Share

Suamiku Pengangguran Akut
Suamiku Pengangguran Akut
Author: YeosinD

Guncangan Ekonomi

Farida berjalan ke dapur menghampiri wadah beras yang terlihat transparan. Hatinya merasa kacau saat menakar beras yang hanya tinggal setengah gelas.

Sayur dan lauk-pauk sudah habis sejak kemarin bahkan piring-piring kotor pun sudah menumpuk karena sabun pencuci piringnya sudah habis.

"Ya Allah sudah habis lagi berasnya, padahal baru dikasih sama ibu dua hari yang lalu."

Farida mencoba memutar otaknya untuk memanfaatkan beras yang hanya tinggal setengah gelas untuk bisa mereka makan pagi itu.

"Farida, mana kopi ku!" Teriak Adam, suaminya yang sudah duduk di teras sembari memberi makan burung kesayangannya.

Farida datang menghampiri Adam, tidak tangan kosong, Farida menunjukkan beras yang hanya tinggal setengah gelas di tangannya.

"Mas, lihat ini." Farida menyodorkan tangannya memperlihatkan beras di gelas yang terlihat tak penuh.

"Kita sudah nggak punya beras, Mas. Beras yang dikasih ibu kemarin sudah habis. Kamu kapan mau cari kerjaan."

Sebenarnya Farida sudah cukup sabar selama ini melihat suaminya pengangguran dan tidak berpenghasilan. Dia hanya mengandalkan kedua orang tuanya yang terlihat sedikit mapan hidupnya.

"Iya nanti," jawab Adam santai. Ia masih saja sibuk memberi makan burungnya dan membersihkan kandangnya.

"Nanti kapan, Mas. Kamu selalu saja bilang nanti tapi nggak pernah kamu lakukan. Kita kan nggak mungkin selalu minta beras dan uang sama ibu," kata Farida.

Adam yang mendengar perkataan Farida merasa kesal dan juga tak terima. Menurutnya dirinya sudah sangat berusaha mencari pekerjaan dengan bertanya pada teman-teman dekatnya.

Ia bangkit dan membanting wadah pakan burung ke atas meja yang ada di dekat mereka. Seketika pakan burung yang tadinya ada di dalam wadah pun berserakan.

"Kamu itu maunya apa sih, hah! Sebagai istri, kamu itu cuma bisa nuntut aku setiap hari. Kamu kan tahu aku sudah berusaha cari kerja. Kamu nggak buta, kan? Kamu lihat kan kalo aku udah usaha."

Wajah Adam memerah. Nada suaranya naik setengah oktaf memancing perhatian para tetangga yang sedang beraktivitas di depan rumah. 

Ada yang sedang menyapu halaman dan ada juga yang sedang menjemur pakaian. Semuanya langsung memusatkan pandangan pada Farida dan juga Adam.

"Mas, bisa nggak sih kalo kamu jangan teriak-teriak gitu ngomongnya. Malu mas diliat tetangga," kata Farida berbisik.

"Kenapa malu? Bukannya memang itu kenyataannya. Kamu itu jadi istri setiap hari cuma bisa nuntut aku terus."

Farida hanya bisa menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya ia bertengkar dengan suaminya karena masalah yang sama.

Sudah menjadi kebiasaan Adam selalu marah saat dirinya membahas tentang pekerjaan padahal yang Farida inginkan adalah Adam yang mencari pekerjaan bukannya hanya duduk di rumah dan sekedar bertanya pada teman-temannya.

"Mas, aku nggak pernah nuntut apa-apa dari kamu. Aku cuma pengen kamu cari kerja keluar mas, jangan hanya di dalam rumah dan mengandalkan teman-teman mu yang memberi pekerjaan."

"Oh apa ini sekarang? Apa kamu sekarang sudah berani menyuruh-nyuruh aku, hah! Apa kamu lupa kalo aku nggak kerja pun kita masih bisa makan kok. Keluargaku menanggung semua kebutuhan kita jadi kamu tenang saja."

"Bukan begitu, Mas. Aku cuma nggak mau aja kalo kita harus selalu bergantung pada orang tua. Kita kan sudah menikah jadi sudah seharusnya kita hidup mandiri," ujar Farida. Namun, lagi-lagi perkataan Farida tidak diterima dengan baik oleh Adam.

"Eh ada apa ini? Kok kamu marah-marahin anak saya," kata Nadia yang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka.

"Ibu," sapa Farida mengulurkan tangan untuk bersalaman pada ibu mertuanya yang datang ke rumah.

Namun, tangan Farida ditepis oleh Nadia dengan begitu kasar. "Ngga usah salam-salaman segala. Kamu ngapain marahin anak saya, hah!" Bentak Nadia yang langsung menghakimi Farida.

"A-aku nggak memarahi Mas Adam, Bu. Aku cuma ...."

"Halah sudahlah tidak usah beralasan lagi. Jelas-jelas aku melihatnya sendiri tadi kamu marah-marah sama anak saya." Mata Nadia melotot pada Farida, sementara Farida hanya bisa menunduk mengalah pada mertuanya.

"Aku nggak ngerti sama Farida, Bu. Dia selalu saja marah dan membahas aku yang nggak kerja padahal aku kan juga udah usaha," ucap Adam mengadu.

"Tuh, kamu dengar kan, Farida. Adam itu udah usaha kok jadi nggak perlu kamu marah-marah sama dia. Lagipula Adam nggak kerja juga ibu masih bisa biayain kalian kan. Harusnya kamu yang ngaca dan malu. Kamu itu cuma jadi beban aja buat Adam," kata Nadia.

"Beban? Maksud ibu apa?" tanya Farida.

"Ya beban. Kamu cuma minta dikasih makan dan diberi uang aja tiap bulan. Kalo kamu mau uang, ya kerja! Jangan cuma minta-minta sama suami aja."

Bagaikan disambar petir di pagi yang cerah. Farida tak menyangka jika ibu mertuanya akan berkata sekasar itu padanya. 

Entah bagaimana bisa dia mengatakan bahwa dirinya hanya seorang beban padahal dirinya adalah seorang istri yang memang wajib untuk dinafkahi oleh suaminya.

Seketika gelas berisikan beras yang ia pegang seolah akan terlepas dari tangannya. Seluruh syarafnya seakan melemas mendapat kalimat tamparan seperti itu dari ibu mertuanya.

"Itu apa yang kamu pegang? Apa beras kalian sudah habis lagi?" tanya Nadia melirik ke arah tangan Farida yang tengah memegang gelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status