Share

7. Jalan hidup yang berbeda

Setelah kejadian malam itu, usai Mas Irwan menjatuhkan talaknya padaku tanpa kuduga-duga. Aku dan kedua anakku pun akhirnya keluar dari rumah tersebut. Bukan tanpa alasan melainkan karena pengusiran secara halus yang dilakukan oleh Mas Irwan dan juga keluarganya. Entah kesalahan apa yang pernah aku perbuat Hinga kebaikan dan pengorbananku tidak pernah terlihat di mata mereka.

Di saat pikiran sudah tidak karuan dan juga buntu untuk bisa menemukan jalan keluar. Akhirnya pertolongan Allah pun datang menghampiriku satu persatu. Iya, aku dan kedua anakku ini diusir tanpa sepeserpun uang diberikan oleh Mas Irwan kepada aku dan kedua buah hatinya. Sungguh tindakannya tersebut sangat tidak bisa dibenarkan maupun bisa diterima. Walaupun dirinya sudah tidak menginginkan aku, setidaknya ia masih bisa lihat darah dagingnya tersebut. Nyatanya mata dan hatinya telah tertutup rapat untuk aku dan juga kedua anaknya itu. Entah setan apa yang sudah menggelapkan hati suamiku itu.

Malam itu juga aku dan juga kedua buah hatiku. Di saat yang bersamaan aku berpapasan dengan suami dari kakak iparku yakni Mas Hendra. Pria yang jarang sekali aku temui karena dia juga jarang berada di rumah di karenakan ia bekerja di luar pulau.

"Loh, Rum malam begini kamu mau ke mana sama kedua anakku ini. Terus kenapa kamu juga bawa-bawa tas segala. Irwan tidak ikut dengan kalian?" Sebuah motor keluaran terbaru itu tiba-tiba berhenti tepat di sebelahku. Pria yang usianya di atas suamiku itu menatap heran kepada dah juga anak-anakku.

Aku tidak langsung menjawabnya karena aku juga heran kenapa dia tiba-tiba saja berada di sekitar sini.

"Mas sendiri ngapain di sini?"

"Aku mau keluar cari makan," ujarnya sambil menatap curiga kepadaku dan sesekali melihat ke arah dia buah hatiku.

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu ngapain keluar malam-malam bawa kedua anakmu juga?" Lagi dia mengulang pertanyaan yang memang belum aku jawab.

"Mana juga si Irwan yang tega membiarkan anak dan istri keluar malam-malam seperti ini," gerutunya dengan menampakkan raut cemasnya.

"Ayo, Aku antar kalian pulang saja!" Pria tersebut memintaku untuk naik ke atas jok motor yang ia kendarai.

"Gak usah, Mas. Terimakasih. Lagian saya tidak akan bisa lagi kembali ke rumah itu," ujarku dan dia pun seketika menampakkan raut keterkejutannya kepadaku.

"Kamu lagi ada masalah sama si Irwan? Apakah kalian sedang bertengkar?" cerca nya.

Aku menjawab pertanyaannya hanya dengan gelengan kepala. Sakit kalau harus dipaksa mengingat kejadian pahit yabg baru saja aku rasakan.

"Terus sekarang kamu mau kemana? Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan rumah tangga kalian."

"Aku mau pulang ke kampung saja, Mas."

"Kamu bisa cerita sama Aku. Aku ini sudah menganggap kamu sebagai adikku. Bahkan sejak dari dulu. Aku masih menganggap orang tuamu juga orang tuaku juga."

Aku mencari ketulusan dari pria yang memang berniat ingin menolongku terlebih dia juga sudah dekat dengan keluargaku sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sebelum aku mengenal keluarga dari Mas Irwan dan juga mbak Ratna.

Akhirnya dari pertemuan yang tidak di sengaja itu, Aku memberanikan diri untuk menceritakan apa yang sudah menimpa rumah tanggaku dengan Mas Irwan. Bukan niatku untuk menjual pilu, namun ada baiknya juga pria yang sudah aku kenal lebih dulu ketimbang suamiku itu harus tahu peran istrinya atas retaknya mahligai yang telah aku bina sekian tahun dengan adik laki-lakinya itu.

Aku menolak tawaran kakak iparku yang berniat untuk mengantarkan aku pulang, namun aku tidak dapat menolak bantuan yang ia atas namakan untuk kedua keponakannya.

.

Setelah kejadian waktu itu, akhirnya di sinilah aku hidup di kampung halamanku yang hanya tersisa ibu yang menjadi orang tua tunggalku. Bapakku sendiri telah berpulang tiga tahun yang lalu dan menyisakan ibu yang tinggal di rumah ini. Aku merupakan dia bersaudara dan aku juga merupakan anak bungsu. Kakakku seorang laki-laki yang juga sudah berkeluarga namun ia memilih untuk menetap dan tinggal di tanah kelahiran istrinya itu yang berada di luar pulau dengan alasan karena memang mata pencahariannya berada di sana.

Di rumah penuh kenangan inilah aku m nunggu dengan tidak pasti keputusan final sekaligus surat cerai yang telah dijanjikan oleh Mas Irwan.

"Mas, minta juga sama kamu agar secepatnya ke luar dari rumah ini karena diantara kita sudah tidak ada lagi ikatan secara agama. Kamu tidak perlu khawatir karena aku yang akan mengurus semuanya dan kamu bisa menunggu surat cerai yang akan aku kirimkan nanti."

Masih aku ingat dengan lancarnya mulut mantan suamiku itu berucap tanpa sandungan. Tanpa ia menatap dan pedulikan lagi kedua buah hatinya yang benihnya telah ia tanam di dalam rahimku ini.

Aku tidak bisa diam saja seperti ini. Aku harus menuntut dan mendapatkan hak anak-anakku ini. Aku tidak bisa membiarkan jalang itu yang menikmati semua yang sudah aku perjuangkan dengan dari tiap tetes keringat dan juga air mataku ini.

Satu Minggu sudah aku dan kedua anakku berada di kampung dan tanpa ada kabar dari Mas Irwan sedikitpun untuk mencari menanyakan kabar kedua anaknya.

Aku mendesah pelan meratapi jalan hidup yang saat ini aku lalui. Tak pernah terbayangkan atau terselip di dalam bunga tidurku akan nasib yang tiba-tiba saja seperti ini. Aku pikir selama ini tidak ada masalah dalam rumah tanggaku dan semuanya berjalan baik-baik saja hingga awan hitam mulai m menghampiri dan membawa serta badai yang akhirnya memporak-porandakan bahtera yang sudah berlayar selama beberapa tahun.

"Rum, anakmu nangis mungkin minta asi." Suara ibu akhirnya menyadarkan aku dari lamunan. Aku tersadar jika masih ada nyawa yang bergantung pada diri ini. Aku tidak boleh lemah karena sudah dari semula aku sudah disetting untuk menjadi wanita tangguh. Bagaimana tidak tangguh, kaldu bukan karena aku posisi Mas Irwan tidak akan pernah menduduki posisinya saat ini. Kedudukannya yang sudah membuatnya melupakan anak dan istrinya. Kedudukan yang sudah membutakan mata dan hatinya.

Usai mendengarkan panggilan dari ibuku, Aku segera beranjak dari tempatku ini. Ternyata tanpa aku sadari aku telah duduk hampir berjam-jam di belakang rumah ibuku ini tepatnya di bawah kursi bambu panjang yang sengaja di letakkan di bawah pohon mangga. Kursi yang biasanya di duduki oleh almarhum bapakku karena bapak biasanya sangat senang menghabiskan waktunya di tempat ini sembari menikmati semilir angin dari pohon mangga dan pohon bambu juga pematang hijau karena rumah kami terletak persis berdekatan dengan sawah pribadi dan juga sawah milik tetangga kami.

Aku segera mengambil alih gadis kecilku ini.

"Maaf, Bu, sepertinya Rum sudah banyak melamun di belakang sampai-sampai lupa pada anak-anak Rum sendiri."

"Ibu tahu bagaimana perasaanmu, Rum. Pasti ini jelas tidak mudah untuk kamu terlebih ada balita dan juga bayi yang tentunya madih membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahnya."

"Bukan hanya kehilangan kasih sayang dari ayahnya saja, Bu. Tetapi mereka juga kehilangan hak-haknya. Jalang itu dan keluarga Mas Irwan yang telah merampas semuanya dari kami."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status