Share

Pergi

Penulis: Rini Annisa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-08 21:28:29

"Nggak, nggak mungkin ibu lakukan itu. Fitnah, kamu pasti mengedit video itu kan, Amira," kukuh Mas Doni masih tidak percaya juga.

"Fitnah gimana, Mas? Sudah jelas bahkan sangat jelas di video itu ibumu mengambil u angku diam-diam sampai baju semua dibongkar. Mas lihat lagi atau mata Mas udah rabun," ujarku meledek.

Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Jelas-jelas dia sudah melihat video yang berdurasi sepuluh menit itu masih juga menyangkal kalo aku mengeditnya.

Untuk beberapa saat Mas Doni terdiam, terkadang menunduk kemudian menyugar rambutnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menadahkan tangannya.

"Sini ponselmu!" katanya kasar.

"Untuk apa, Mas?" tanyaku heran sambil menggenggam kantong tempat ponsel kusimpan dan mundur. Jangan sampai Mas Doni mengotak atik dalamnya, bisnisku bisa ketahuan.

"Jangan banyak tanya, sini!" ujarnya sambil mengambil paksa dari kantong. Dengan sekuat tenaga aku tetap memegang erat sampai kami bergumul rebutan ponsel. Hingga aku tergelatak di lantai dalam posisi ditindih Mas Doni.

"Amira, jangan melawan kamu kalo nggak mau terluka!" hardiknya ingin memukul, refleks tangan aku silangkan untuk melindungi wajahku. Kalah, akhirnya ponsel itu berhasil diambil Mas Doni.

Terdengar suara tangisan Nia yang aku kunci di kamar. Mas Doni bangun dan benar fokusnya hanya ponsel tapi bibirku menyunggingkan senyum. Sampai kiamat pun dia tidak akan bisa membuka ponsel karena aku kunci dengan sandi rahasia.

Terlihat Mas Doni sudah mulai kesal dan berkali-kali dicobanya menekan tombol. "Amira, apa sandinya cepat!"

Aku mengedikan bahu tanda tidak peduli. "Memangnya untuk apa Mas tau?"

"Mas mau menghapus video ibu, nanti kamu sebar kemana-mana buat malu aja," ketusnya.

"Terserah aku, bahkan bisa aku laporkan ke polisi biar ibumu nggak mencuri lagi!" ancamku.

Setelah mengucapkan itu aku langsung masuk kamar karena Nia terus menggedor pintu ingin keluar. Sampai di dalam kupeluk putriku untuk menenangkan sambil mengelap keringat dan ingusnya yang keluar dari hidung.

"Anak baik, maafkan ibu ya!" ucapku menggendong dan mengelus bahu Nia. Kasihan putriku sampai sesenggukan begini.

Saat masih menenangkan Nia, aku terkejut mendengar suara benda jatuh. Gegas keluar dan shock melihat ponselku sudah hancur berkeping-keping di lantai.

"Mas, ya Allah! Kenapa ponselku jadi begini?" tanyaku sambil mengumpulkan pecahan benda yang sudah berjasa bagiku itu.

"Sekarang Mas puas, siapa suruh kamu nggak mau kasih sandinya. Jadi, Mas hancurkan aja sekalian dan video itu terhapus. Selesai 'kan!" ujarnya tersenyum menyeringai.

"Kalo gitu ganti ponselku," kataku marah dan melempar pecahan tadi ke arah suamiku.

"Ada apa ribut-ribut ini dan kamu Amira, astaga! Kenapa kamu melempar Doni? Dasar istri durhaka!" celetuk mertua tiba-tiba saja sudah muncul.

Aku tidak kaget bila mertuaku datang, soalnya tidak biasanya dia kemari kecuali ingin mengambil uangku diam-diam. Tapi ternyata malah menemukanku bertengkar dengan anaknya.

"Kenapa, Bu? Ibu kemari pasti ingin mencuri 'kan," ucapku meledek.

"Apa maksudmu, Amira? Ibu mencuri apa?" tanyanya pura-pura tapi terlihat ekspresinya sedikit kaget.

"Tanya aja sama Mas Doni, dia juga melihat kalo selama ini ibu sudah mencuri uangku saat aku nggak di rumah. Padahal ibu sudah dijatah tapi tetap saja mengambil hakku!"

Ibu berpaling menatap anaknya. "Benar itu, Don? Kamu percaya yang dibilang Amira?"

Mas Doni menggeleng, huh kenapa dia tidak mengaku kalo baru saja mengetahui.

"Kamu lihat, Amira. Doni aja nggak percaya, jadi jangan asal nuduh kamu kalo nggak ada buktinya. Kualat sama orang tua," sindir mertua mendecih.

"Buktinya ada dalam ponselku, Bu! Lihat ini perbuatan Mas Doni menghancurkan ini demi menghapus video ibu. Karena itu aku melempar agar anak ibu mau menggantinya," jawabku tak mau kalah.

"Halah, nggak usah ganti Don! Untuk apa kamu punya ponsel, ngabisi duit anakku aja beli pulsa. Lagian kerjamu cuma mengurus Nia jadi nggak perlu pakai-pakai ponsel segala," ujarnya sewot.

Sebenarnya aku nggak masalah kalo Mas Doni tidak mengganti, toh aku masih bisa beli sendiri yang lebih bagus dari suamiku. Tapi karena di ponsel itu semua bisnisku berasal, maka aku harus mengulang lagi.

Aku meninggalkan mereka di ruang tamu dan masuk kamar. Mengemas beberapa pakaian, tujuanku cuma satu yaitu ke rumah ibu. Aku harus secepatnya membeli ponsel dan mengembalikan bisnisku semula.

"Mau kemana kamu?" tanya Mas Doni saat melihatku menenteng tas sambi menggendong Nia.

"Mau ke rumah ibuku, kenapa Mas mau ikut?" tawarku yang pasti aku tau tidak akan mau suamiku itu ikut.

"Biarkan aja dia ke rumah ibunya, Don! Palingan mau mengadu dia. Di sini pun bikin pusing," sahut mertuaku mencibir.

"Ya sudah, kamu pergi aja. Tapi awas kalo kamu mengadu, Mas akan menceraikanmu!" ancamnya.

Aku terkejut, secara tidak langsung Mas Doni sudah menalakku dengan mengatakan itu. Tak terasa air mataku jatuh setetes tapi langsung aku hapus dan masuk kembali ke kamar.

"Heh, kenapa masuk lagi? Nggak berani kamu pergi 'kan!" seru mertuaku kembali meledek.

Mereka hanya tidak tau, aku kembali masuk untuk membawa koper berisi pakaian. Untuk apalagi aku di sini kalo Mas Doni sudah menjatuhkan talak.

Keduanya melongo melihatku menyeret koper. "Aku pergi, Mas! Terima kasih sudah menjadi suamiku dan Nia aku bawa karena dia masih butuh aku."

"Apa maksudmu, Amira? Bukankah kamu hanya pergi ke rumah ibumu?"

Pertanyaan Mas Doni menghentikan langkahku dan menoleh. Terlihat wajah tidak mengertinya akan sikapku. Aku menghembuskan napas kasar.

"Apa Mas nggak sadar tadi sudah mengatakan akan menceraikanku? Secara halus Mas sudah menjatuhkan talak padaku, jadi buat apalagi aku di sini," dengusku kesal.

"Amira, Mas nggak bermaksud seperti itu?"

"Cukup, Mas! Aku sudah capek, Mas selalu aja membela ibu. Bagaimanapun perlakuan ibu Mas tetap aja menyalahkanku. Jadi, nggak ada gunanya lagi aku sebagai istrimu. Aku pergi!" ucapku kembali melangkah.

"Amira, selangkah kamu keluar dari pintu maka jangan kembali lagi kesini selamanya!" ancam Mas Doni tapi aku tetap kukuh melanjutkan dan baru saja kakiku di ambang pintu terdengar ocehan mertua.

"Biar saja dia pergi, Don! Ibu yakin Amira nggak akan bisa hidup tanpamu. Orang susah seperti dia pasti sulit mengurus anaknya sendiri, tenang aja nggak lama dia pasti balik kesini lagi."

Bibirku menyungging tepatnya menyeringai. Kita akan buktikan mertua, siapa yang hidupnya akan kesulitan kelak. Aku atau anakmu, tunggu saja!

~~~~~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Pernikahan bahagia (TAMAT)

    "Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Mengantar undangan

    Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Lamaran

    Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Bagas pulang

    "Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Nia rindu Mas Kevin

    "Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "

  • Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening   Gaji terakhir Mang Asep

    "Ayah? Ibu nggak lihat, sayang! Mana ayah?" tanyaku pura-pura celingukan. Sengaja aku seperti itu agar Nia merasa salah lihat. "Tadi di citu!" tunjuknya cemberut. Aku menatap Mas Kevin agar mau membujuk Nia lagi. Lelaki itu menyuruhku sabar dan tersenyum. Untuk mengalihkan perhatian anakku, setelah turun dari komedi putar Mas Kevin mengajak kami membeli es krim. Nia kembali ceria dan bersorak. Dia memang demen sekali es krim, bila di rumah ada kang es lewat pasti sibuk manggil dan lari mengejar. "Makannya pelan-pelan, mulutnya penuh es gini," ucapku cekikan sembari mengambil tisu dan mengelap mulut Nia. "Tadi benar ada Doni, Nduk? Ibu dengar Nia manggil ayahnya," tanya ibu lirih. "Iya, Bu! Tapi nggak lama menghilang seperti nggak mau ketemu Nia. Lagian Mas Doni nggak sendiri, ada anak kecil dan perempuan bersamanya," jawabku terbayang kembali. "Siapa perempuan itu?" "Amira nggak tau, Bu! Bukan si Winda yang kemarin. Mungkin pacarnya yang baru," ujarku mengedikkan bahu. Apa kab

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status