“Sialan!!” Memukul setir, merasa kesal kepada Mayla beserta antek-anteknya.Enak saja mereka ingin menjauhkanku dengan Raihan, sampai membuat putraku hilang ingatan dan melupakanku.Aku heran dengan si Mayla, ternyata murahan sekali dia. Belum bercerai denganku, sudah dekat dan mau menikah dengan laki-laki lain. Penampilannya saja selalu tertutup dan sok alim. Ternyata aslinya sama saja. Murahan.Melajukan mobil membelah kemacetan kota, sambil terus mengumpat karena terlampau kesal kepada Mayla. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Raihan putraku. Dia tidak mungkin bisa sampai melupakan aku, kalau tidak ada yang sengaja membuatnya amnesia.Lagian, kok bisa, Raihan lupa sama aku, sementara dia masih mengingat Mayla, Gus Azmi, bahkan Abraham yang bukan siapa-siapanya. Pasti ada konspirasi antara rumah sakit dan antek-anteknya si Mayla. Mereka sengaja ingin menjauhkan aku dengan putraku. Dasar kurang ajar.“Loh. Mas. Kok wajahnya dilipet kaya dompet tanggung bulan sih?” tanya Lusi
Lagi, aku hanya bisa mengelus dada menghadapi kelakuannya.“Ya sudah, ini uang bensin Mas aku kasih ke kamu semua.” Mentransfer sejumlah uang yang masih tersisa di rekening.Semua gara-gara Mayla. Coba dia tidak mengambil mobilku. Mungkin uang tabunganku tidak akan habis, sebab aku tidak perlu membeli kendaraan baru untuk transportasi. Lusi juga tidak mau jika ke mana-mana menggunakan sepeda motor, sebab tidak mau kalau sampai kulit mulusnya terpapar sinar matahari.“I love you, mas!” Lusi mendaratkan kecupan di pipi lalu pergi entah ke mana.Aku menguyar rambut frustrasi.Bagaimana kehidupanku ke depannya kalau semua uang sudah aku serahkan kepada Lusi.Pagi-pagi sekali, seperti biasanya aku sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka 06:30, akan tetapi tidak kudapati secuil makanan pun di meja makan. Hanya ada tudung saji yang teronggok di atas sana, beserta mangkuk kosong bekas Lusi menyantap mie instan semalam.“Lus, Lusi!” teriakku memanggil sang
Sudahlah, toh aku mencari uang juga untuk membahagiakan dirinya. Jadi, asalkan dia bahagia, itu sudah sangat cukup buatku. Kalau aku kelaparan tidak masalah. Yang penting Lusi tidak sampai kelaparan.Ponselku kembali berbunyi. Kali ini ada panggilan masuk dari Mayla istriku. Pasti dia akan memintaku supaya mentransfernya sejumlah uang untuk Raihan.Enak saja dia masih minta uang kepadaku, setelah semua yang dia lakukan. Raihan sudah tidak menganggapku sebagai ayahnya, jadi sekarang aku sudah tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap bocah itu. Tanggung jawabku sekarang ini hanyalah Lusi. Sebab dia adalah masa depanku.Apalagi, sekarang enam puluh persen dari gajiku sudah dipotong secara langsung dari perusahaan dan ditransfer langsung ke rekening Mayla. Tapi dasarnya dia boros, dia tidak bisa memanage keuangan secara baik. Baru beberapa hari saja uangnya sudah ia habiskan.Ojek online yang aku tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumah. Gegas aku turun, memanggil Lusi dan meminta
Hampir dua puluh menit aku menunggu, dokter juga sudah selesai melakukan tindakan kuretase kepada Lusi, dengan jam tangan bermerek milikku sebagai jaminannya. Untung saja pihak rumah sakit masih memberi sedikit toleransi dan mau menangani Lusi walaupun aku belum bisa membayar down payment biaya rumah sakit, karena itu menyangkut nyawa seseorang.“Pak Ibnu!” panggil Rudi sambil tersenyum ke arahku.Dih, sok akrab. Kalau sedang tidak membutuhkan tenaganya juga tidak mau dekat-dekat dengan para bawahan. Malas. Nanti ujung-ujungnya ngelunjak, cari muka, memintaku supaya mempromosikan mereka untuk naik jabatan.“Totalnya jadi lima ratus ribu ya, Pak. Soalnya tadi tukang ojek yang menjaga mobil Bapak minta tambahan uang. Katanya Bapak Cuma ngasih mereka delapan puluh ribu. Mereka semua mengancam jika aku tidak memberi mereka uang, maka mereka akan menahan mobil Bapak,” ucap Rudi panjang lebar.Bikin pusing saja. Apa dia tidak tahu perasaanku sedang tidak karuan?Membuka pintu mobil, duduk d
Tapi, kenapa suara perempuan itu sepertinya bukan suara Mayla istriku. Apa Abraham diam-diam memiliki kekasih lain selain Mayla?Sambil meringis menahan sakit aku berjalan menuju mobil. Kuseret langkahku sambil menahan nyeri karena kaki ini terus saja mengeluarkan darah. Aku tidak mau Abraham sampai tahu kalau aku membuntutinya.Masuk ke dalam mobil dan kembali melajukan kendaraanku menuju rumah sakit menemui Lusi.“Kamu dari mana saja, Mas?” Lusi menatap curiga ketika aku sampai di rumah sakit dengan keadaan yang teramat kacau.“Nyari Mayla!” jawabku jujur.Mata indah Lusi membulat sempurna mendengarku menyebut nama Mayla.“”Tenang saja, Lus. Aku nyariin dia Cuma mau minta uang gajiku, buat biaya perawatan kamu di rumah sakit!” ungkapku, tidak mau dia curiga dan mengira aku masih berhubungan dengan Mayla.“Tapi kok lama banget?”“Maylanya nggak ketemu. Sudah pindah. Ngikutin Bram sampai ke rumahnya juga dia malah lagi ena-ena sama perempuan lain. Sial banget aku hari ini tahu, nggak?
Bibir Lusi terkatup rapat. Mata perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu menatap nanar ke arahku, menunjukkan rasa terkejut sebab aku menemukan benda tersebut di dalam tasnya.“Untuk apa kamu menyimpan benda seperti itu, Lusi?!” Sentakku kalap, tidak peduli kalau saat ini keadaan Lusi sedang tidak berdaya. Hati ini sudah terlanjur sakit serta terbakar cemburu.“Itu punya temen!” Jawabnya pelan.Bulsyit!Mana ada seorang teman yang menitipkan kontrasepsi kepada seorang wanita. Memangnya aku kaki-laki bodoh.“Katakan, Lusi. Siapa laki-laki yang tadi bersama kamu, juga beberapa pria yang berkirim pesan dengan kamu. Apa jangan-jangan, selama ini kamu menjual tubuh kepada mereka?!” Mencondongkan badan menatap dalam-dalam netra beningnya.Plak!Panas perih menjalar di pipi kanan serta kiriku, saat tangan Lusi mendarat. Dia terlihat kalap. Mungkin tersinggung dengan ucapanku.“Kenapa mesti tersinggung? Nyatanya banyak chat di ponsel kamu dengan para lelaki hidung belang, bahkan kamu meng
Ah, sepertinya tidak mungkin. Mayla begitu mencintaiku. Buktinya, walaupun sudah tahu aku berkhianat, dia masih mau memberikan hakku sebagai seorang suami. Pasti Mayla belum bisa move on dariku.Karena penasaran, iseng-iseng kubuka sosial media berwarna biru belogo huruf F dan melihat apa saja kegiatan Mayla selama dia menjauh dariku. Pasti isi statusnya hanya ratapan-ratapan pilu. Aku sangat yakin itu.Dan ....Sial!Kenapa semua statusnya malah memamerkan kedekatannya dengan Abraham juga Gus Azmi. Apa maksudnya coba?Apa dia sengaja ingin memanas-manasi aku?Tidak Mayla. Aku tidak akan cemburu melihat kamu bersama kedua manusia sok alim itu. Aku masih lebih hebat dari mereka, bahkan kalau aku mau, saat ini juga aku bisa membawamu kembali ke rumah dan menjauhkan kamu dari kedua laki-laki sok tampan itu.Argh!Melempar semua yang ada di atas meja, hingga berkas-berkas yang belum selesai aku kerjakan berserakan di lantai.“Ibnu, apa-apaan kamu. Kenapa semua berkas-berkas yang ada di me
Drrrttt... Drrrttt... Ponsel dalam saku celanaku terus saja berdering. Lagi. Lusi memanggil. Sambil menahan emosi kugeser tombol hijau, menyapa wanita yang membuat moodku buruk sembari masuk ke dalam. “Mas, jemput sekarang. Aku sudah keluar dari rumah sakit, kamu malah nggak mau jemput aku!” Rutuknya tanpa basa-basi. “Iya, aku jemput sekarang!” jawabku malas. Kembali masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut untuk menjemput Lusi. Orang lain yang berbuat, malah aku yang suruh repot. “Lama banget, sih?!” sungutnya saat aku menepikan mobil di parkiran rumah sakit. Aku hanya menoleh tanpa berucap sepatah kata pun. “Mana uang aku yang kamu pake buat bayar biaya rumah sakit?” Lusi menodongkan tangan. Aku mendesah kesal. Duit mulu yang ada di dalam otaknya. “Mas! Mana uangnya?!” teriak perempuan berambut keemasan itu membuatku berjingkat kaget. “Nggak ada!” jawabku sambil fokus mengemudi. “Kok bisa nggak ada? Pokoknya aku nggak mau tahu. Ganti uang aku s