Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita.
"Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya.
"Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah.
"Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah.
"Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.
Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.
Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Keluarga besar itu ramai berkumpul hendak mengantar ta'aruf. Dari keluarga nyonya, demikian juga keluarga Tuan Hussein. Sebelum mereka semua melihatku aku segera masuk ke kamarku.
Aku tidak mau mereka gaduh membicarakan aku, bila melihatku.
Tok ... Tok ... Tok ...! Suara pintu diketuk dan kepala Priya menyembul ke dalam.
"Fahim, kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Priya.
"Tidak Priya, aku ingin rebahan sebentar." jawabku.
Tapi Priya penasaran justru masuk dan menutup pintunya.
"Sena dan Ruby ikut, Fahim. Kamu yakin tidak ingin bertemu Tuan Muda sebelum dia pergi?" tanya Priya.
"Kamu apaan sih, Priya, biarkan mereka bersenang-senang. Ngapain juga harus bertemu denganku. Emangnya siapa aku?" hardikku kesal kepada Priya.
Sebenarnya dalam lubuk hatiku yang paling dalam ada perasaan khawatir, khawatir kalau Faruq akan tertarik pada wanita itu dan melupakan aku. Apalagi tadi tantenya bilang kalau dia cantik sekali.
"Fahim, kamu yakin tidak ingin melihat dan mengantar rombongan pergi?" tanya Priya lagi membuatku risih.
"Kamu kenapa sih, Priya?" sahutku kesal.
Cklek! Suara pintu dibuka, dan Faruq sudah masuk setelah menutup kembali pintunya. Priya segera pamit pergi keluar kamar.
"Silahkan Tuan Muda, saya pergi dulu!" pamit Priya mohon diri.
"Priya, tolong selama aku pergi temani Fahim ya! Jangan sampai dia kabur!" pintanya.
"Baik, Tuan Muda!" kata Priya, sambil berjalan ke luar kamar.
Kini tinggal aku dan Faruq di kamar itu. Aku terkejut saat Tuan muda masih ada rasa takut kalau aku kabur.
"Jadi Tuan Muda masih takut kalau aku kabur?" tanyaku. Aku menatap dengan kagum wajahnya yang saat ini benar-benar tampak bersinar. Sedang beruntung atau malang kah wanita yang sedang ta'aruf dengan Faruq?
"Kadang kamu tidak punya otak, asal berbuat, baru menyesal kemudian!" kata Faruq sekenanya.
"Aku? Aku seperti itu? Kalau aku kabur, bagaimana dengan Iqbalku, aku tidak bisa jauh-jauh dari dia?" jawabku asal.
"Iqbal atau aku?" sahut Faruq.
Entah kenapa aku benci dan muak dengan pertanyaan itu? Aku diam menatap wajahnya sangat dalam. Disaat dia akan pergi untuk membina hubungan dengan wanita lain justru dia berkelakar merayuku. Emangnya apaan aku?
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Faruq mencengkeram kedua lenganku.
"Aku bahagia ada wanita lain yang mengisi hidupmu nanti. Sehingga aku tidak lagi menjadi pelampiasan nafsu kamu," kataku berbohong, sambil perlahan menundukkan wajahku.
Kadang aku berpikir, apakah ini karena rasa takutku kehilangan dirinya yang sedang aku tutup-tutupi.
Dia sejenak terdiam, ditariknya daguku sehingga wajahku terangkat ke atas. Kami saling berpandangan, jantungku berdegup kencang hingga terasa sesak dadaku.
Benar kata orang dari mata turun ke jantung. Ini untuk pertama kalinya ada perasaan sedahsyat ini. Mataku tak sanggup lagi menatap matanya yang teduh dan indah itu, sontak mataku terpejam. Tapi Faruq justru merasa seolah aku sedang menginginkan ciumannya.
Tiba-tiba bibir sexinya yang hangat dengan cepat mematukku, aku terkesiap.
"Kenapa kamu menyiksaku dengan perasaan ini, Fahim? Aku bisa gila, tau? Rasa rindu yang menggebu, sekalipun sedang memelukmu. Rasa cinta yang semakin bertambah dan terus bertambah," bisiknya di telingaku.
Sontak tanganku mencengkeram pinggannya. Aku paling tidak bisa mendapat bisikan dan nafas hangat di telingaku. Pasti sontak panas dingin bak tersengat listrik. Faruq untuk pertama kalinya melihat responku seperti ini. Bukan lagi rasa tertekan dan tersiksa seperti biasanya.
Dia kembali memagut bibir ranumku dengan bernafsu dan aku pasrah. Aku semakin tak bisa mengendalikan perasaanku. Aku melihat sosok yang berbeda dari Faruq saat ini. Cengkeraman tanganku yang semakin kuat membuat Faruq semakin kesetanan.
"Mereka semua menunggumu, kenapa Tuan Muda masih ...," kataku tersekat, aku menarik tubuhku menyadarkannya.
"Faruq ...Faruq ...cepat!" teriak nyonya.
Faruq menatapku dengan dalam, kemudian kembali menarik tubuhku dan memeluknya dengan erat.
Tok ... Tok ... Tok cklek! Suara pintu diketuk dan kemudian dibukanya. Ternyata Iqbal yang datang, Faruq masih saja memelukku.
"Umi, Abi ...!" teriak Iqbal menghampiri kami berdua. Kemudian ikut menghamburkan tubuhnya, kita bertiga berpelukan seolah keluarga bahagia. Tiba-tiba kudengar suara tangis Iqbal, kami melepas pelukan itu, aku dan Faruq bersamaan menatap Iqbal.
"Kenapa kamu menangis sayang?" tanyaku pelan.
"Iqbal, ada apa?" tanya Faruq dengan suara paraunya.
"Umi, Abi ... Iqbal bahagia." gumam lirih Iqbal.
"Kamu bahagia sampai menangis sesegukan begini, apa yang membuat kamu bahagia?" tanya Faruq.
"Karena melihat Abi memeluk umi dengan penuh sayang," jawab Iqbal dengan polosnya.
Faruq terperanjat dengan ungkapan perasaan Iqbal yang benar-benar merindukan suasana seperti ini.
"Umi, kenapa kamu membiarkan abi menikah?" tanya Iqbal.
Mulutku terasa terkunci, aku tidak tahu harus menjawab apa. Sedang Faruq menatapku seolah dia juga sedang mendengarkan apa jawabanku untuk pertanyaan itu. Aku gugup, beberapa langkah aku mundur dan memalingkan wajahku menyembunyikan kesedihanku dari mereka.
"Abi harus mendapatkan wanita yang baik dan sepadan dengan Abi, Sayang. Kelak kalau kamu sudah dewasa, pasti kamu mengerti makna jawaban Umi ini," kataku datar.
"Kalian berdua disini, ayo cepat! Keluarga mereka sudah telepon lagi tuh!" kata nyonya yang tiba-tiba muncul di depan pintu yang tidak tertutup lagi.
Untung moment kami bertiga berpelukan dia tidak menyaksikannya.
"Ayo cepat!" desaknya lagi.
"Iya, Umi," jawab Faruq.
Nyonya tanpa bicara sepatah katapun kepadaku, hanya menatapku tajam kemudian pergi. Menyusul kemudian Faruq dan Iqbal. Faruq merangkul pundak Iqbal kemudian berjalan pergi. Hatiku sakit menatap mereka seolah melepaskan mereka untuk waktu yang lama. Faruq terus menatapku dengan tajam sambil perlahan berjalan keluar kamarku, demikian juga dengan Iqbal.
"Aaaah ... hiks ... hiks ... hiks!" tangisku menjadi begitu pintu kamarku ditutup oleh Faruq.
Aku tidak tahu apa yang sedang kutangisi, bukankah aku tidak mencintainya? Apa arti tangisanku ini? Apa aku takut kehilangan dia, perhatiannya, kasih sayangnya dan perlakuan nakalnya...
Aku menatap dari jendela, aku melihat Faruq merangkul anakku menuju mobilnya. Sebelum masuk mobil, Faruq menyempatkan menatap jendela kamarku. Dia mendapati aku yang tertegun sedih menatapnya. Sesaat kami masih berpandangan, perlahan dia masuk mobil dan mobil pun melaju pergi. Oh sakit! Ada sesuatu yang terlepas dari tubuhku sakit rasanya, akupun menangis pilu.
Aku melihat mobil terakhir ada Ruby dan Sena sedang berdandan cantik ikut serta mengantarnya.
***
Di rumah aku menunggu dengan cemas. Apakah Faruq menerima gadis itu? Bagaimana nasibku nanti bila ada wanita lain disisinya?
Bersambung ...
.
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi? Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum genit dan menatap aku dengan tatapan mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Aku jadi sakit hati bila ingat Faruq memperkenalkan aku sebagai pengasuh Iqbal. Harusnya aku mengerti posisi Faruq, memang tidak mudah. Aku cemburu setelah melihat betapa cantiknya Marwa. Perawakannya sangat bagus tinggi dan sintal, beda jauh denganku. Tinggiku hanya 158 cm dan beratku hanya 46 kg, tak sebanding dengan Marwa. Secara wajah aku juga tidak ada apa-apa nya, orang menyebut dia bagai bidadari. Tak salah bila aku menaruh cemburu. Takut kalau Faruq akan melupakan aku. Bukankah harusnya aku senang tidak menjadi budak nafsunya lagi. Bahkan mungkin dia akan melepaskan aku dari penjara yang membelenggu selama sepuluh tahun. Malah mungkin juga dia mengijinkan aku pulang ke Indonesia. "Umi, Abi pulang!" teriak Iqbal setelah membuka kamarku. Dengan tanpa memperdulikan rasa sakitku, aku segera beranjak bangun dan bergegas bersama Iqbal menyambut Faruq. "Abiiii ...!" teriak Iqbal sambil berlari menghampirinya. Aku dan Iqbal terpe
Saat aku membuka mataku, ada tangan kekar melingkar di pinggangku. Betapa terkejutnya ternyata Faruq tidur di sampingku. Aku melirik jam di atas meja kecil di samping ranjang menunjukkan pukul 03.00. Aku terbiasa terbangun di jam-jam itu, karena kebiasaan aku sholat Tahajud. Kenapa tiba-tiba Faruq menyusul tidur di kamarku? Padahal tadi Abi dan uminya, marah besar kepadaku. Mencaci aku separah itu, bila mengingatnya benar-benar membuat sakit hatiku. Aku perlahan menyibakkan tangan Faruq dan bangun untuk mengambil air wudhu untuk sholat Sunnah Tahajud. Dalam sholatku aku selalu menumpahkan tangisku kepada Zat Yang Maha Pengasih. Kadang aku berpikir, tubuhku yang kotor, selalu jadi pelampiasan nafsu majikan dan aku tak mampu menghindarinya hingga melahirkan seorang anak. Bagaimana dengan ibadahku, apakah Allah bisa menerima ibadahku? Wallahu A'lam Bish-shawab. Sekalian aku sholat Istikharah, sebentar lagi Faruq ulang tahun, aku harus memenuhi permintaan
Aku masih penasaran apa yang sedang direncanakan mereka bertiga di depan kamarku. Aku melihat dan samar-samar mendengar ada pertengkaran diantara mereka. Setelah aku memberikan sarapan Iqbal, dengan alasan mengambil tas ke kamar Iqbal aku kepo ingin mendengarkan percakapan mereka. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan kamar Iqbal. "Aku tidak mau tahu, aku tetap akan mengusirnya, aku tidak mau keluarga Marwa memutuskan hubungan ini, Faruq," Tuan Hussein emosi. Seketika tubuhku lemas lunglai mendengarnya. Kalau saja aku mendengarkannya saat aku belum mempunyai Iqbal, jelas aku bahagia sekali. Tapi sekarang, aku berpikir bagaimana dengan Iqbalku? Apakah aku bisa berpisah dengan Iqbal, anakku? "Apa kalian tidak memikirkan perasaan Iqbal? Bagaimana dia dipisahkan dari uminya?" tanya Faruq memohon. "Kalau begitu kamu harus bisa meyakinkan Marwa agar dia tidak cemburu dan tidak membatalkan pernikahan ini! Dan yakinkanlah keberadaan Fahim
Plog ... Plog ... Plog ... Plog! Faruq bertepuk tangan dengan senyum bangga."Sama sekali aku tidak menyangka, Fahim," ujarnya sambil mengacak rambutku.Aku bisa melihat matanya menatap aku dengan berbinar-binar. Dengan penuh kekaguman dia terus memainkan rambutku. Dia mengambil gelas berisi air putih dan disodorkannya kepadaku."Tuan Muda, bisa lihat sendiri kelakuannya. Sok kuasa, arogan! Kita bertiga bisa membalasnya, tapi ini bukan negara kami, kami takut terlibat masalah hukum, Tuan Muda," ujar Ruby menahan malu karena sedang roboh di lantai.Aku hanya diam menatap Markamah yang salah tingkah. Sebenarnya aku kasian padanya yang harus jadi pecundang untuk mencari aman. Faruq juga memandang sinis kepada Markamah, tapi dia tidak mengungkapkannya dengan kata-kata."Tanganku sakit sekali, Tuan, kalau sampai terjadi cidera aku bisa memenjarakan dia!" hardik Sena sambil mengusap lengannya yang kesakitan."Kalian bertiga pantas mendapatkannya,