Share

Empat

Author: Galuh Arum
last update Huling Na-update: 2021-09-24 17:51:10

Aku tak begitu percaya dengan apa yang dituturkan Mas Randi. Kesalahannya menolong orang tanpa berpikir panjang dan berkomunikasi denganku, istrinya. 

 

Munafik memanfaatkan nama orang yang sudah meninggal untuk kepentingan diri sendiri. Memang busuk pikiran Mas Rendy.

 

Lagi, pikiran ini kacau jika mengingat perkataan Ibu gadis itu kalau suamiku adalah seorang duda. Hati ini rapuh, hancur berkeping-keping. Kapan suamiku menceraikan aku? Bahkan ia sangat baik padaku.

 

“Tapi, tidak dengan mengaku sebagai duda, kan, Mas? Apa salahnya kamu bicarakan ini dahulu dengan aku.” Kutatap sinis pria dengan wajah memerah itu. 

 

“Aku takut kamu tidak setuju.” Alasan picik membuat ia semakin bodoh.

 

“Mas, hal seperti itu bukan perkara  setuju atau tidaknya. Tapi, ini masalah kenapa aku merasa kamu seperti menjadi sugar daddy bagi Citra.” Sengaja kukatakan hal itu agar ia sadar atas kesalahannya.

 

Jantung ini hampir berhenti akibat Mas Randi menghentikan laju mobil tiba-tiba. Dia menatapku dengan wajah memerah, entah apa yang dia pikirkan. Tangannya mengusap wajah kasar. Menoleh seolah-olah aku yang bersalah saat itu.

 

“Buang pikiran jelek itu. Aku bukan sugar daddy siapa-siapa. Aku hanya membantu.” Lagi, ia mencoba beralibi dan mengelak semua yang sudah jelas memang terjadi. 

 

“Bagaimana dengan status duda kamu?” tanyaku lagi. Kalau tidak salah dengar ibu gadis itu mengatakan suamiku duda. 

 

“Itu hanya salah paham. Mungkin istrinya alm. Pram salah paham.” Lagi-lagi dia berbohong padaku.

 

Salah paham dia bilang? Aku mengalah sejenak untuk menghilangkan penat. Rasa emosi yang tak terbendung harus aku jernihkan untuk mengatur strategi lain. Mencari kebenaran tentang semua ini. Mas Randi kembali melajukan mobil membelah jalan. Sementara, aku merasa begitu sesak kian menjalar di dada.

 

Aku memalingkan wajah, menatap jalanan yang dibanjiri air hujan. Mulut ini bungkam, sudah tak sanggup berkata menahan sesak di dada. Aku mengembuskan napas panjang, melirik sekilas pada suamiku yang tampak tenang mengemudi.

 

Kami bisa santai seperti itu setelah aku mengetahui kelakuan bejat kamu. Pintar sekali akting kamu, Mas. Apa yang kamu pikirkan? Apa aku sudah tak lagi muda? Apa daun muda itu lebih menggiurkan bagimu?

 

Entah, sampai saat ini semua yang ada di otak mulai terasa panas. 

 

--GaluhArum—

 

Sesampainya di rumah, Mas Randi langsung masuk ke kamar. Sudah menjadi kebiasaan setelah berpergian pasti dia akan mandi baru kembali berkumpul denganku dan Raka. Aku menghempaskan tubuh di sofa sembari memijit kening yang terasa pusing. 

 

Kupandangi foto pernikahan kami. Senyum bahagia itu kembali sirna, harusnya kami sebentar lagi merayakan hari pernikahan. Namun, apa yang ia berikan, kado sebelum hari itu datang.

 

Sebuah pengkhianatan yang begitu besar membuat jiwa ini begitu rapuh. 

 

“Ma, dari mana?” tanya Raka.

 

“Ada urusan sama teman, Ka.” Aku mencoba berbohong demi menutupi semua.

 

“Kok, pulang sama Papa?” Lagi, ia bertanya padaku.

 

“Iya, Mama minta jemput. Kepala Mama sakit lagi.” Aku mencari alasan agar Raka tak tahu apa yang aku lakukan tadi. Pasti dia marah besar jika tahu kejadian tadi.

 

“Mama lagi sakit, bandel pakai keluar segala. Emang nggak bisa ditunda urusannya?” Raka mengomel padaku. Mungkin ia mencemaskan mamanya hingga bersikap protektif.

 

“Nggak, Ka. Urgent.” Aku menjawab cepat.

 

“Urgent mana, sama kesehatan Mama?” Ia menatap penuh pertanyaan.

 

Aku bergeming. Pria kecil ini sudah dewasa dan pandai membuat aku menjadi merasa bahagia bercampur sedih. Dia putra kesayangan yang perhatian padaku melebihi pada dirinya sendiri. Ah ... semoga dia tidak menjadi seperti Mas Randi.

 

Detik ini, bulir bening mengalir begitu saja saat Raka memelukku. Sesaat masalah itu terlupakan, hanya ada tangis bahagia yang membuat aku merasa menjadi Ibu paling berharga. Dulu, pernah anak ini berkata, “Jika ada yang menyakiti Mama, katakan padaku, percaya orang itu akan Raka buat mati secara perlahan.”

 

Jika mengingat kalimat itu, sunggu aku sangat takut kehilangan Raka. Putraku dulu  berusia 12 tahun saja bisa berbicara seperti itu, apalagi sekarang jika dia tahu sebenarnya. Pasti ia akan membunuh papanya.

 

“Raka tidur dulu. Lelah seharian main basket. Mama jangan lupa minum vitamin, kalau sudah tidak kuat, kita keluar dari neraka ini,” ucapnya sembari berlalu. 

 

Sekilas aku melihat senyum itu, dada ini terasa sesak. Neraka? Apa Raka tahu apa yang terjadi saat ini? Ucapan dia seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pelan, tapi menghanyutkan. Yang kutakutkan jika dia marah, semuanya akan hancur. 

 

Baru saja melangkah, ponsel bergetar. Kuambil dari tas, benda pipih itu masih saja bergetar. Nama Tedy, detective yang aku bayar untuk mencari tahu semua tetang Citra.

 

[Jangan menelepon saya sekarang]

 

[Baik, Bu. Saya hanya ingin menyampaikan kalau Citra bersekolah di SMU Tunas Harapan.]

 

Bibir ini bergetar hebat. Sekolah itu adalah tempat Raka menimba ilmu, dan kenapa bisa di sana? Apa Mas Randi sengaja menempatkan Citra di sana? Atau memang gadis itu sudah terlebih dahulu bersekolah di sana? 

 

“Raka!"

 

Hampir saja aku jantungan saat tiba-tiba Mas Randi berteriak memanggil Raka dengan keras. Pintu kamar Raka di gedur sangat kencang hingga membuat aku terperanjat kaget. Ada apa ini? Kenapa suamiku terlihat marah besar?

 

“Keluar kamu anak kurang ajar!” teriak Mas Randi.

 

“Ada apa ini, Mas?” tanyaku heran.

 

“Keluar, kamu!”

 

Raka keluar dari kamar. Wajahnya sangat tenang menghadapi kemarahan Mas Randi. Hanya tatapan tajamnya yang disorotkan ke sang ayah.

 

“Ada apa ini, Mas?”

 

“Tanya saja sama anak kebanggan kamu!”

 

“Ada apa, Ka?”

 

“Ck! Pasti babynya sudah mengadu sampai sang sugar daddynya mengamuk. Salah atau benar ucapanku?”

 

Aku meringis saat tangan yang digunakan Mas Randi untuk mengelus rambut Raka, kini dia pergunakan untuk menampar buah hati kami. Reflek aku mendorong tubuh suamiku menjauh dari Raka. 

 

“Jangan pernah sentuh anakku!” 

 

“Biar, Ma. Biar dia puas memukul anak kandungnya. Saya muak lihat kelakuan munafik Anda! Menjijikan!”

 

Lagi, tamparan itu membuat hati ini sakit.

 

“Hentikan! Jangan sakiti anakku, atau aku laporkan kamu ke polisi, Mas.”

 

“Jadi kamu ngancam aku? Berani kamu sama aku?”

 

Tubuh ini jatuh tersungkur di lantai. Raka murka, aku mencoba menahan tubuh putraku. Namun, terlambat karena Raka sudah memukuli Mas Randi dengan emosi.

 

“Siapa yang bajingan di sini? Anda atau saya?!”

 

Mas Randi tergolek lemah. Luka lebam memenuhi wajahnya akibat hantaman demi hantaman yang diberikan Raka.

 

“Meniduri gadis seumuran saya, apa namanya kalau bukan biadab?”

 

Lututku lemas bagai tak bertulang. Jantung pun berdetak sangat kencang mendengar penuturan Raka. Meniduri gadis seumuran saya? Apa yang di maksud Raka adalah Citra? Tubuh ini luruh ke lantai, menangis sejadi-jadinya.

 

--GaluhArum--

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suamiku Sugar Daddy   Empat Puluh dua (End)

    "Sus, masih ada pasian nggak?" tanyaku pada suster Bella."Nggak ada Dokter.""Saya mau pulang, terimakasih, Sus.""Sama-sama."Aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Angel. Namun, merek semua tidak menemuiku di rumah sakit, melainkan menunggu di rumah. Bikin penasaran saja.Sengaja aku menemui dokter yang menangani Angel. Untung dia sedang tidak ada pasien jadi mau menemuiku dan sedikit berbincang. Katanya, tidak banyak yang berubah dari Angel. Jangan bersenang hati dahulu takutnya dia kembali depresi.Membuat hati Angel senang, itu yang akan aku lakukan. Karena hidup di dunia ini memang untuknya. Ah, bucin sekali aku semenjak tahu Angel audah sembuh, dan berimajinasi macam-macam. Termaksud, memiliki anak banyak darinya. Mungkin gara-gara Suster Bella tadi bicara seperti itu, membuat aku kepikiran.Gegas aku pulang ke rumah, tidak sabar untuk bertemu dengannya. Apalagi melakukan

  • Suamiku Sugar Daddy   Empat Puluh Satu

    "Kamu ikhlas, nggak, Ka?""Aku ikhlas, Lun. Sekarang pun kalau dia mau pergi, aku ikhlas."Bibir ini lancar sekali mengucapkan kata ikhlas. Namun, bagaimanapun aku pernah merasa menyesal memutuskan berpisah dengan Angel.Saat ini, apa aku harus menggenggam dia lebih lama dan mempertahankannya?"Aku bangga punya Abang kaya kamu ,Ka.""Bikin, ge-er, deh."Kami tertawa bersama, mengingat masalah yang akan kuhadapi nanti, aku pun pasrah. Mungkin akan ada penolakan dari Angel nanti. Lebih baik kau kembali ke kamar, tapi kamar siapa?Aku menggaruk leher, bagaimana aku bisa lupa kalau Angel seperti mengusir tadi. Aku berada di sini pun karena Angel.Tidak mungkin aku tidur di kamar Luna atau Mama. Bisa-bisa mereka mentertawakan aku."Ke kamar kamu saja, jelaskan padanya. Toh, nanti pun kamu pasti akan menjelaskannya."Saran dari Luna membuat aku sadar.

  • Suamiku Sugar Daddy   Empat Puluh

    Mama bertanya kembali apa aku mau tinggal bersama mereka. Mama bisa membantu Ibunya Angel dalam merawat Angel. Namun, aku ragu, karena Angel masih suka histeris dan menyerang.Jika kutolak, Mama pasti sedih. Ia menginginkan aku tetap bersamanya. Sepertinya aku harus meminta pendapat pada Ibu mertuaku, juga Om Hendri jika aku tinggal di sana dengan kodisi istriku yang seperti ini."Kondisi Angel belum stabil, apa tidak akan menggangu kalian?" tanyaku diikuti anggukan Ibu mertua."Nggak, Ka. Kita bantu Angel bersama, Mama mau kalian bahagia secepatnya." Penuturan Mama mambuat aku tersentuh.Aku melirik Om Hendri, seolah meminta pendapatnya. Pria berjas hitam itu tersenyum dan memberikan anggukan tanda dirinya juga setuju dengan permintaan Mama."Demi kebahagiaan kamu, Ka. Mama rela melakukan apa pun, Mama tahu kamu mencintai Angel. Seharusnya Mama mendukung kamu dalam proses menyembuhkannya."Lagi, Mama membuat ak

  • Suamiku Sugar Daddy   Tiga Puluh Sembilan

    "Sah." Kalimat itu menggema beberapa jam lalu, disaksikan beberapa orang dari keluarga dan tetangga sekitar rumah Angel. Mereka menyaksikan acara sakral kami.Mama akhirnya menerima pernikahanku dengan Angel. Diiringi isak tangis, ia memelukku erat. Aku tahu ia kecewa, tetapi ini pilihan, dan jalanku. Tidak ada resepsi pernikahan, hanya ada akad biasa yang setelah itu selasai setelah ijab kabul.Mama masih bisa memberikan senyum pada ibunya Angel. Ia pintar menyembunyikan perasaan, dan menjaga perasaan orang lain. Tidak seperti sinetron, dia bersikap tenang, seolah memang ia menerima pernikahan ini dengan ikhlas.Semalam ia menyerah dan memberikan restunya. Ia bilang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Kini, aku harus berjuang sebagai seorang suami. Mengembalikan Angel seperti dulu. Menyembuhkan depresi yang dialaminya.Dengan balutan kebaya putih, ia terlihat san

  • Suamiku Sugar Daddy   Tiga Puluh delapan

    Malati bangkit, tetapi cepat aku menarik lengannya meminta ia kembali duduk, untuk mendengarkan penjelasanku. Bola matanya memutar malas, ya, aku tahu kesalahan membuat wanita berprasangka tidak baik.Seperti yang dikatakan Mama, jangan memberikan seseorang harapan jika kita tidak bisa memberikannya kepada dia. Ah, mumet urusannya."Mel, dengerin aku, ya. Maaf, sebelumnya telah membuat kamu merasa aku memberikan perhatian lebih. Jujur, aku tertarik denganmu. Namun, semuanya tidak bertahan, karena aku masih mencintai Angel.""Laki-laki memang semua buaya. Karena suaminya tidak ada, dan dia tidak sadar, kan? Kamu memanfaatkan keadaan saat Angel sakit? Iya, kan?""Aku nggak seperti yang kamu bicarakan. Aku sungguh mencintai Angel. Aku mau dia sembuh, masalah dia setelah sembuh mau bersamaku atau tidak, aku ikhlas.""Bulsyit,mana ada orang seperti itu. Ka, aku nggak kenal sama kamu, dan sampai saat ini, aku tida

  • Suamiku Sugar Daddy   Tiga Puluh Tujuh

    Mama memintaku untuk berpikir ulang menikahi Angel. Namun, aku tetep pada pendirian awal untuk meminang Angel menjadi istriku.Hari ini sengaja aku datang ke rumah Papa untuk meminta pendapatnya. Apa sama dengan yang mama pikirkan atau berbeda. Sudah lama sekali aku tidak meminta pendapat pria yang begitu lama aku musuhi."Pa, aku ingin bicara, bisa?""Raka, kapan datang?""Tadi, Pa. Papa asik menonton TV.""Iya, sampai nggak tahu kamu datang. Bicara apa?""Sebenernya bukan bicara, tapi meminta saran.""Duduk sini."Papa menepuk sofa meminta aku untuk duduk di sampingnya. Aku menghampirinya dan menghempaskan tubuh ini. Film yang ia tonton tidak berubah. Tetap suka denganaction.Raut wajahnya sudah terlihat sangat tua. Namun, sudah lebih segar dari waktu ia bertemu denganku. Mungkin benar kata Budhe Airin, obat kesehatan Papa adalah aku. Bertemu dengan anaknya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status