Share

8. Tuan Muda Faruq Ta'aruf

Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita.

"Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya. 

"Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah.

"Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah.

"Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.

Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.

Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Keluarga besar itu ramai berkumpul hendak mengantar ta'aruf. Dari keluarga nyonya, demikian juga keluarga Tuan Hussein. Sebelum mereka semua melihatku aku segera masuk ke kamarku.

Aku tidak mau mereka gaduh membicarakan aku, bila melihatku. 

Tok ... Tok ... Tok ...! Suara pintu diketuk dan kepala Priya menyembul ke dalam. 

"Fahim, kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Priya.

"Tidak Priya, aku ingin rebahan sebentar." jawabku.

Tapi Priya penasaran justru masuk dan menutup pintunya.

"Sena dan Ruby ikut, Fahim. Kamu yakin tidak ingin bertemu Tuan Muda sebelum dia pergi?" tanya Priya.

"Kamu apaan sih, Priya, biarkan mereka bersenang-senang. Ngapain juga harus bertemu denganku. Emangnya siapa aku?" hardikku kesal kepada Priya.

Sebenarnya dalam lubuk hatiku yang paling dalam ada perasaan khawatir, khawatir kalau Faruq akan tertarik pada wanita itu dan melupakan aku. Apalagi tadi tantenya bilang kalau dia cantik sekali.

"Fahim, kamu yakin tidak ingin melihat dan mengantar rombongan pergi?" tanya Priya lagi membuatku risih.

"Kamu kenapa sih, Priya?" sahutku kesal.

Cklek! Suara pintu dibuka, dan Faruq sudah masuk setelah menutup kembali pintunya. Priya segera pamit pergi keluar kamar.

"Silahkan Tuan Muda, saya pergi dulu!" pamit Priya mohon diri.

"Priya, tolong selama aku pergi temani Fahim ya! Jangan sampai dia kabur!" pintanya.

"Baik, Tuan Muda!" kata Priya, sambil berjalan ke luar kamar.

Kini tinggal aku dan Faruq di kamar itu. Aku terkejut saat Tuan muda masih ada rasa takut kalau aku kabur.

"Jadi Tuan Muda masih takut kalau aku kabur?" tanyaku. Aku menatap dengan kagum wajahnya yang saat ini benar-benar tampak bersinar. Sedang beruntung atau malang kah wanita yang sedang ta'aruf dengan Faruq?

"Kadang kamu tidak punya otak, asal berbuat, baru menyesal kemudian!" kata Faruq sekenanya.

"Aku? Aku seperti itu? Kalau aku kabur, bagaimana dengan Iqbalku, aku tidak bisa jauh-jauh dari dia?" jawabku asal.

"Iqbal atau aku?" sahut Faruq.

Entah kenapa aku benci dan muak dengan pertanyaan itu? Aku diam menatap wajahnya sangat dalam. Disaat dia akan pergi untuk membina hubungan dengan wanita lain justru dia berkelakar merayuku. Emangnya apaan aku?

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Faruq mencengkeram kedua lenganku.

"Aku bahagia ada wanita lain yang mengisi hidupmu nanti. Sehingga aku tidak lagi menjadi pelampiasan nafsu kamu," kataku berbohong, sambil perlahan menundukkan wajahku.

Kadang aku berpikir, apakah ini karena rasa takutku kehilangan dirinya yang sedang aku tutup-tutupi.

Dia sejenak terdiam, ditariknya daguku sehingga wajahku terangkat ke atas. Kami saling berpandangan, jantungku berdegup kencang hingga terasa sesak dadaku.

Benar kata orang dari mata turun ke jantung. Ini untuk pertama kalinya ada perasaan sedahsyat ini. Mataku tak sanggup lagi menatap matanya yang teduh dan indah itu, sontak mataku  terpejam. Tapi Faruq justru merasa seolah aku sedang menginginkan ciumannya.

Tiba-tiba bibir sexinya yang hangat  dengan cepat mematukku, aku terkesiap.

"Kenapa kamu menyiksaku dengan perasaan ini, Fahim? Aku bisa gila, tau?  Rasa rindu yang menggebu, sekalipun sedang memelukmu. Rasa cinta yang semakin bertambah dan terus bertambah," bisiknya di telingaku. 

Sontak tanganku mencengkeram pinggannya. Aku paling tidak bisa  mendapat bisikan dan nafas hangat di telingaku. Pasti sontak panas dingin bak tersengat listrik. Faruq untuk pertama kalinya melihat responku seperti ini. Bukan lagi rasa tertekan dan tersiksa seperti biasanya.

Dia kembali memagut bibir ranumku dengan bernafsu dan aku pasrah. Aku semakin tak bisa mengendalikan perasaanku. Aku melihat sosok yang berbeda dari Faruq saat ini. Cengkeraman tanganku yang semakin kuat membuat Faruq semakin kesetanan.

"Mereka semua menunggumu, kenapa Tuan Muda masih ...," kataku tersekat, aku menarik tubuhku menyadarkannya.

"Faruq ...Faruq ...cepat!" teriak nyonya.

Faruq menatapku dengan dalam, kemudian kembali menarik tubuhku dan memeluknya dengan erat.

Tok ... Tok ... Tok cklek! Suara pintu diketuk dan kemudian dibukanya. Ternyata Iqbal yang datang, Faruq masih saja memelukku.

"Umi, Abi ...!" teriak Iqbal menghampiri kami berdua. Kemudian ikut menghamburkan tubuhnya, kita bertiga berpelukan seolah keluarga bahagia. Tiba-tiba kudengar suara tangis Iqbal, kami melepas pelukan itu, aku dan Faruq bersamaan menatap Iqbal.

"Kenapa kamu menangis sayang?" tanyaku pelan.

"Iqbal, ada apa?" tanya Faruq dengan suara paraunya.

"Umi, Abi ... Iqbal bahagia." gumam lirih Iqbal.

"Kamu bahagia sampai menangis sesegukan begini, apa yang membuat kamu bahagia?" tanya Faruq.

"Karena melihat Abi memeluk umi dengan penuh sayang," jawab Iqbal dengan polosnya.

Faruq terperanjat dengan ungkapan perasaan Iqbal yang benar-benar merindukan suasana seperti ini.

"Umi, kenapa kamu membiarkan abi menikah?" tanya Iqbal.

Mulutku terasa terkunci, aku tidak tahu harus menjawab apa. Sedang Faruq menatapku seolah dia juga sedang mendengarkan apa jawabanku untuk pertanyaan itu. Aku gugup, beberapa langkah aku mundur dan memalingkan wajahku menyembunyikan kesedihanku dari mereka.

"Abi harus mendapatkan wanita yang baik dan sepadan dengan Abi, Sayang. Kelak kalau kamu sudah dewasa, pasti kamu mengerti makna jawaban Umi ini," kataku datar.

"Kalian berdua disini, ayo cepat! Keluarga mereka sudah telepon lagi tuh!" kata nyonya yang tiba-tiba muncul di depan pintu yang tidak tertutup lagi.

Untung moment kami bertiga berpelukan dia tidak menyaksikannya.

"Ayo cepat!" desaknya lagi.

"Iya, Umi," jawab Faruq.

Nyonya tanpa bicara sepatah katapun kepadaku, hanya menatapku tajam kemudian pergi. Menyusul kemudian Faruq dan Iqbal. Faruq merangkul pundak Iqbal kemudian berjalan pergi. Hatiku sakit menatap mereka seolah melepaskan mereka untuk waktu yang lama. Faruq terus menatapku dengan tajam sambil perlahan berjalan keluar kamarku, demikian juga dengan Iqbal.

"Aaaah ... hiks ... hiks ... hiks!" tangisku menjadi begitu pintu kamarku ditutup oleh Faruq. 

Aku tidak tahu apa yang sedang kutangisi, bukankah aku tidak mencintainya? Apa arti tangisanku ini? Apa aku takut kehilangan dia, perhatiannya, kasih sayangnya dan perlakuan nakalnya...

Aku menatap dari jendela, aku melihat Faruq merangkul anakku menuju mobilnya. Sebelum masuk mobil, Faruq menyempatkan menatap jendela kamarku. Dia mendapati aku yang tertegun sedih menatapnya. Sesaat kami masih berpandangan, perlahan dia masuk mobil dan mobil pun melaju pergi. Oh sakit! Ada sesuatu yang terlepas dari tubuhku sakit rasanya, akupun menangis pilu.

Aku melihat mobil terakhir ada Ruby dan Sena sedang berdandan cantik ikut serta mengantarnya.

***

Di rumah aku menunggu dengan cemas. Apakah Faruq menerima gadis itu? Bagaimana nasibku nanti bila ada wanita lain disisinya?

Bersambung ...

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status