Share

Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening
Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening
Author: Rini Annisa

Mencuri

Author: Rini Annisa
last update Last Updated: 2024-10-05 12:48:17

"Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasku menadahkan tangan.

"Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," sembur suamiku acuh.

"Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhku kesal.

"Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentaknya seraya berlalu.

Begitulah Mas Doni bila dimintai uang untuk kebutuhan anak. Dia sama sekali tidak peduli kesulitanku mengatur uang tiap bulan. Taunya hanya marah-marah dan mengataiku boros.

Selain tidak mencukupi, perangai mertua juga membuatku pusing. Aku tau Mas doni sudah menjatah ibunya sebesar satu juta tapi tetap saja masih memalak uang belanjaku.

Suamiku juga tidak percaya bila aku mengatakan soal ibunya. Kalo aku tidak memberinya, mertua pasti akan mengacak-acak lemari untuk menemukan u ang yang kusimpan.

Pernah suatu hari, aku yang baru pulang belanja mendapati kamar dalam keadaan berantakan. Baju yang sudah tersusun rapi berhamburan keluar dan berserak di tempat tidur dan lantai.

Aku pikir itu perbuatan maling sampai tetanggaku si Lina memgatakan kalo mertuaku lah dalangnya. Sebelumnya aku memang menceritakan pada Lina tentang keadaan kamar, siapa tau dia melihat sesuatu. Tapi tak disangka bila mertuaku pelakunya.

"Mulai sekarang kamu hati-hati bila menyimpan uang, Ra! Kalo dibiarkan mertuamu semakin ngelunjak nanti," ucap Lina menepuk bahuku.

"Iya, Lin. Walaupun u ang itu nggak banyak tapi tetap aja sangat dibutuhkan. Apalagi suamiku nggak mau tau lagi, aku sungguh pusing," jawabku menghembuskan napas kasar.

Dari situ aku lebih berhati-hati menyimpan u ang, tidak mau kecolongan lagi aku pun inisiatif memasang cctv kecil yang kuletakkan di tempat tersembunyi. Baik mertua atau suamiku tidak akan mengetahuinya.

"Bu, minum susu!" rengek Nia kala bangun tidur tidak lama setelah Mas Doni pergi.

"Susu udah habis, Nak! Ayah belum beli, Nia minum teh manis dulu ya," bujukku sambil mengusap kepalanya.

Nia mengangguk, sebenarnya anak perempuanku itu tidak rewel. Tapi sebagai ibu aku tetap saja sedih tidak bisa memenuhi kebutuhannya yang masih balita.

Setelah membuatkan Nia teh manis, dia minum sambil menonton kartun kesukaannya. Aku melanjutkan bisnis yang aku sembunyikan dari Mas Doni. Ya diam-diam aku jadi penulis di platform berbayar yang sedang hits di tanah air.

Awalnya aku masih coba-coba, tidak disangka ceritaku laris. Pembaca membludak di bulan ke empat. Total penghasilanku yang tersimpan selama empat bulan sebesar 100 juta.

Di bulan pertama mendapat gaji, aku membuka rekening di bank tanpa ATM. Aku simpan buku rekening di rumah ibu, tanpa Mas Doni tau aku sering pulang.

Suamiku tidak pernah mau ikut bila kuajak ke rumah ibuku. Itulah yang membuatku aman membuka rekening. U ang itu tidak pernah kuambil, untuk jaga-jaga kalo suatu hari nanti Mas Doni berulah.

Baru saja menyelesaikan menulis cerita dan mengirim ke aplikasi, suara motor Mas Doni terdengar. Cepat-cepat aku menyimpan ponsel dan berpura-pura menonton televisi menemani Nia.

"Eh, anak Ayah udah bangun!" serunya setelah masuk dan mengecup pipi Nia.

Aku hanya diam melihatnya, malas untuk bertengkar lagi. Nia menunjukkan botol kosong di samping pada Ayahnya. "Nia sudah minum teh manis, kata ibu Ayah belum beli susu Nia," ucapnya polos kemudian beralih ke kartun lagi.

Mas Doni menatapku tajam. "Kamu ngomong apa sama Nia? Masih kecil udah diajari berbohong."

"Siapa yang berbohong, Mas? Tadi Nia merengek minta susu jadi ya aku bilang kalo Mas belum beli," balasku acuh dan kembali menatap televisi.

"Makanya kamu jangan boros, seharusnya lima ratus itu cukup untuk semua," sergah Mas Doni lagi-lagi masih ngotot.

Aku diam, malas menjawab itu-itu saja yang dikatakannya. "Amira, kamu dengar nggak Mas ngomong?" hardiknya dengan nada tinggi.

Nia yang terkejut menoleh pada ayahnya lalu gegas aku peluk. "Pelankan suara kamu, Mas! Nia sampai kaget," sentakku.

Aku mengajak Nia ke dalam kamar agar tidak mendengar keributan ini lagi. "Ayo, Nia main di kamar aja ya Nak!"

Walaupun sedikit tidak mengerti, Nia menurut. Setelah masuk aku menutup pintu dari luar.

"Apa, Mas? Kamu mau ngomong apa, silakan!" tantangku.

"Ah, sudahlah! Kamu nggak becus jadi istri, sia-sia Mas nikahi kamu. Mengatur uang aja nggak bisa, dasar nggak tau diri," umpatnya mendecih.

"Siapa yang nggak tau diri, Mas? Aku atau Mas atau ibumu yang terus mencuri u angku," sahutku tak mau kalah.

"Apa kamu bilang, ibu mencuri? Jangan fitnah kamu ya," ujarnya mulai emosi. Aku tau Mas Doni pasti tidak terima dikatakan ibunya pencuri.

Terlihat Mas Doni mengatupkan rahangnya seraya akan mengangkat tangan tapi segera aku tepis dan menuding jariku.

"Sebelum Mas menamparku ada baiknya kamu lihat sendiri kelakuan ibumu. Aku punya buktinya Mas," kataku berapi-api lalu mengambil ponsel dan membuka video yang tersambung dari cctv.

Mata Mas Doni terbelalak setelah melihatnya, dadanya kembang kempis menahan sesak. Tak lama tubuhnya merosot, lemas.

~~~~~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Pernikahan bahagia (TAMAT)

    "Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Mengantar undangan

    Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Lamaran

    Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Bagas pulang

    "Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Nia rindu Mas Kevin

    "Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Gaji terakhir Mang Asep

    "Ayah? Ibu nggak lihat, sayang! Mana ayah?" tanyaku pura-pura celingukan. Sengaja aku seperti itu agar Nia merasa salah lihat. "Tadi di citu!" tunjuknya cemberut. Aku menatap Mas Kevin agar mau membujuk Nia lagi. Lelaki itu menyuruhku sabar dan tersenyum. Untuk mengalihkan perhatian anakku, setelah turun dari komedi putar Mas Kevin mengajak kami membeli es krim. Nia kembali ceria dan bersorak. Dia memang demen sekali es krim, bila di rumah ada kang es lewat pasti sibuk manggil dan lari mengejar. "Makannya pelan-pelan, mulutnya penuh es gini," ucapku cekikan sembari mengambil tisu dan mengelap mulut Nia. "Tadi benar ada Doni, Nduk? Ibu dengar Nia manggil ayahnya," tanya ibu lirih. "Iya, Bu! Tapi nggak lama menghilang seperti nggak mau ketemu Nia. Lagian Mas Doni nggak sendiri, ada anak kecil dan perempuan bersamanya," jawabku terbayang kembali. "Siapa perempuan itu?" "Amira nggak tau, Bu! Bukan si Winda yang kemarin. Mungkin pacarnya yang baru," ujarku mengedikkan bahu. Apa kab

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status