Bab 03. Perasaan hampa
##### Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untuknya. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa dingin dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasannya untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Dengan sedikit keras kali ini, padahal selama ini tidak pernah. Kini sudah berubah total. Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak tidur bersama hingga bangun. Rasanya percuma juga bicara jika pada akhirnya aku salah dimatanya. Bahkan tidak menanyakan anak-anaknya dimana karena saat ini kedua putraku memang tidak bersamaku. 'Bahkan kedua putraku tidak ada pun tidak peduli. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini?' "Mulai hari ini aku tidak akan membuat minuman itu lagi untukmu!" ucapku bernada tegas. Dia tidak sadar ramuan yang selalu ku suguhkan untuknya tiap hari mulai hari tidak lagi. Belum juga beranjak. "Kenapa?" Tidak perlu ditanyakan kenapa aku melakukannya. Ingatanku tertuju pada wanita cantik dengan rambut hitam indah yang tergerai, dengan tubuh seksi. Ada rasa yang terasa teriris dalam hatiku. Halus namun sangat pedih, bahkan perihnya sangat terasa hingga detik ini membuat sesak dadaku. Namun, sekuatnya aku menahannya. Aku harus tegar. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak ingin menyerah begitu saja dengan hatiku. Aku akan melawannya sekuat tenaga walaupun itu sakit. Air mataku rasanya sudah penuh di peluk mataku, kutahan dengan segenap jiwa raga agar air mata itu tidak tumpah. Aku tidak ingin lemah di hadapan laki-laki telah menghianati. Entah sejak kapan hal itu terjadi aku tidak pernah mengetahuinya?. "Kamu pikir sendiri!" Mas Romi mendengus kasar. "Apa itu berarti buatmu, setelah apa yang kau lakukan didepan mataku. Apa itu belum cukup? Hal apa lagi yang kau sembunyikan dibelakang ku selama ini selain perselingkuhan?!" tandasku. Matanya langsung merah, berapi-api. Dulu aku takut jika hal itu terjadi, aku berusaha buat meredakan dan meluluhkan dengan berbagai cara. Tapi tidak kali ini. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Apa akan melakukan kdrt seperti halnya yang terjadi difilm-film atau pun sinetron layar kaca yang sering ku tonton disaat waktu senggang sambil mengejarkan tugas ringan seperti halnya nyetrika. Kini aku merasakan sendiri apa yang ada dilayar kaca itu ternyata kini aku mengalaminya. Sungguh IRONI diatas IRONI. "JANGAN BAHAS ITU LAGI!" suara keras menggelegar. Untung tidak ada anak-anak saat ini sehingga mereka tidak mendengar pertengkaran yang terjadi sekarang. Jika mereka mengetahuinya aku takut mental mereka akan terkena imbasnya. Itu sebabnya aku telah mengirim mereka berdua ke suatu tempat yang aman dan hal itu tidak disadari oleh mas Romi yang akan menjadi mantan suamiku. "Kenapa? Karena aku telah mengetahuinya. Begitu! Bahkan sampai detik ini kedua anakku tidak pernah tahu kelakuan papanya itu seperti apa. Jika mereka berdua tahu, aku tidak tahu apa mereka masih menyakuimu sebagus papanya karena tengah bersama wanita lain!" suara juga ikut naik. Bahkan mataku terasa sudah penuh. Jika hal itu dulu terjadi, maka aku akan menangis sejadi jadinya tetapi tidak kali ini. Pantang bagiku. Sekuat tenaga aku menahan. "Percuma aku debat sama kamu. Lebih baik aku pergi saja!" Ketusnya sambil berlalu dan menghilang dari pandanganku. "TERSERAH,,,!" teriakku. Apa mas Romi mendengarnya atau tidak karena bayangannya pun sudah hilang dari pandanganku. **** Hari ini ku bawa kedua anakku liburan ketaman wisata dengan jarak tempuh kurang lebih satu setengah jam-an dengan memesan travel yang aku sewa satu hari. Aku tidak ingin kedua anakku Rama dan Sinta merasakan apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini kurang baik. Biarlah mereka berdua tidak tahu hingga saatnya nanti mereka berdua mengerti keadaan kami para orang tuanya yang sudah tidak memiliki kecocokan satu sama lain. Bahkan prinsip telah berbeda dan pemicu adalah SELINGKUH. "Ma,,, kenapa matanya merah? Mama habis nangis ya? Papa marahin mama lagi ya?" Tanya Rama saat aku memandangnya dengan tersenyum lembut. Shinta putri kecilku juga tampak heran melihat perubahan ku saat ini. "Mama jangan sedih ya. Kita main seru-seruan. Papa kemana ma?" Seketika aku tercenung. Aku harus mencari alasan yang tepat agar pikiran mereka tidak donw dan metal mereka buruk. "Papa lagi sibuk sayang" itulah kata yang tepat sebagai gambaran papanya saat ini. "Yah, papa gitu. Sibuk mulu" sungut Rama dengan raut kecewa. Pun dengan Shinta saat ku ceritakan tentang papanya. Padahal, tujuanku adalah perlahan lahan menjauhkan mereka berdua dari mas Romi supaya saat berpisah nanti keduanya tidak bergantung lagi pada papanya yang tabiatnya buruk. Mereka berdua tidak tahu kelakuan papanya itu seperti apa dibelakang mereka. Jika tahu, aku tidak tahu apa jadinya. Jika mengingat hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Aku tidak bisa berbuat apa-apa terlebih untuk memperbaiki keadaan. Karena kini aku sudah di TALAK tiga oleh mas Romi karena ucapan kata CERAI. Seolah mas Romi tidak sadar jika melakukan hal itu dianggapnya hanyalah main-main. Mengapa aku sampai menolaknya ketika dia menginginkan aku untuk tidur bersamanya. Karena dia sudah mengatakan kata SAKRAL itu yang begitu LUGAS diucapkannya tanpa berpikir dampak kedepannya itu seperti apa. Bahkan orang tuaku saja belum mengetahuinya. Masih ku pendam dan ku tahan, jika saatnya aku akan mengatakan pada kedua orang tuaku. **** Setelah refreshing hari ini berakhir tampak rona kebahagiaan terpancar di wajah kedua Putra putriku, saat ini seolah beban yang mereka rasakan sudah tidak ada lagi. Akan tetapi tidak dengan beban yang aku rasakan, rasanya seolah menghimpit jiwa ragaku hingga terkadang membuat dadaku terasa sesak. 'Sampai kapan aku menahan semua ini? Apa aku harus diam saja menerima semua perlakuan mas Romi yang menyakitkan? Saat ini aku tidak bisa mengatakan hal ini pada orang tuaku maupun saudara-saudaraku. Apa yang harus ku lakukan?' rasa kegamangan kini menderaku. "Bagaimana tinggal ditempat sekarang, enak, nyaman?" Tanyaku pada keduanya dengan senyum lembut menenangkan. Keduanya mengangguk pasrah, tapi ada hal yang tersirat yang sulit digambarkan. Tentu saja ada secuil kesedihan yang dirasakan mereka berdua karena merasa kehilangan sosok laki-laki yang jadi panutan yaitu ayah. "Sudah, sudah. Nanti kalau papa ingat kalian pasti akan mencari kalian" rayuku pada keduanya supaya tidak sedih lagi. Karena perasaan mereka itu sangat sensitif dan dengan cepat moodnya berubah. "Kalau begitu nanti kita beli hadiah yang kalian mau, gimana?" tawarku untuk mengembalikan mood mereka menjadi baik kembali. Seketika berubah dan bersorak kegirangan. **** Akhirnya, keduanya ku bawa ke sebuah toko mainan dan memilih mainan yang mereka sukai dengan wajah ceria. Aku pun mengembalikan ketempat yang aman. "Terima kasih ma hadiahnya" ucap keduanya riang. "Ingat ya, jika ada yang mengajak kalian pergi jangan mau kecuali mama" pesanku. "Iya ma" jawab keduanya nurut. Kini aku tenang meninggalkan mereka berdua karena dalam pengawasannya yang aman. **** Rumah ini terasa begitu sunyi dan sepi seperti hatiku saat ini yang terasa hampa. Ku hela nafas memendam perasaan. Semua kenangan melintas dipikiranku. Begitu indah hingga membuatku tersenyum pahit. Kini hanyalah tinggal kenangan. Tak terasa air mataku merebak. Clek,,, Lampu ruangan tengah menyala karena ada yang menyalakan. Buru-buru ku hapus supaya tidak terlihat. "Hmmm,,," suara dehem mas Romi dengan wajah lelahnya. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Aku hanya terdiam. "Luna,,, aku minta maaf"Perlu sikap tegas. ***"Pak, pak,,, salah saya apa pak, hingga saya ditangkap?" bentuk protes Reno tidak tahu kesalahan yang dilakukan. Saat digelandang ke kantor polisi. Lupa apa amnesia ya.Tidak peduli seberapa besar protesnya polisi tetap mencekalnya hingga tidak berkutik buat melawannya.Jika melawan mereka akan mati konyol, kena sasaran timah panas aparat negara. Tentu saja kekuatannya tidak sebanding pada polisi itu.Polisi tampak garang. "Ini bukti penangkapan anda. Jelaskan nanti dikantor saja!" Maka diciduklah Reno dengan berbagai pertanyaan dibenaknya. Tak selang berapa lama Reno pun sampai dikantor dan terkejut melihat siapa gerangan menjadi tersangka tapi hanya melihatnya sekilas. Kini baru menyadarinya. "Kamu,,,?"Laki-laki itu tersenyum dingin membuat tengkuknya merinding terasa dingin seperti es membeku.Baru sadar."Saudara ,,, orang ini yang maksudkan?" "Benar pak, dia yang telah melecehkan adik saya. Dia harus dihukum berat!"Reno tidak bisa berkata apa-apa
Bab 13. Sikapnya sangat menyebalkan. *** Laki-laki itu tersenyum sinis kearah Reno dengan tatapan dingin. "Tidak penting kau mengenalku. Setidaknya kau selamat kali ini, jika tidak, nyawamu tidak terselamatkan!" Orang itu menambahkan lagi. "Minggir kau!" Sorot matanya penuh sarat membunuh. Bughhhh,,,, Laki-laki itu menendang kuat Reno hingga terjungkal. "Aaarrggghhhh,,," ringis Reno kesakitan bagian yang ditendang. Laki-laki jongkok, meraih krah Reno dan kepalan tangannya mengarah tepat dimukanya beberapa kali. Hingga dari mulut Reno pun mengeluarkan darah. Orang itu seolah belum puas menyisakan, hingga pukulannya bertubi-tubi mengarah ditubuh Reno yang rasa hancur lebur. Lalu laki-laki itu berdiri, sekali tendangkan kakinya kuat-kuat membuat tubuh Reno yang besar itu ikut terseret. "Aaakkkkkk!" Rintihnya, menahan sakit disekujur badannya. Laki-laki itu pun nampak tersenyum, tapi belum puas melihat Reno yang terkapar muntah darah itu. Laki-laki itu lalu mendengus. "
##### Pakaian robek hingga bagian tubuhnya yang atas terekspos membuat Reno matanya langsung berkilat dengan jakun turun naik serta darahnya mendidih. Ada yang bergejolak dalam dirinya begitu kuat hingga tak mampu diredamnya kecuali... Nafasnya putus putus dengan mata membelalak tak percaya melihat kulit mulus sang kakak ipar yang bersedih bak porselen seolah kulit itu terawat dengan baik. "Oh, kulitnya mulus sekali tiada cacat." Berbeda dengan Luna yang makin ketakutan. Harga dirinya benar benar runtuh dititik terendah. Tidak bisa berkutik atas perlakuan buruk adik iparnya. Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa seperti seekor rusa yang terjebak dalam tatapan lapar seekor pemangsa. Pakaian yang terkoyak membuatnya semakin rentan, membuat rasa takut menyelimutinya hingga ke tulang. Sebisanya ia menutupi bagian yang terbuka dengan suka payah tanpa berani kontak dengan tatapan Reno yang seolah sedang menelanjanginya. "Reno... jangan lakukan ini
##### Sungguh hal yang mencengangkan jika adik iparnya sampai berbuat sejauh ini. "Apa yang kamu lakukan Reno? ini tidak pantas! lepaskan aku! aku ini kakak iparmu! lepaskan aku, kalau tidak... aku akan teriak!" Hp yang dipegangnya lepas. Namun, hal tak terduga terjadi karena tanpa sengaja Luna menekan tombol hijau dan melouspekernya. Hp itu terjatuh kebawah begitu saja dan tidak terlihat layar bahkan Luna tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima dengan pasrah. Kekuatannya terlalu lemah untuk ukuran seorang wanita sedangkan adik iparnya Reno seorang laki laki yang kekuatan jauh lebih besar dari yang dimilikinya. Reno terlihat santai dan tenang. "Teriak saja kakak ipar. Kakak ipar pasti tahu kan yang terjadi apa? nggak ada yang dengar kak" Reno tertawa renyah melihat kekonyolan ini. ia memeluk erat penuh nafsu disaat panggilan telpon sudah diangkatnya. Tentu saja Luna dilanda kepanikan. Bagaimana ia akan bicara karena saat ini Reno sedang memeluknya. "Kau sudah gila ya! aku
Seperti mimpi buruk. #### Ada rasa ketakutan tersendiri dihati Luna tapi jika diam saja maka harga dirinya akan diinjak injak dan akan menjadi bahan cibiran bagi suaminya. "Aku berhak. Karena kamu sebentar lagi bukan suamiku" nadanya tegas. Matanya membulat. Matanya panas sedari menahan kecamuk dalam dadanya. Mata Restu melotot dapati hal. Tak terima harga dirinya diinjak injak oleh seorang wanita yang masih istrinya. "Apa maksudmu?" Suaranya keras dengan tatapan penuh intimidasi. Tak kalah sengitnya, Luna berusaha untuk melawannya. "Sudah jelas. Tidak perlu ku jelaskan lagi. Pergi dari kamar ini. Atau tidak,,,?" "Kalau tidak, mau apa? Hah,,,!" Sahutnya lantang. "Oke. Aku yang pergi dari sini. Jika itu yang kau inginkan" Luna bermaksud bersiap untuk pergi. Tatapan suaminya melunak. "Baik" suaranya lirih, akhirnya pergi dari kamar putranya. Restu tampak frustasi dengan keadaan sekarang terlebih Lana tidak ada dan bisa untuk menghilangkan penat yang dirasakannya.
Saat kembali. **** Sebenarnya Restu merasa gelisah teringat wanita yang dilihatnya. Tampak begitu cantik , anggun serta elegan. Bahkan melepas penutup kepalanya yang selama ini dikenakan. Dia begitu cantiknya bagai seorang bidadari yang turun ke bumi. Kulitnya juga putih mulus dengan polesan make up yang menambah daya tarik tersendiri bagi lawan jenis. "Tidak mungkin itu Luna. Dia begitu perfect. Bodynya juga yahut tidak seperti yang pernah ku lihat selama ini. Bahkan dengan Lana sangat jauh berbeda. Tubuhnya lebih berisi dan montok. Bahkan selama ini tidak pernah memakai high heels sama sekali. Terlebih mengenakan pakaian yang tampak mewah terlihat. Darimana dia dapat uang?" Spekulasi terus bermain main dipikirannya tentang istrinya selama ini. Bahkan penampilannya yang terlihat tadi jelas berbeda dengan selama ini. Akhirnya pertemuan itu pun dimulai. Bahkan Restu berhadapan dengan seorang investor yang belum pernah dilihatnya selama ini. Tampak terasa asing. Tapi yang la