Share

7. Apakah Aku Cemburu?

Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.

Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.

Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?

Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.

Aku menatap anakku Iqbal yang tertidur pulas di sampingku. Bagaimana anak setampan dan sebaik dia harus terlahir dari rahimku dengan latar belakang yang tragis. Aku membelai rambutnya yang lembut, kutatap dengan dalam wajah anakku ... oh anugerahMu begitu indah, Ya Allah. Alhamdulillah.

Ternyata cukup lama aku pingsan atau entah tertidur, tapi begitu mataku terbuka sudah malam. Dari pintu kudengar seseorang mengetuknya. 

"Fahim, kamu sudah bangun? Aku ambilkan makan malam ya?" tawar Priya setelah dia membuka pintu.

"Tidak Priya, aku tidak lapar. Nanti saja kalau aku lapar akan mencari sendiri di dapur. Priya, ternyata aku tidur sangat lama ya?" tanyaku.

Priya masuk dan menutup kembali pintu, dia menghampiriku.

"Iya lama sekali, Fahim. Tuan Muda baru saja keluar kamarmu. Tuan Kecil baru saja tertidur, tadi tuan muda berpesan agar membiarkan dia menemani kamu di sini," kata Priya.

"Priya, kamu percaya kan aku tidak melakukan semua ini?" Tanyaku pada Priya, agar bisa meyakinkannya bahwa aku bukan orang seperti itu.

"Tentu percaya Fahim, kamu harus lebih hati-hati ya? Kalau saja kamu mau dinikahi tuan muda, mungkin mereka tidak berani lagi berbuat macam-macam. Kamu akan menjadi majikannya, mau tidak mau dia akan tunduk padamu. Pikirkan itu, Fahim!" pesan Priya.

"Aku perlu waktu berpikir, Priya!" jawabku sekenanya.

"Ada kalanya manusia itu penuh kekurangan. Mungkin masalah obsesi sex yang menyimpang. Itu adalah kelainan, seiring waktu kamu bisa menyembuhkannya. Dia sangat mencintaimu, kamu bisa merubahnya sesuai harapanmu." nasehat Priya dengan lirih.

"Bagaimana kamu tahu, itu masalah kami berdua, Priya?" tanyaku terkejut.

"Saat kamu pingsan, aku yang merawatmu. Aku melihat banyak luka sayatan dan cakar di dadamu, di leher," kata Priya pelan.

"Dia monster, Priya! Dia bukan manusia! Aku takut!" kataku sambil menghaburkan tubuhku ke pelukannya.

Kami saling berpelukan, aku merasa dialah satu-satunya orang yang mengerti tentang diriku. Dia memelukku dengan sayang bagai seorang saudara.

Tiba-tiba dengan keras aku mendengar Faruq berteriak kepada abinya.

"Tapi dia tidak bersalah, Abi! Abi seorang polisi bisa melakukan penyelidikan, misalnya dengan sidik jadi di barang bukti itu? Aku yakin Fahim bahkan tidak menyentuhnya, sehingga ini cukup membuktikan kalau dia bukan pelakunya, Abi!" bantah Faruq.

Aku dan Priya saling berpandangan. Bagaimana mungkin mereka masih membahas masalah itu? Aku berpikir sudah selesai dengan hukuman cambuk yang sudah aku terima pagi tadi.

"Itu pekerjaan polisi, Faruq, kamu tidak usah mengajariku." sahut Tuan Hussein.

"Tapi aku takut dia tidak mendapat keadilan, Abi," teriak Faruq memekik.

"Oke, Abi akan bantu, tapi ada syaratnya," tawar Tuan Hussein.

"Apa itu, Abi?"

"Ta'aruf," jawab Tuan Hussein.

"Siapa lagi? Sudah kubilang aku belum siap menikah, Abi," sahut Faruq.

"Usiamu sudah 35 tahun dan kamu masih saja bilang belum siap. Kamu masih nunggu Fahim yang bodoh culun itu? Wanita tak berkelas, miskin pula. Abi tidak melarang kamu menikahi dia, Faruq, tapi apa yang sudah dia lakukan padamu, coba? Dia sudah mempermalukan dirimu," kata Tuan Hussein emosi.

"Tapi justru dialah wanita yang kuidamkan, Abi. Dia tidak silau harta benda dan kedudukan. Itu makanya aku tidak percaya kalau dia mencuri. Tanpa dia harus mencuri aku sudah memanjakannya dengan uang dan perhiasan. Tapi tak satupun yang dipakai, disimpan sebagai hiasan lemari di kamarnya," bela Faruq.

"Sudah jangan bela dia terus, itu syarat dari Abi yang perlu kamu pertimbangkan!" sahut Tuan Hussein.

"Tidak perlu pertimbangan lagi, Abi. Aku rela demi Fahim. Oke kita Ta'aruf, besuk," jawabnya setuju.

Aku dan Priya saling berpandangan, keputusan Faruq dilakukan hanya demi aku?  

"Kamu yakin merelakan Faruq untuk wanita lain?" bisik Priya kepadaku.

Kenapa hatiku sangat sakit mendengar kata-kata Priya seperti itu. Sekejap aku membayang Faruq berdampingan dengan wanita cantik, tiba-tiba ada yang perih di dadaku. Apakah ini cemburu? Tidak! Bukankah aku tidak mencintainya, tapi kenapa ada sakit dan nyeri di dada saat mendengar kesediaan Faruq menerima wanita lain? Ataukah karena aku takut kehilangan perhatiannya belaka?

Cklek! Tiba-tiba pintu dibuka dan Faruq sudah berdiri di depan pintu.

"Tuan Muda, Fahim tidak ingin makan, saya permisi dulu!" pamit Priya dengan sopan.

"Ambilkan saja, Priya!" perintah Faruq datar.

"Baik, Tuan Muda." Priya berlalu pergi.

Sebentar kemudian Priya sudah kembali dengan membawa makanan buat aku. Faruq menerima nampan yang berisi makanan. 

"Tinggalkan kami!" pinta Faruq datar.

"Baik, Tuan Muda," jawabnya kemudian Priya pergi dan menutup kembali pintu kamarku.

Faruq menaruh nampan itu di meja kecil di samping ranjangku. Dia mengambil sop daging di mangkuk.

"Pasti sop ini tidak senikmat buatanmu, tapi kamu harus tetap makan demi Iqbal. Dia yang menderita saat melihat dirimu sakit. Aaa' ...," katanya sambil menyodorkan sendok di bibirku, setelah dia meniupnya karena panas. Aku kikuk, memandangnya dengan perasaan gugup.

"Ayolah! Tanganku pegal nih ...," ujarnya sambil menyentuhkan sendok itu ke bibirku. Perlahan kubuka mulutku sambil menatap lelaki perkasa itu dalam-dalam.

"Sampai kapan kamu menatapku seperti itu? Kamu bisa tergila-gila nanti! Atau jangan-jangan sebenarnya kamu sudah mengagumiku, kamu gengsi aja mengakuinya, iya kan?" bisiknya di telingaku. Sambil tangan perkasanya terus menyendokkan makanannya untuk disuapkan di mulutku.

"Kadang aku benci pada diriku sendiri, kenapa harus tergila-gila padamu, Fahim. Kamu hanya seorang pembantu yang biasa-biasa saja," bisiknya.

Kami saling berpandangan, tatapannya sangat dalam menebus ke jantungku. Pertama kalinya hatiku tergetar menatapnya. Mungkin kali ini perlakuannya kepadaku berbeda, bukan sebagai pemuas nafsunya belaka. Tapi memang karena rasa cinta yang ada di hatinya.

Tak terasa semangkok sop ludes termakan olehku. Aku menatap mangkok yang kosong itu dengan malu.

"Lo kemana larinya isi mangkok tadi? Tumpah ya?" Faruq berkelakar menggoda.

"Tuan Muda?" gumamku lirih.

"Perasaan tadi ada yang menolak tidak mau makan, tapi ...," Faruq masih terus menggoda.

"Tuan Muda," desahku manja.

Aku malu, tapi Faruq menatapku dengan tersenyum puas, aku juga tersenyum. Kami saling berpandangan lagi. Kenapa malam ini aku melihat sosok Faruq yang lain yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Kamu gagah dan tampan, andai saja sikap dan cintamu selembut salju ...

"Tidurlah, biar Iqbal menemani kamu!" bisik Faruq sambil membantuku berbaring. Perlahan dia menutupiku dengan selimut begitu juga dengan tubuh Iqbal. Sebelum pergi dia mengecup keningku sambil berkata, "Kamu satu-satunya penghuni hatiku, tidak tergantikan."

Aku terpana dengan perlakuan Tuan Muda malam ini. "Kalau aku satu-satunya penghuni hatimu, kenapa kamu terima tawaran Ta'aruf  itu, Tuan Muda?" tanyaku dalam hati.

Bagaimana acara Ta'aruf  Tuan Muda?

Bersambung ...

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status