Faruq masih penasaran dengan tingkahku yang menurutnya aku banyak menyembunyikan sesuatu.
"Berikan ponselnya!" pintanya.
"Ponsel apa? Maksudku ponsel siapa?" tanyaku masih nekat berpura-pura.
"Kamu semakin berani berbohong ya? Kalau aku bisa menemukan ponsel itu, awas kuhajar kamu, ingat itu!" ancam Faruq.
"Kenapa sih Tuan Muda, selalu mengancamku?" tanyaku sedih.
"Karena sekarang kamu pembohong dan licik," sahut Faruq.
"Apa? Aku?" tanyaku memekik.
"Sudah jangan banyak bicara, lusa kamu harus berdandan secantik mungkin, aku akan menikahimu!" gumam Faruq.
"Tidak, Tuan Muda, jangan lakukan itu! Bukankah Tuan Muda harus menikahi Nona Marwa," jawabku menolak.
"Itu bukan urusanmu, Fahim! Kamu tinggal bilang iya, sulit amat sih!" hardik Faruq.
"Maaf Tuan Muda, aku tidak bisa!" jawabku pelan.
"Sombong sekali, memangnya aku memberi pilihan kepadamu, mau atau tidak?" hardik Faruq.
"Aku orang Indon
Aku dan Priya memasak di dapur. Tuan Hussein request nasi kebuli, yaitu indentik nasi goreng tapi sebenarnya dia nasi yang dimasak dengan daging kambing dengan rempah-rempah lengkap yang terasa sekali. Faruq dan Iqbal request kebab, mereka berdua seleranya sama yaitu kebab. Sebagai kuahnya aku membuatkan sop buntut dengan sayurnya wartel kentang dan lobak serta tomat. Dan yang ini mereka semua suka sekali, masakan andalanku. "Aku tata meja makannya, ya Fahim?" Priya menawarkan. "Iya Priya, aku siapkan dan kamu yang menata meja makan?" usulku. Setelah semua siap aku menarik Priya dan membisikkan di telinganya, "Nanti kalau Tuan Muda menanyakan ponselnya tolong kamu bilang kalau ponselnya sudah kamu buang di tempat sampah, Priya!" pintaku kepada Priya. "Beres, Fahim," jawab Priya. Makan malam sudah siap, semua sudah berkumpul di meja makan. Iqbal masih jelalatan mencari-cari keberadaanku. Aku memang sengaja tidak ingin muncul di
Muzammil masih penasaran dan terus mendesak aku agar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mungkin mengungkapkan kejelekan Faruq kepada temannya. "Ayolah Fahim, aku penasaran katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya? Kamu orang Indonesia kan? Apakah Faruq memperlakukan kamu dengan baik,Fahim? Kenapa kamu memanggil suamimu dengan sebutan tuan? Apa yang terjadi tadi malam, Fahim?" tanyanya menyelidik. "Fahim, kamu tidak percaya kepadaku ya? Kita kan berteman, aku tulus tidak punya niatan jelek kepadamu, Fahim," ujar Muzammil meyakinkan. "Aku percaya, Kak Zammil," sahutku meyakinkannya. "Tapi kita belum pernah bertemu, bahkan Kak Zammil belum pernah melihat wajahku kan?" lanjutku. "Aku sudah melihat matamu yang indah dan tajam, aku pernah melihat bibirmu yang sexi yang sedang terluka," kata Muzammil pelan. "Kapan, bahkan aku selalu pakai cadar saat bertemu orang asing?" sahutku tak percaya. "Kamu lupa ya? Bahkan aku
Tuan dan Nyonya Hussein datang ke kamarku. Betapa terkejutnya mereka melihat Faruq membawa gaun pengantin. "Apa itu, Faruq?" tanya nyonya. "Gaun pengantin Fahim, Umi," jawab Faruq. "Apa maksudmu, Faruq? Kamu menentang Umi sama Abi ya? Sudah kubilang jangan hancurkan hubunganmu dengan Marwa!" hardik nyonya. Aku jadi salah tingkah menghadapi tuan dan nyonya. Aku takut mereka mengira aku yang mendesak Faruq. Aku bahkan segera masuk kamarku. Tuan dan nyonya juga Faruq di depan pintu kamarku. "Bagaimana kalau Marwa tahu, hatinya akan hancur. Kamu tidak boleh menikah dengannya, Faruq! Atau sekarang juga Fahim kuusir dari rumahku!" hardik Tuan Hussein. Aku takut mendengar kemarahan Tuan Hussein. Tapi apalah daya posisiku serba sulit, aku tidak ingin pernikahan ini tapi Faruq memaksanya. Sementara orang tuanya menentangnya dengan keras. Dimanakah kakiku harus berdiri dan berpijak? "Tenang, Abi! Marwa sudah tahu dan mengijinkan. Dengan
Ruby dan Sena masuk ke kamarku. Aku yakin di benaknya dipenuhi pikiran kotor. Ruby dan Sena menatapku dengan tatapan tajam dan licik. "Wah kayak Cinderella aja," ujar Ruby. "Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?" tanya Ruby kepadaku. "Apa kamu yakin bisa bahagia hidup dengan Tuan Muda? Apalagi kalau Tuan Muda nanti menikah lagi dengan Non Marwa," tanya Sena mendekatiku. "Dan yang perlu kamu ingat, ancaman Nona Marwa tidak main-main!" Ruby mengingatkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya?" tanyaku kepada Ruby dan Sena. "Aku ingin membantumu pergi dari istana ini," tawar Sena. "Ini yang kamu inginkan sejak lama kan, aku kalah dan pergi dari Faruq?" gumamku dalam hati. "Aku mengalah bukan karena kalah, demi kebahagiaan Tuan Muda dan Iqbal anakku aku harus pergi," lanjutku. "Apa hatimu masih bebal dengan semua yang kamu alami di sini? Tidak gentar juga?" tanya Sena mengumpat. "Aku capek den
Aku merasa semakin sesak dan mual bahkan pusing yang menggigit. Keringatku terus mengucur membuatku tidak nyaman apalagi dengan baju sebesar ini dan bahkan penuh manik-manik. Kakiku yang terluka, terus keluar darah segar. Saat kuraba ada cairan mengental dan kucoba melihatnya merah dan anyir. Semakin pasrah dan putus asa melihatnya. Tiba-tiba aku merasa lelah dan mengantuk, akhirnya aku tidak ingat lagi. Saat mataku terbuka aku sudah diatas tempat tidur. "Dimanakah aku?" gumamku lirih dan ragu. Lelaki itu membelakangiku, berdiri menutup korden jendela kamar. Aku terperanjat saat mendapati tubuhku yang sudah berganti baju. "Bajuku?" pekikku sambil meraba lenganku. Lelaki itu membalikkan badannya, betapa terkejutnya aku. Hah? Tanganku menutup bibirku yang tertutup cadar. "Kak Zammil!" gumamku lirih. "Kamu sudah sadar? Aku memanggil dokter ke rumah, aku tidak berani membawamu ke rumah sakit. Aku yakin kamu juga
Muzammil penasaran dengan berita di televisi, dia ragu menyalakan televisi sambil menatap mataku. "Fahim, yakin kamu ingin menontonnya?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya Kak Zammil, aku harus tahu," ujarku yakin. Akhirnya Muzammil menyalakan televisi di kamarnya. Betapa terkejutnya di rumah Tuan Hussein ada pembunuhan. Dan tersangka sementara adalah aku. Karena barang bukti berupa pisau ada sidik jariku. Sholikin salah seorang sepupu Faruq tewas terbunuh di kamarku. "Bukan aku pelakunya, Kak Zammil," gumamku menyangkal. "Bukan aku, Kak Zammil!" tangisku sesak menahan takut. "Pemirsa, ini adalah wajah tersangka tunggal. Dia sedang melarikan diri, bagi kalian semua yang melihat wajahnya segera saja menghubungi kantor polisi," seorang reporter televisi sedang siaran langsung dan menunjukkan fotoku terpampang besar di depan kamera. "Tidak, kalian salah dengan menuduh umiku! Hati-hati semua kalian bicara! Aku Iqbal anaknya, aku yang menyuruh
Muzammil terus memaksaku agar aku menceritakan semuanya, agar dia bisa berpikir bagaimana cara menolongku. "Kak Zammil, aku disekap di istana itu sepuluh tahun lebih. Hanya aku seorang yang diperlakukan seperti tahanan yang dijaga ketat. Hampir setiap hari aku dijadikan pemuas nafsu oleh Tuan Muda Faruq. Akhirnya dari perkosaan itu lahirlah Iqbal," ujarku pelan. "Kasihan Iqbal memiliki seorang abi yang sebejat itu," kata Muzammil asal. "Dia selalu melukai tubuhku sebelum diperkosa, itu makanya aku tidak mau dinikahinya. Aku takut ...ngeri ... dia seperti monster, Kak Zammil," tangisku saat mencoba membayangkannya kembali. Muzammil segera meraih tubuhku dan memelukku erat, seolah dia ikut merasakannya. Aku diam sesaat, aku menikmati pelukan hangat Muzammil. Beban berat di dadaku berangsur mencair. "Betapa takutnya bila hari menjelang malam, ketakutan kalau Faruq datang ke kamarku," ujarku dengan derai air mata yang meleleh. "Tapi keliha
Aku membantu Yuni memasak di dapur. Muzammil olah raga di taman belakang rumah diantara pohon kurma yang sedang berbuah lebat. Sesekali aku mencuri pandang dari jendela dapur. Parasnya memang rupawan, dengan kumis tipis dan janggut dan bulu di rahang tipis dan halus berkilau. Tak sengaja mata Muzammil menangkap aku yang sedang mengamati dirinya. Aku malu bukan kepalang, apalagi setelah dia melayangkan senyuman manisnya. Aku segera menarik diriku dan sembunyi di balik dinding dapur. "Sudah Fahim, kamu istirahat saja!" pinta Yuni. "Tidak apa-apa aku harus bekerja kalau tidak badanku malah sakit semua," ujarku. "Dimana Yuli?" tanyaku saat melihat Yuli tidak bersama Yuni. "Dia lagi bersih-bersih rumah, kita bagi-bagi tugas, aku memasak dan membersihkan dapur," ujar Yuni. "Enak ya kalau punya teman pengertian, bisa diajak saling berbagi kayak sama saudara sendiri," kataku tersenyum kagum. "Kita hidup di negara orang ha