“Mayla! Kamu itu kenapa sih?!” Ternyata Abraham mengejar dan mengambil paksa semua barang yang ada di tangan.“Aku mau pulang, Bram. Anak aku nungguin!” ucapku meninggikan nada bicara satu oktaf.“Kan tadi aku sudah bilang. Kita pulang bareng-bareng. Rumah kita searah. Kamu juga pulangnya ke toko aku!” Dia menatap tajam wajahku tanpa ekspresi.Aku menelan ludah sambil memalingkan wajah. Salah tingkah.“Kembalikan barang-barang aku, Bram!” pintaku memelankan nada bicara.“Aku nggak mau!”Ya Tuhan, aku baru tahu kalau laki-laki ini begitu keras kepala. Apa sih maunya Abraham?“Bram. Aku mau pulang. Anak aku nungguin!” Memasang wajah memelas.“Mayla. Kita pulang bareng. Memangnya kenapa sih kalau jamu pulang sama aku? Apa kamu lagi ada janji sama pria lain?”Memutar badan, berlari menuju lift dan turun ke lantai dasar. Dan ketika berada di halaman mal ternyata Athira dan pria itu sudah berdiri di sana.Ya Allah. Maunya dia apa sih? Apa sengaja ingin memanas-manasi aku dengan kekasih baru
Malam kian beranjak larut dan sunyi. Aku membenamkan tubuh ke dalam selimut, mencoba memejamkan mata menjemput lelap, mengistirahatkan badan serta hati yang terasa lelah. Tidak lupa juga mematikan ponsel. Menghindari panggilan masuk dari orang-orang terdekatku.Namun entah mengapa, walaupun berusaha untuk memejamkan mata, hati ini terus saja berkelana. Aku selalu saja memikirkan perempuan yang siang tadi bersama Abraham di mal.Ya Allah. Kenapa aku harus merasa seperti ini?Kenapa aku harus marah melihat dia bersama wanita lain?Dia itu bukan siapa-siapa aku. Dia dekat sama aku juga hanya karena kasihan melihat aku selalu disakiti oleh Mas Ibnu.Kembali membuka mata, menyalakan ponsel memutar murrotal supaya hati merasa tenang. Aku tidak mau terus-menerus memikirkan kaki-laki yang tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.Menyibak tirai, membuka pintu ketika sebuah mobil berwarna merah terparkir di depan rumah dan Gus Azmi keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Raihan terlihat sangat
Ponsel dalam tas Gus Azmi terus saja berdering. Pria berpenampilan sederhana itu segera keluar, menerima panggilan dari seseorang di seberang sana dengan wajah terlihat gusar.Ada apa?“May!” Mendesah sebal ketika Abraham menghampiri sambil tersenyum.“Kamu ngapain, Bram. Kirain sudah pulang?” tanyaku sambil merengut.“Lah, aku dari tadi di belakang kamu, loh. Masa kamu nggak tahu?” Alis tebal pria berambut gondrong itu bertaut hingga hampir menyatu.“Memangnya aku ada spionnya. Bisa lihat orang yang ada di belakang?!”Abraham tertawa. Ih, dasar nggak jelas. Memangnya ada yang lucu dan bisa membuat orang tertawa?“Kalau ada Gus Azmi ada aku di sebelah kamu juga nggak kelihatan, May. Dia yang lebih mencolok karena dia itu calon suami kamu!” Dia berujar sambil mengambil posisi mendorong kursi roda, membawa Raihan menemui dokter ortopedi, memeriksakan perkembangan kesehatan kaki anakku.“Dek Mayla, maaf saya harus pulang ke Tegal sekarang. Ada keperluan mendesak di sana. Sekali lagi saya
“Terus, kalau kamu bareng terus sama Athira, aku harus bilang wow, gitu?!” dengkusku sambil mendorong kursi roda membawa Raihan menjauh dari toko bunga.Hatiku benar-benar kesal dibuatnya. Ngapain pakai pamer-pamer kalau malam bareng sama sugar baby-nya, memangnya keren banget apa!Duduk di kursi teras, mendengkus kesal karena ternyata kunci rumahku tertinggal di mobil Abraham.“Kenapa, Mbak Mayla Yasni. Nggak bisa masuk ya?” tanya Abraham sambil nyengir kuda. Nyebelin.Aku hanya diam enggan menyahut. Melipat kedua tangan di dada, mengerucutkan bibir kesal kepada pria berambut panjang itu.“Kamu kenapa sih, May. Akhir-akhir ini kamu terlihat uring-uringan dan sering marah-marah. Apa kamu ada masalah sama Ibnu?” Abraham menarik kursi dan duduk.“Bukan urusan kamu!” sungutku kesal.“Iya, memang bukan urusan aku. Tapi kamu sering bersungut-sungut di depanku. Kalau aku salah, aku minta maaf. Apa jangan-jangan, kamu masih marah gara-gara kejadian di mal tempo hari?!” Dia menatap menyelidik
“Maksud aku, kamu tinggal di rumah aku dan aku tinggal di sini. Biar aman. Kalian berdua itu amanah yang dititipkan oleh almarhumah Ibu sama aku. Amanah orang yang sudah meninggal itu berat, May. Nggak bisa ditawar-tawar!” terang Abraham panjang lebar.“Aku bisa jaga diri aku sendiri, Bram. Kamu nggak usah merasa terbebani karena pesan Ibu. Insya Allah Ibu juga mengerti dengan keadaan aku sekarang. Kayaknya kalau aku tinggal di Tegal lebih aman. Mas Ibnu tidak akan pernah mengganggu.”“Apa kamu yakin?”“Insya Allah, Bram.”“Tapi aku tidak memberi izin, Mayla. Aku nggak mau kamu tinggal di dekat rumahnya Gus Azmi.”Alisku bertaut mendengar jawaban dari Abraham.“Kenapa aku mesti izin sama kamu. Kan aku bukan siapa-siapa kamu?” Menatap wajah lelaki bertubuh tegap tersebut ingin tahu reaksi Abraham.“Kalau begitu aku akan menghalalkan kamu. Supaya aku bisa melindungi kamu dan bisa menjalankan amanah Ibu dengan baik!”Mataku membeliak kaget mendengar ungkapan dari Abraham. Apa diam-diam d
“Nggak, Mayla. Aku nggak mau kamu pindah ke Tegal!” cegah Abraham dengan nada meninggi ketika aku berpamitan.Andita yang sedang sibuk melayani customer, langsung menatap ke arah kami dengan sudut mata sudah menganak sungai.“Jangan pergi, Bu. Saya nanti sama siapa di sini?” Andita ikut menimpali.“Nanti Pak Bram bisa cari karyawan baru lagi, An. Saya dan Raihan sudah tidak aman lagi berada di kota ini. Ayahnya Raihan selalu mengganggu hidup kami!” Aku berusaha mengulas senyum.“May. Tolong dengerin aku. Aku akan selalu melindungi kamu dan Raihan. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kalian, Mayla!” Abraham duduk di sebelahku, lebih dekat dari biasanya.“Tapi aku harus pindah ke Tegal, Bram. Aku juga nggak mau terus-menerus merepotkan kamu.”“Kamu tidak pernah merepotkan aku sama sekali, Mayla. Aku justru senang jika kamu selalu melibatkan aku di dalam masalah kamu.”“Kalau aku di Tegal juga kita masih bisa bertemu, Bram. Kamu bisa main-main ke sana, aku juga bisa silaturahmi ke sini. Kita a
“Tante. Kok muka tante dilipet begitu?” Athira menghampiri, menyalamiku dan mencium punggung tanganku dengan takzim.“Pasti Om Bram yang bikin Tante merengut ya? Jangan diambil hati kalau dia ngomong, Tante. Om Bram memang begitu. Galak, bawel, hobi PHPin orang. Aku aja katanya mau diajak nonton sampe sekarang belum diajak pergi. Keburu aku pulang ke Semarang kalau begini!” rutuk Athira panjang lebar.“Memangnya kamu tinggal di Semarang?” tanyaku penasaran. Ingin tahu lebih jauh tentang gadis manis itu.“Iya, Tante. Aku tinggal sama Mama dan Ayah tiri aku di sana. Om Bram juga sering datang ke sana loh. Kapan-kapan main ke rumah aku ya Tante. Biar Mama kenal sama Tante. Mama pasti senang. Dulu Tante Lusi juga pernah main sekali. Cuma ... Dia godain Ayah di sana, jadi Mama marah dan mengusir Tante Lusi!”Alisku bertaut mendengar cerita Athira. Sebenarnya dia ini siapanya Abraham. Kenapa Lusi juga pernah bertandang ke kediaman orang tuanya Athira?“Kamu apanya Om Bram, Ra?” Memberanikan
“Kenapa diam. Mana ATM-nya?” Lusi menimpali, sambil menodongkan tangan memasang wajah sombong.“Tidak ada!”“Kamu jangan macam-macam sama kami, Mayla. Kamu di sini itu sendirian!” gertak pria berkulit sawo matang tersebut, menatap nyalang wajahku. Sorot mata Mas Ibnu sudah dipenuhi dengan kebencian.Di mana cinta yang selalu dia ucapkan dulu. Tidak adakah lagi cinta dan kasih sayang walaupun hanya sebutir tepung di dalam hatinya, sehingga dia terlihat begitu membenci dan tidak ada belas kasihan sama sekali terhadap diri ini.“Mayla. Mana kartu ATMnya?!” Mas Ibnu mulai meninggikan nada bicara, membuat pertahananku sedikit goyah karena takut dia berbuat nekat dan melukaiku.Aku masih memiliki Raihan yang sangat membutuhkan kasih sayang dariku. Jika terjadi sesuatu denganku, maka siapa yang akan menjaga serta merawat dia.“Mayla. Jangan buat kesabaranku habis ya!” Lelaki berjambang tipis itu merebut paksa tas yang menggantung di pundak, menarikku hingga diri ini hampir terjatuh.“Jangan