Aku mengangkat satu ujung bibir. Dasar tukang selingkuh, lihat ada Abraham tidur di dalam rumahku saja sudah marah-marah dan langsung menuduhku main serong. Padahalkan ada Andita juga di rumah ini. Kalau tidak ada dia, mana berani aku mengizinkan Abraham tidur seatap denganku.
"Kamu itu ya, Mas. Selalu menganggap semua orang itu kaya kamu. Aku sama Bram nggak ngapa-ngapain. Dia cuma numpang istirahat, dan...."
"Dan apa?" potongnya. " Istirahat di rumah istri orang. Berduaan pula!"
"Istri orang? Ingat, Mas. Kamu sudah mentalakku. Jadi kita sudah bukan suami istri lagi!" rutukku kesal.
"Baru talak dua, Mayla. Aku masih bisa merujukmu, dengan atau tanpa persetujuan kamu. Bisa saja sekarang ini aku menarikmu ke kamar, menyuruh kamu melakukan kewajiban sebagai seorang istri dan kamu kembali sah menjadi istriku lagi. Toh, masa Iddah kamu juga belum selesai!"
Enak sekali dia berbi
Laki-laki dengan rahang tegas itu sudah berdiri di balik pintu yang tertutup, sambil menyilang tangan di depan dada dan menatap nyalang ke arahku."Ka–kamu mau ngapain, Mas?!" tanyaku setengah takut."Mau ngapain aja terserah aku dong. Ini rumahku dan kamu masih istriku!" jawabnya seraya mendekat."Mantan, Mas. Kamu lupa ya, kalau kamu sudah mentalakku?!""Masih bisa rujuk kan, Mayla?!" Mas Ibnu mencengkram rahangku keras dengan sorot mata penuh amarah.Ekor mataku terus melirik ke kanan dan ke kiri, mencari ponselku ingin menghubungi Abraham."Apa, kamu nyariin ini?!" Menunjukan gawai milikku.Astaghfirullah, kenapa handphoneku ada sama Mas Ibnu. Perasaan tadi aku meletakkannya di atas kasur. Apa dia memang sudah berada di sini sejak aku masuk ke dalam kamar."Kamu pasti ingin menghubungi selingkuha
"Kamu tidak apa-apa kan, May?" tanya Abraham memecah keheningan panjang.Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala."Alhamdulillah kalau begitu. Maaf tadi aku sudah memegang tangan kamu. Tolong jangan marah!" ucapnya lagi, sembari menepikan mobilnya dan membantu mengeluarkan barang-barangku."Terima kasih, Bram." Pelan aku berujar, tapi mungkin masih tertangkap oleh indra pendengarannya Abraham, sebab dia merespon dengan senyuman dan langsung pergi begitu saja.Aku duduk di atas kasur sambil berusaha melupakan apa yang baru saja menimpaku.Mas Ibnu, kenapa kamu begitu tega menyakiti perasaanku berkali-kali seperti ini. Salah aku di mana, Mas. Perasaan, selama aku hidup menjalani biduk rumah tangga dengannya, aku tidak pernah berbuat macam-macam yang memancing amarahnya. Aku selalu menuruti semua perintahnya, menjadi istri yang berbakti kepada suami juga berusaha menjad
Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawaiku. Dari Gus Azmi.Ah, tapi sepertinya Raihan yang mengirim pesan menggunakan ponsel guru ngajinya.Raihan memang sering bercerita kalau Gus Azmi sudah menganggap dia sebagai putra kandungnya sendiri, karena dia sepantaran dengan putra angkat Gus Azmi yang meninggal karena sakit lupus. Raihan juga selalu mendapat perhatian lebih dari kyai Ma'arif ayah kandung Gus Azmi.[Assalamualaikum, Mam. Maaf Raihan sedikit merepotkan. Kalau Mama lagi sempat dan ada uang lebih, tolong belikan Raihan baju koko sama sarung baru ya, Mam. Baju koko Raihan sudah mulai pada kekecilan. Mama juga jangan lupa jaga kesehatan. Jangan banyak-banyak melamun. Sholat yang rajin dan jangan lupa puasa sunah senin kamisnya ya.] Isi pesan dari putraku panjang lebar, dan membuat hatiku mencelos karenanya."Pasti WA dari Ibnu ya? Ketahuan soalnya, mukanya langsung
Setelah selesai belanja kebutuhan Raihan, aku segera pergi ke salon untuk perawatan rutin lalu masuk me dalam mall membeli barang yang tidak dijual di pasar.Saat berjalan menuju tenant sepatu, aku mendengar ada sedikit keributan di sana. Dan ketika aku perhatikan, sepertinya aku mengenal siapa yang sedang teriak-teriak diantara beberapa orang yang sedang berdiri mengerubunginya.Ada apa dengan dia?Karena jiwa penasaranku meronta-ronta, aku menghampiri sumber kegaduhan serta menanyakan ada masalah apa dengan Mbak-mbak cantik nan glamor yang berdiri di hadapanku."Dia nyobain sepatu, sudah saya bilang nggak muat tapi dia maksa dan akhirnya sepatunya lecet. Giliran suruh bayar mbaknya marah-marah!" terang seorang sales profesional girl yang sedang melayani wanita itu."Dasar sepatunya saja yang jelek, masa cuma di jajalin doang
"Ini aja aku pake duitnya Bram dulu, Mas. Kata dia nggak apa-apa pake saja, dia juga bilang kalau dirinya sudah menganggap Raihan seperti anaknya sendiri!""Kamu kan bisa minta sama aku, Mayla. Aku masih mampu membelikan baju buat anakku, nggak perlu ngemis-ngemis sama orang lain!" dengkusnya kesal."Ya sudah, Mas. Kita ngobrolnya di cafe depan mal saja. sepertinya mal ini sudah mau tutup. Lagian aku capek nenteng belanjaan banyak banget begini!" ajakku seraya menunjuk sebuah cafe di seberang jalan."Ya sudah, sini, biar belanjaannya Mas bawain." Dia Mengambil alih semua barang yang ada di tanganku dan berjalan mendahuluiku menuju cafe tersebut.Aku menyeringai puas karena Mas Ibnu masuk ke dalam perangkapku, dan sepertinya dia melupakan si rambut keemasan itu.Ponsel Mas Ibnu terus saja menjerit-jerit ketika kami sudah berada di dalam cafe. Gegas aku mengambil ponsel terse
"Maaf, Mas. Aku sudah ngantuk." Segera ku putuskan sambung telepon, menonaktifkan ponsel karena takut Mas Ibnu kembali menghubungi dan memaksa untuk membuka pintu.Aku kembali mencoba memejamkan mata. Membiarkan jiwa ini berlayar ke samudera mimpi, walaupun aku tahu akan sulit bagiku untuk terlelap kembali setelah tahu ada Mas Ibnu di depan kios. Aku takut dia nekat menerobos masuk dan kembali melecehkanku.Karena rasa kantuk tidak kunjung menyapa, gegas diri ini mengambil wudhu dan bertilawah hingga akhirnya rasa kantuk mulai terasa. Aku meletakkan mushaf di atas meja lalu kembali berlayar ke pulau mimpi.Tiba-tiba aku merasa ruangan yang aku tempati menjadi panas juga gelap. Sepertinya mati lampu.Ya Allah, ada-ada saja sih. Kalau aku keluar, aku takut Mas Ibnu masih ada di halaman toko dan kembali mengganggu. Tapi kalau bertahan di dalam tanpa penerangan dan pendingin udara, aku tidak bisa melanjutkan tidur karena gelap dan juga panas.Aku memutuskan untuk mengaktifkan ponsel dan
Aku menarik nafas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak lalu membuang napas perlahan. Kepalaku terasa sakit karena terlalu lama menangis. Abraham beranjak dari duduknya dan tidak lama kemudian dia kembali membawa segelas teh hangat dan memberikannya kepadaku."Terima kasih, Bram," icapku seraya menyesap sedikit demi teh manis yang terlalu kemanisan itu."Habisin, jangan nyisa. Mubadzir!" perintahnya."Iya, Bram. Ini teh manisnya kaya kolak, manis banget!" Aku meneguk teh buatan Abraham hingga tandas."Karena yang minum orangnya manis, Mayla!" Aku menggigit bibir sambil melirik wajah Abraham yang sedang serius menatap layar laptop. Mungkin saat ini wajahku sudah bersemu merah karena pujiannya. Sebab sudah lama tidak ada orang memujiku."Jangan lirak-lirik, nanti naksir!" celetuknya tanpa menoleh.Dih, siapa juga yang bakalan naksir sama dia. Aku nggak mau saingan sama Andita, karena sudah pasti aku akan kalah. Andita masih muda, cantik, sedangkan aku sudah emak-emak, calon
“Ngapain Ibnu ke poli KIA, May?” Abraham menatap penasaran.“Aku nggak tahu, Bram,” sahutku pelan, karena tubuh ini masih terasa lemas.Ragu-ragu aku berjalan perlahan menuju poli KIA, ingin mencari tahu apa yang sedang suamiku lakukan di dalam sana.“Pake kursi roda, May!” titah Abraham.Aku langsung duduk di atas kursi roda yang tersedia dan segera masuk ke poli tersebut.Dadaku bergemuruh hebat ketika melihat Lusi sedang duduk mengantre di depan ruang periksa kandungan, didampingi oleh Mas Ibnu yang terus saja mengusap lembut rambutnya.Apa dia sedang mengandung anak Mas Ibnu?Ya Allah, sakit sekali rasanya diri ini melihat pemandangan seperti itu. Ternyata cinta di hatiku masih ada, dan hati ini terbakar cemburu ketika melihat Lusi bergelayut manja di lengan pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu.Aku pikir, setelah kejadian kemarin Mas Ibnu akan berpaling dari Lusi dan meninggalkan wanita ular tersebut. Ternyata dugaanku salah, dia masih saja lengket dengan si ulat bulu, b