Share

Empat

Aku tak begitu percaya dengan apa yang dituturkan Mas Randi. Kesalahannya menolong orang tanpa berpikir panjang dan berkomunikasi denganku, istrinya. 

 

Munafik memanfaatkan nama orang yang sudah meninggal untuk kepentingan diri sendiri. Memang busuk pikiran Mas Rendy.

 

Lagi, pikiran ini kacau jika mengingat perkataan Ibu gadis itu kalau suamiku adalah seorang duda. Hati ini rapuh, hancur berkeping-keping. Kapan suamiku menceraikan aku? Bahkan ia sangat baik padaku.

 

“Tapi, tidak dengan mengaku sebagai duda, kan, Mas? Apa salahnya kamu bicarakan ini dahulu dengan aku.” Kutatap sinis pria dengan wajah memerah itu. 

 

“Aku takut kamu tidak setuju.” Alasan picik membuat ia semakin bodoh.

 

“Mas, hal seperti itu bukan perkara  setuju atau tidaknya. Tapi, ini masalah kenapa aku merasa kamu seperti menjadi sugar daddy bagi Citra.” Sengaja kukatakan hal itu agar ia sadar atas kesalahannya.

 

Jantung ini hampir berhenti akibat Mas Randi menghentikan laju mobil tiba-tiba. Dia menatapku dengan wajah memerah, entah apa yang dia pikirkan. Tangannya mengusap wajah kasar. Menoleh seolah-olah aku yang bersalah saat itu.

 

“Buang pikiran jelek itu. Aku bukan sugar daddy siapa-siapa. Aku hanya membantu.” Lagi, ia mencoba beralibi dan mengelak semua yang sudah jelas memang terjadi. 

 

“Bagaimana dengan status duda kamu?” tanyaku lagi. Kalau tidak salah dengar ibu gadis itu mengatakan suamiku duda. 

 

“Itu hanya salah paham. Mungkin istrinya alm. Pram salah paham.” Lagi-lagi dia berbohong padaku.

 

Salah paham dia bilang? Aku mengalah sejenak untuk menghilangkan penat. Rasa emosi yang tak terbendung harus aku jernihkan untuk mengatur strategi lain. Mencari kebenaran tentang semua ini. Mas Randi kembali melajukan mobil membelah jalan. Sementara, aku merasa begitu sesak kian menjalar di dada.

 

Aku memalingkan wajah, menatap jalanan yang dibanjiri air hujan. Mulut ini bungkam, sudah tak sanggup berkata menahan sesak di dada. Aku mengembuskan napas panjang, melirik sekilas pada suamiku yang tampak tenang mengemudi.

 

Kami bisa santai seperti itu setelah aku mengetahui kelakuan bejat kamu. Pintar sekali akting kamu, Mas. Apa yang kamu pikirkan? Apa aku sudah tak lagi muda? Apa daun muda itu lebih menggiurkan bagimu?

 

Entah, sampai saat ini semua yang ada di otak mulai terasa panas. 

 

--GaluhArum—

 

Sesampainya di rumah, Mas Randi langsung masuk ke kamar. Sudah menjadi kebiasaan setelah berpergian pasti dia akan mandi baru kembali berkumpul denganku dan Raka. Aku menghempaskan tubuh di sofa sembari memijit kening yang terasa pusing. 

 

Kupandangi foto pernikahan kami. Senyum bahagia itu kembali sirna, harusnya kami sebentar lagi merayakan hari pernikahan. Namun, apa yang ia berikan, kado sebelum hari itu datang.

 

Sebuah pengkhianatan yang begitu besar membuat jiwa ini begitu rapuh. 

 

“Ma, dari mana?” tanya Raka.

 

“Ada urusan sama teman, Ka.” Aku mencoba berbohong demi menutupi semua.

 

“Kok, pulang sama Papa?” Lagi, ia bertanya padaku.

 

“Iya, Mama minta jemput. Kepala Mama sakit lagi.” Aku mencari alasan agar Raka tak tahu apa yang aku lakukan tadi. Pasti dia marah besar jika tahu kejadian tadi.

 

“Mama lagi sakit, bandel pakai keluar segala. Emang nggak bisa ditunda urusannya?” Raka mengomel padaku. Mungkin ia mencemaskan mamanya hingga bersikap protektif.

 

“Nggak, Ka. Urgent.” Aku menjawab cepat.

 

“Urgent mana, sama kesehatan Mama?” Ia menatap penuh pertanyaan.

 

Aku bergeming. Pria kecil ini sudah dewasa dan pandai membuat aku menjadi merasa bahagia bercampur sedih. Dia putra kesayangan yang perhatian padaku melebihi pada dirinya sendiri. Ah ... semoga dia tidak menjadi seperti Mas Randi.

 

Detik ini, bulir bening mengalir begitu saja saat Raka memelukku. Sesaat masalah itu terlupakan, hanya ada tangis bahagia yang membuat aku merasa menjadi Ibu paling berharga. Dulu, pernah anak ini berkata, “Jika ada yang menyakiti Mama, katakan padaku, percaya orang itu akan Raka buat mati secara perlahan.”

 

Jika mengingat kalimat itu, sunggu aku sangat takut kehilangan Raka. Putraku dulu  berusia 12 tahun saja bisa berbicara seperti itu, apalagi sekarang jika dia tahu sebenarnya. Pasti ia akan membunuh papanya.

 

“Raka tidur dulu. Lelah seharian main basket. Mama jangan lupa minum vitamin, kalau sudah tidak kuat, kita keluar dari neraka ini,” ucapnya sembari berlalu. 

 

Sekilas aku melihat senyum itu, dada ini terasa sesak. Neraka? Apa Raka tahu apa yang terjadi saat ini? Ucapan dia seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pelan, tapi menghanyutkan. Yang kutakutkan jika dia marah, semuanya akan hancur. 

 

Baru saja melangkah, ponsel bergetar. Kuambil dari tas, benda pipih itu masih saja bergetar. Nama Tedy, detective yang aku bayar untuk mencari tahu semua tetang Citra.

 

[Jangan menelepon saya sekarang]

 

[Baik, Bu. Saya hanya ingin menyampaikan kalau Citra bersekolah di SMU Tunas Harapan.]

 

Bibir ini bergetar hebat. Sekolah itu adalah tempat Raka menimba ilmu, dan kenapa bisa di sana? Apa Mas Randi sengaja menempatkan Citra di sana? Atau memang gadis itu sudah terlebih dahulu bersekolah di sana? 

 

“Raka!"

 

Hampir saja aku jantungan saat tiba-tiba Mas Randi berteriak memanggil Raka dengan keras. Pintu kamar Raka di gedur sangat kencang hingga membuat aku terperanjat kaget. Ada apa ini? Kenapa suamiku terlihat marah besar?

 

“Keluar kamu anak kurang ajar!” teriak Mas Randi.

 

“Ada apa ini, Mas?” tanyaku heran.

 

“Keluar, kamu!”

 

Raka keluar dari kamar. Wajahnya sangat tenang menghadapi kemarahan Mas Randi. Hanya tatapan tajamnya yang disorotkan ke sang ayah.

 

“Ada apa ini, Mas?”

 

“Tanya saja sama anak kebanggan kamu!”

 

“Ada apa, Ka?”

 

“Ck! Pasti babynya sudah mengadu sampai sang sugar daddynya mengamuk. Salah atau benar ucapanku?”

 

Aku meringis saat tangan yang digunakan Mas Randi untuk mengelus rambut Raka, kini dia pergunakan untuk menampar buah hati kami. Reflek aku mendorong tubuh suamiku menjauh dari Raka. 

 

“Jangan pernah sentuh anakku!” 

 

“Biar, Ma. Biar dia puas memukul anak kandungnya. Saya muak lihat kelakuan munafik Anda! Menjijikan!”

 

Lagi, tamparan itu membuat hati ini sakit.

 

“Hentikan! Jangan sakiti anakku, atau aku laporkan kamu ke polisi, Mas.”

 

“Jadi kamu ngancam aku? Berani kamu sama aku?”

 

Tubuh ini jatuh tersungkur di lantai. Raka murka, aku mencoba menahan tubuh putraku. Namun, terlambat karena Raka sudah memukuli Mas Randi dengan emosi.

 

“Siapa yang bajingan di sini? Anda atau saya?!”

 

Mas Randi tergolek lemah. Luka lebam memenuhi wajahnya akibat hantaman demi hantaman yang diberikan Raka.

 

“Meniduri gadis seumuran saya, apa namanya kalau bukan biadab?”

 

Lututku lemas bagai tak bertulang. Jantung pun berdetak sangat kencang mendengar penuturan Raka. Meniduri gadis seumuran saya? Apa yang di maksud Raka adalah Citra? Tubuh ini luruh ke lantai, menangis sejadi-jadinya.

 

--GaluhArum--

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status