Beranda / Romansa / Suamiku Polisi / Bawang Merah Bawang Putih

Share

Bawang Merah Bawang Putih

Penulis: Bintang Kejora
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-15 11:52:10

Suamiku Polisi

Part 4

"Aku bisa sangat tegas jika berhadapan dengan penjahat, akan tetapi aku seperti mati kutu berhadapan dengan Ibumu," begitu kata Bang Raja ketika kami bertemu keesokan harinya. 

"Kok mati kutu, Bang?" tanyaku kemudian. Saat itu lagi-lagi Bang Raja beli air mineral, kebetulan toko lagi sepi, kami bisa mengobrol. 

"Iya, Dina, aku gugup, tak bisa bicara tegas, dan maaf, ibumu aneh, bapakmu juga aneh."

"Aneh bagaimana?"

"Ibumu sudah tahu aku datang mau lamar kau, kan, masa dijodohkan dengan Mila?  Terus bapakmu kok diam saja, selalu ibumu yang bicara?" 

Ya, Bang Raja betul, keluargaku aneh, Ayah berubah jadi pendiam setelah tak bisa kerja lagi. Ayah seperti kehilangan semangat, penyakit sesak napas menggerogotinya. 

"Aku jadi berpikir Dina, mungkin kau anak tiri, atau anak pungut, maaf ya," kata Bang Raja. 

"Gak lah, Bang, aku bukan anak tiri, ada kok foto aku baru lahir, di akte juga ada nama Ayah dan mamak," jawabku. 

"Kok ada Ibu dan kakak seperti itu? Aku jadi teringat cerita bawang," 

"Bawang apaan, Bang," 

"Udah nanti kita lanjut, ada orang itu," kata Bang Raja seraya menunjuk orang yang di belakangnya.

Aku jadi berpikir, apa iya aku anak tiri, melihat wajah yang jauh berbeda dengan Kak Mila, sifat kami juga beda jauh, perlakuan Ibu juga beda, ini sudah pernah kutanya ke seorang ahli, katanya itu ciri khas anak kedua, selalu anak pertama yang paling disayang. 

Ketika sampai di rumah, Ayah sedang duduk di teras, aku duduk di dekatnya, ingin kutanya juga kecurigaan Bang Raja. 

"Ayah, apa aku anak tiri?" tanyaku langsung saja. 

"Ngomong apa kau, Dina?"

"Aku tanya apa aku anak tiri, barangkali aku anak pungut gitu," kataku lagi. 

"Tidaklah, Dina,"

"Lalu kenapa aku berbeda, Ayah, kenapa aku dibedakan?" tanyaku kemudian. 

"Tidak, Dina, Ayah tak pernah membedakan kalian," 

"Ayah memang tidak, tapi mamak?"

"Baiklah, Dina, Ayah akan cerita rahasia, mumpung mamak dan kakakmu lagi pergi," kata Ayah seraya menarik napas panjang. 

"Iya, Ayah, rahasia apa?"

"Jangan bilang mamakmu ya," 

"Iya, Ayah, janji,"

"Kau bukan anak tiri, Dina, yang anak tiri justru Mila," kata Ayah. 

"Wah, bagaimana bisa?"

"Ayah menikah dengan mamakmu dulu demi menyelamatkan mamak dari malu,"

"Maksudnya, Yah?"

"Mamakmu dulu punya pacar tentara, terus terlanjur, hamil, tentara itu tak mau tanggung jawab, karena masih saudara, Ayah mau nikahi mamakmu, tak Ayah apa-apain sampe lahir si Mila, Mila yang anak tiri Ayah," kata Ayah lagi. 

"Oh, begitu," 

"Jangan bilang mamak ya, Ayah mau cerita ini karena kau curiga," 

"Iya Yah, janji."

Ternyata ini jawaban dari perlakuan ibuku padaku selama ini, ibuku sama dengan Kak Mila, terobsesi dengan pria berseragam. Ah, aku tak akan kalah. 

Keesokan harinya, aku lebih cepat pergi kerja, aku ingin menghabiskan waktu dengan Bang Raja, tak akan kubiarkan dia digaet Kak Mila. Jam dua belas siang aku sudah datang, padahal aku masuk jam dua. 

"Tumben?" kata Bang Raja ketika aku datang menemuinya di Bank tempat dia kerja. 

"Aku mau makan siang sama Abang," kataku. 

"Oh, ayo," kata Bang Raja. 

Ayam Penyet di dekat bank itu jadi pilihan kami, tak lupa aku siaran langsung, niatku hanya satu, aku ingin Kak Mila melihat kalau aku pantas untuk Bang Raja, aku bisa jadi bhayangkari. 

"B R Siregar," kataku membaca nama di dada Bang Raja. 

'B R itu apa, Bang?" tanyaku. 

"Bangkit Raja,"

"Hahaha, Bangkit Raja Siregar?"

"Iya,"

"Aneh kali, kok Bangkit?"

"Itu nama pemberian opungku katanya biar gelar raja kami bangkit lagi, dulu keluargaku keturunan raja di desa,"

"Oh, kek bangkit dari kematian aja," 

"Dina, aku sudah bilang sama orang tuaku, mereka akan datang tiga minggu lagi, bagaimana dengan ibumu, nanti dia bilang harus Mila dilamar, kan orang tuaku nanti ikut bingung, sementara fotomu sudah kutunjukkan sama orang tua," kata Bang Raja. 

"Begini saja, Bang, besok aku off, Abang datang ke rumah pagi jam sembilan, ulangi lagi lamaran itu, tapi lamarnya sama ayah, tolong Bang, tunjukkan pada Kak Mila dan Ibu, kalau abang pilih aku," kataku kemudian. 

"Ok, aku ajak saudaraku ya," 

"Iya, Bang, terserah," kataku.

Keesokan paginya, aku sudah bersiap menanti kedatangan Bang Raja, sudah kuberitahu pada ayah. Ibu dan Kak Mila juga kuberitahu. Kak Mila dan Ibu jadi sibuk, pagi itu Ibu dan Kak Mila pergi ke salon, pulangnya sudah kek mau kondangan saja. Dalam hati aku tersenyum. Kali ini aku tak mau mengalah lagi. 

"Dina, jam berapa dia datang?" kata Kak Mila seraya membetulkan rambutnya. 

"Jam sembilan, Kak," 

"Oh," 

Ada dua motor masuk gang kecil menuju rumahku, suara motor ninja itu membuat aku deg-degan. Bang Raja datang bersama dua temannya yang sudah agak tua. Begitu masuk langsung salim ke Ayah dan Ibu. 

"Buatkan minum, Dina," perintah ibu. 

Aku ke dapur, mereka mulai bicara tanpaku, akan tetapi masih bicara basa-basi, aku mendengarnya. 

'Bukan Bang Raja ternyata yang bicara, tapi teman Bang Raja yang sudah agak tua. 

"Begini, Pak, kedatangan kami kemari hendak melamar putri Bapak yang bernama Dina Safitri, saya mewakili keluarga besar Raja Siregar melamar putri Bapak yang bernama Dina Safitri, Dina Safitri." entah itu suruhan Bang Raja, akan tetapi namaku sering kali diulang. 

"Tunggu sebentar," potong ibuku, sementara Kak Mila sudah munyun. 

"Maaf, Bu, kami bicara dengan Bapak sebagai kepala keluarga," kata pria itu lagi. 

'Heh mana bisa begitu," kata Ibu. 

"Memang begitu, Bu, kami bicara ke Bapak dulu," kata teman Bang Raja yang satu lagi. 

Ibuku terdiam. 

"Jadi bagaimana, Pak bolehkah putri Bapak yang bernama Dina Safitri kami jadikan menantu di rumah kami? Dina Safitri ya, Pak," kata teman Bang Raja lagi. 

"Kalau saya setuju, tapi semua berpulang ke Dina, apakah kau setuju Dina?" kata Ayah. 

"Tidak, dia tidak setuju, sebelum kakaknya nikah dia tak boleh nikah," Ibu yang menjawab. 

"Saya setuju," kataku seraya menunduk. 

"Dina!" bentak Ibu. 

"Maaf, Mak, kali ini aku tak tahu mau mengalah lagi." kataku. 

"Baiklah kalau begitu, sebagai tanda terima kasih kami, ini sebagai cendra mata, atau sebagai pengikat." kata pria itu lagi. 

Kemudian Bang Raja mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, ternyata cincin berlian. Dia hendak memakaikan ke jariku, akan tetapi Kak Mila malah merampas dari tangan Raja, kedua teman Bang Raja sampai geleng-geleng kepala. 

"Kemarin itu kau sudah setuju lamar aku, sekarang kenapa dia, kenapa?" kata Kak Mila. 

"Aku tak pernah bilang setuju, Mila," 

"Tapi kau Diam, diam berarti ya," kata Ibu. 

Aku berdiri, kurampas kembali cincin itu dari tangan Kak Mila. 

"Ini milikku," kataku seraya memasang cincin itu ke jari manis. 

Kak Mila menangis, dia pergi ke kamarnya seraya menghentakkan kaki. 

Bang Raja dan temannya pulang, ibu langsung memarahi Ayah. 

"Kenapa Ayah terima, kenapa, kan si Mila yang harus nikah duluan?" kata Ibu. 

"Maaf, Mak, si Mila aku tak berhak jadi walinya," kata Ayah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Polisi   Kak Mila Berubah

    Suamiku PolisiPembicaraan buntu, Kak Mila tetap bersikeras ibu harus dibawa ke tempatnya, sedangkan Bang Raja tidak bisa memenuhi, alasan Bang Raja, cutinya hanya empat hari, dan sudah diambil tiket pesawat pulang pergi Medan Balikpapan. "Udahlah, Bang, kita antar saja," kataku pada Bang Raja. "Dek, selain karena waktunya sempit, Abang kok masih kurang percaya pada Kak Mila," kata Bang Raja. "Mungkin benar Kak Mila sudah berubah, Bang, siapa tahu memang begitu, lagi pula mamak lebih baik mungkin tinggal di sana," kataku lagi. HP-ku bunyi lagi, ada panggilan dari Kak Mila, kukasih kepada Bang Raja, setelah lebih dulu aku menghidupkan speaker. "Raja, aku ganti tiket kalian, aku bayar biaya kalian ke mari, asal kalian bawa mamak, tolonglah, Raja, di sini ada pengobatan alternatif, mungkin mamak bisa sembuh," kata Kak Mila. "Udah kaya Kak Mila ya?" kata Bang Raja. "Alhamdulillah, suamiku pelaut, gajinya dua puluh jutaan sebulan," kata Kak Mila. "Baik, kalau gitu, kita tanya dulu

  • Suamiku Polisi   Menjemput Ibu

    Suamiku Polisi "Ke Kalimantan, Bang?" tanyaku memperjelas perkataan Bang Raja. Kalimantan itu bukan dekat, jauh sampai seberang pulau, bagaimana bisa kami akan ke sana, Bang Raja kan kerja? "Iya, Dek, Abang permisi dulu ke atasan, mungkin sudah bisa ambil cuti lagi," kata Bang Raja. Aku jadi terharu, Bang Raja mau bersusah payah sampai ke Kalimantan untuk menjemput ibuku, ibu yang sudah banyak menyakiti kami. Ibu yang telah membuat malu keluarga. Aku sangat bersyukur punya suami seperti ini. Tiga hari kemudian, Bang Raja dapat ijin khusus. Kami punya waktu empat hari menjemput ibuku ke Kalimantan. Anakku yang sudah hampir satu tahun juga kubawa. Tiket pesawat sudah dipesan, kami akan terbang dari Medan menuju Balik Papan. Tiba-tiba saja aku dapat telepon dari Kak Mila, baru kali ini dia menghubungiku semenjak pergi entah ke mana. "Dina, kenapa mamak viral begitu, kenapa mamak berada di Kalimantan?" tanpa basa-basi Kak Mila langsung membrondongku dengan berbagai pertanyaan. "Itu

  • Suamiku Polisi   Rasa

    "Rasa?" "Iya, Bu, tidak ada obatnya, ibu akan mati perlahan-lahan," kata Bu Paijah. Ya, Allah, aku jadi gemetar, kenapa aku bisa dapat penyakit seperti ini? segera kuteleppon Bang Raja. Kuceritakan apa yang kualami, Bang Raja pulang dan membawaku ke dokter. Setelah beberapa kali periksa, dokter bilang, aku sakit radang lambung, dokter tersebut juga memberikan resep. "Bang, Bu Paijah bilang aku kena rasa," kataku pada Bang Raja, ketika kami sampai di rumah. "Ah, mana mungkin, Dek, adek hanya radang lambung, minum obat nanti juga sembuh," kata Bang Raja. "Tapi, Bang," "Udah, Dek, istirahat saja dulu," kata Bang Raja. Ketika suami harus kerja lagi, aku minta Bu Paijah yang menemaniku di rumah. Aku juga ingin bertanya bagaimana rasa ini, apakah betul aku kena racun tak kasat mata. "Ini memang rasa, Bu, dokter memang tak bisa deteksi rasa, kalau Ibu mau, kupanggil dukun," kata Bu Paijah. "Aku menurut saja, tanpa sepengetahuan Bang Raja, kami memanggil dukun yang konon bisa mengob

  • Suamiku Polisi   Racun

    Hidup rasanya lebih tenang setelah kepergian Ibu dan Kak Mila, tak ada lagi yang menggangu. Ayah jadi makin sehat, benar juga kata orang, kesehatan itu berawal dari pikiran. Setelah cerai dengan ibu, ayah jadi tambah sehat. Di usianya yang sudah lima puluh enam tahun, beliau kelihatan makin semangat hidup, dan menjaga gaya hidup sehat."Kasihan Ayah, Dek?" kata Bang Raja di suatu malam, saat itu Ayah lagi duduk di teras, kami duduk di depan TV, sedangkan anakku sudah tidur. "Kasihan kenapa, Bang, Ayah makin sehat itu," kataku seraya makan camilan. "Lihat itu Ayah, pandangannya kosong beliau kesepian," kata Bang Raja. "Kesepian bagaimana, Ayah sudah lima puluh enam tahun lo, Bang," "Pria itu gak ada batasan umur, Dek, aku yakin Ayah masih butuh pendamping,""Ah, ada-ada saja, Abang," "Betul, Dek, kalau misalnya beliau minta kawin lagi, jangan larang ya," kata Bang Raja. "Gak mungkin, Bang, gak mungkin Ayah mau kawin lagi," jawabku seraya membuka HP.Akan tetapi pikiranku jadi ber

  • Suamiku Polisi   Kagum Pada Aparat (Pov Ibu Mila)

    Suamiku PolisiPov Diana (Ibu Mila) Semenjak kecil aku sangat kagum melihat lelaki berseragam. Mau itu polisi atau tentara aku sangat tertarik melihatnya. Sampai ketika remaja, aku selalu cari perhatian bila ada kenalan pria berseragam. Bagiku pria berseragam itu tampak seksi. Dalam hati aku bertekat harus punya suami polisi atau tentara. Adalah Rahmat, tentara muda yang baru bertugas di kotaku, dia tampan, hidung mancung. Aku tergila-gila padanya. Perkenalan kami ketika dia melatih baris berbarus di sekolahku. Kami langsung akrab dan menjalin hubungan, atau istilahnya pacaran. Selepas aku SMA, aku sedih, Bang Rahmat mau pindah tugas ke Papua. Aku takut sekali dia tinggalkan. Jadi timbul ide jahat, aku akan menyerahkan diriku padanya, dengan begitu mungkin dia akan segera menikah denganku, tak pergi lagi tugas ke Papua. Malam itu ketika dia apel ke rumah, aku lagi sendirian di rumah, Ayah dan Ibu sedang pergi kondangan. Aku dapat kesempatan, kurayu dia, tentu saja dengan mudah dia

  • Suamiku Polisi   Sejarah Terulang

    Suamiku PolisiPart 41"Mak, kenapa, Mak?" tanyaku pada ibu. Saat itu sengaja aku datang ke rumah nenek. Ingin kutahu apalagi motif ibuku kini, aku masih ragu ibu benar hamil, masih belum bisa diterima otakku, seorang ibu yang sudah punya cucu bisa pacaran dan hamil. "Mamak juga gak tau, Dina," kata ibu, matanya tampak sembab, mungkin habis menangis. "Masa sih gak tau, Mak? jadi hamil aja gitu tanpa berbuat?""Bukan begitu, Dina, mamak gak tau masih bisa hamil, mamak pikir gak akan bisa hamil lagi, wong sudah punya cucu,""Astagfirullah, Mak, siapa lelaki itu?" tanyaku lagi, seperti bertukar posisi rasanya, aku seperti seorang ibu yang memarahi putrinya. "Dia teman Ibu, dia masih dua puluh tahun,""Ya, Allah, dua puluh tahun?""Karena bukan kau itu, Dina, mamak kesepian, lima tahun puasa," Lagi-lagi aku hanya bisa istighfar, aku menyerah kini, semoga saja permohonan pindah tugas suami cepat disetujui, aku ingin pergi jauh. "Dina, bantu dulu mamak sekali ini lagi," kata Ibu lagi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status