

"Rum, Maaf, Mas harus menyampaikan ini. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita ..." Ucapannya terjeda. Kenapa perasaanku juga mulai was-was dan ada debaran yang syarat akan kegelisahan yang tiba-tiba menghampiri diri ini.

"Rum, Mas mau kita pisah. Mas rasa, kita sudah tidak ada kecocokan lagi." Apa aku tidak salah dengar. Kenapa cahaya bulan yang begitu bersinar malam ini justru mendatangkan petir yang tiba-tiba saja menyambar.

"Maksud kamu apa, Mas? Apa yang tidak cocok maksud kamu?" Tanpa sadar air mata ini menetes tanpa menunggu komando terlebih dahulu. Aku sangat membenci kebodohanku dan juga kenapa aku harus menunjukkan air mata ini di hadapannya seolah aku telah menunjukkan ketidak berdayaan ku padanya.

"Apa karena sudah ada perempuan lain?" Sambung ku karena ia belum juga kembali untuk bersuara.

"Bukan begitu?"

"Bukan begitu bagaimana, Mas? Apa belum cukup pengorbananku selama ini untuk kamu jug keluargamu ini? Apa semua yang sudah aku lakukan tidak pernah ada nilainya dan nampak di matamu?

Jawab, Mas!" Paksa ku ingin agar dia menjelaskan alasan yang tepat kenapa tiba-tiba ia meminta agar kami bisa berpisah.

"Kamu diam, itu tandanya memang sudah ada perempuan lain yang berhasil mengantikan posisiku. Apa dia jauh lebih hebat dari aku, Mas? Aku yang sudah bersusah paya membiayai pendidikanmu hingga kamu bisa memperoleh kedudukan mu yang sekarang. Apa belum juga cukup aku berkorban untuk menunda memiliki anak hanya demi mendukung kariermu dan untuk membuat keluargamu bangga atas kamu.

"Rum, dengarkan aku."

"Apa lagi yang ingin kamu perdengarkan kepadaku, Mas?

Belum cukup permintaanmu ini melukai perasaanku dan pastinya juga anak-anak kita." Aku meninggalkan pria yang sudah aku temani dari posisinya belum seperti ini. Bahkan perjuanganku ini seolah sia-sia karena aku tidak mendapatkan apa-apa selain luka. Justru perempuan lain yang entah siapa dan bagaimana dia yang tiba-tiba justru datang merenggut dan menikmati hasil yang selama ini aku perjuangkan tanpa mengenal lelah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status