Bab 17: Fakta yang Menyesakkan
Sudah jam lima sore dan Mas Surya serta bapak dan ibu mertua belum terlihat batang hidungnya. Tidak ada yang memberiku kabar, atau sekadar pesan singkat soal kondisi bapak di rumah sakit.
Mas Surya juga tidak menghubungi, wajar saja mungkin dia memang tidak memiliki nomorku. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi dan bapak mertua kembali sehat. Setidaknya, berdoa adalah cara yang kulakukan untuk menebus dosa pada mereka.
Lama duduk di sana, aku mulai merasa lapar. Bapak dan ibu serta Mas Janu pasti tidak akan pulang dengan banyak makanan. Mereka sedang di rumah sakit dan bukannya bersenang-senang.
Kuputuskan untuk memasak. Dapur ibu mertua selalu dipenuhi oleh berbagai bahan makanan. Hampir tidak perlu ke pasar, kecuali saat di awal dan pertengahan bulan untuk mengisi stok yang menipis. Sisanya dihasilkan oleh kebun bapak.
Butuh waktu hampir satu jam untuk memasakkan mereka teri sambal dan tumis
Bab 18: Mendung di Rumah MertuaAku terhenyak melihat kehadiran sebuah ambulans di belakang Mas Surya. Dia ternyata kembali lebih dulu memimpin jalan dengan mobilku, kemudian di susul oleh mobil yang terus mengeluarkan bunyi sirene.Kehadiran mobil itu mengundang rasa penasaran para tetangga kiri dan kanan. Mereka bergegas keluar dan tampak panik mendengar bunyi yang menandakan kesedihan itu.Mas Janu yang awalnya tidak mengerti perkataan pamannya lekas berdiri. Dia menatap dengan dua matanya yang jernih mobil berwarna putih tersebut. Kemudian, dia menghambur keluar tanpa peduli padaku atau Desty yang dia puja.“Bapak? Bapak ....” Mas Janu berteriak. Pintu belakang mobil ambulans terbuka dan dua perawat yang mengantar melompat turun. Mereka juga menurunkan brankar yang membawa jasad bapak dan membantu ibu mertua.Tampak wajah ibu mertua merah, pipinya basah bersimbah kesedihan, merenggut semua senyum yang selama ini ter
Bab 19: Selamat Jalan Bapak Mertua Alangkah terkejutnya aku mendengar itu semua. Dibandingkan menyebut namaku untuk menenangkan warga dan kerabat, Mas Janu lebih memilih menyebut nama Desty. Pelaku yang menghancurkan kedamaian di dalam keluarga kami itu, haruskah dia membelanya di saat begini? Tidak cukupkah tinju Mas Surya hingga Mas Janu masih mencoba berulah?Akibatnya, warga terdiam. Mereka saling berpandangan dan mulai berbisik lebih tajam. Di depan wajah almarhum bapak mertua Mas Janu menyebutkan nama Desty dan mengakui wanita itu.“Cukup, Mas!” Aku berseru. “Apa kamu tidak bisa melihat kondisi saat ini?”“Diam, Sar! Kamu penyebab bapak pergi. Ulahmu yang merusak kedamaian di rumahku. Apa yang kamu lakukan di sini tanpa seizinku, hah?” Mas Janu berteriak.Terungkaplah sudah pertikaian di dalam rumah tanggaku dan Mas Janu. Semua orang yang ada di sana pada akhirnya mengetahui perihal persel
Bab 20: Benarkah itu? “Mbak, tolong jangan asal bicara!” ujarku padanya. Wanita itu kuminta menjaga jarak dengan kode dua tangan. Benar kata Mas Janu dahulu, sebaiknya kuhindari dia agar tidak menambah masalah saja. Wanita di depanku ini sangat mudah bicara meski tidak memiliki bukti sekalipun. “Ya Mbak Sari, saya ini serius, loh! Mbak harus percaya sama saya karena memang ini informasi yang saya dapat secara langsung!” ucapnya. Kututup kedua telinga dengan telunjuk. Aku menunjukkan secara langsung padanya jika sikapnya barusan tidak patut untuk ditiru sama sekali. “Ih, Mbak ... jangan begitu. Kita kan sebagai perempuan yang dikhianati suami harus saling mendukung!” ucapnya lagi yang tentu saja aku respons dengan spontan. Dia sangat tidak sopan padaku. Padahal, kami baru bertemu lagi setelah sekian lama. Bibirnya yang tebal langsung menghujat pemilik rumah yang berduka karena kehilangan keluarga. Hal itu dilakukannya d
Bab 21: Teman Lama yang HangatKuhela napas saat tas terjinjing di tangan. Nandya yang menangis di kereta bayinya membuat hati ini kian teriris. Meski demikian, ini adalah keputusan akhir yang kupilih untuk mengakhiri semua rasa sakit yang disebabkan oleh Desty dan Mas Janu.Ayunan langkah kaki menuruni tangga rumah ibu mertua dan langsung menapak di atas halaman rumput yang tebal. Pagi masih sangat muda, sampai tidak ada satu jiwa lain pun yang terlihat di luar sana. Hanya ada aku, Mas Surya dan ibu mertua yang berdiri bersandar di ambang pintu.Mereka memandangiku serta Nandya. Wanita yang telah menjanda itu tiba-tiba berjalan tanpa alas kaki dan langsung menyelipkan sesuatu di kereta bayi Nandya. “Tolong, rawat cucu Ibu, Sar. Jangan biarkan dia hidup dengan ayah yang salah!” pinta ibu mertua. “Cukup anak Ibu yang jadi orang tua jahat untuk Nandya.”Kuanggukkan kepala mendengar petuah itu. Jauh di dalam lubuk hat
Bab 22: Pertengkaran di Pinggir JalanAwal pertemuan dengan Mas Janu, saat itu aku masih mahasiswi magang di kantor Mas Janu. Kulakukan semua hal demi memperbaiki reputasiku sebagai seorang mahasiswi dan menunjukkan keahlian di depan para atasan dengan harapan dijadikan karyawan tetap.Di sanalah aku bertemu Mas Janu yang saat itu sudah menjabat sebagai karyawan tetap. Dia baik, ramah dan murah senyum. Semuanya terasa mudah dan menyenangkan di kantor karena ada Mas Janu yang kudambakan. Saat itu, aku tidak tahu apa pun soal pertunangannya dengan Desty karena memang Mas Janu yang membimbing anak-anak magang tidak pernah mengungkit hal itu.Sampai, karyawan perempuan yang juga rekan kerja Mas Janu memperingatkan kami untuk tidak menaruh hati pada Mas Janu. Dia sudah ada yang punya, katanya dengan ekspresi serius.Kutemukan bukti nyata saat jam pulang kerja. Mas Janu dijemput oleh seorang perempuan dengan wajah cantik dan berpenampilan sanga
Bab 23: Pertikaian BerlanjutSuaraku melengking di hadapan Mas Janu. Selama menikah dengan pria ini, kuupayakan segala cara agar bisa bertutur halus dan bersikap santun terhadapnya demi mempertahankan Mas Janu. Semua itu karena patah hati yang kurasa saat mengetahui Mas Janu telah bertunangan dengan Desty.Selama dekat dengannya serta menjadi bagian dari hidupnya, sebenarnya aku dihantui rasa takut akan kehilangan Mas Janu. Meski sudah melahirkan Nandya dan menemani Mas Janu dalam perjuangannya, pria itu tetap saja pergi dariku.Sekarang, Mas Janu membiarkanku tinggal bersama Nandya tanpa dirinya. Semua itu karena satu orang, Desty!“Pergilah, aku tidak ingin bertengkar,” ucapku pada Mas Janu.Pria itu masih mengepalkan tangan. Meski aku memalingkan muka, dia tetap saja memandangiku yang telah diabaikannya untuk Desty. “Aku tidak ingin pergi, Sari!”“Lalu apa maumu, Mas? Tolong pergi!” teg
Bab 24: Bertemu Kembali “Ka-kamu ....” Mas Janu terbata melihatku datang. Manik matanya juga naik dan turun memerhatikan penampilanku hari ini. Sungguh sangat jauh berbeda dengan yang selama ini dilihat olehnya. Padahal, aku hanya memakai baju zirah saat ke medan perang.“Mas, kenapa kamu diam saja setelah ditabrak seperti itu?” Desty protes pada Mas Janu. Dia langsung menghampiri Mas Janu dan menggandeng lengan pria itu tepat di hadapanku. Desty juga memasang wajah kepuasan karena berhasil membuat diriku mencebik kesal.Anehnya lagi, tidak ada rasa malu di antara mereka berdua. Seluruh kantor tahu soal pernikahanku dengan Mas Janu dan kami belum bercerai. Tapi Desty sudah berani menggandeng Mas Janu di depan umum. Pantas saja wajah dua satpam itu dipenuhi kekagetan begitu melihat kehadiranku. Ternyata, ini penyebabnya.Melihat Mas Janu yang tetap diam, kudekati dia dengan berani. Aku memandangi Mas
Bab 25: Pria yang TerdiamDitegur begitu, kedua mata ini seketika basah. Aku tidak menyangka akan ada seseorang yang bersedia memanggil diri mereka orang tua untuk wanita yatim piatu sepertiku. Selama ini, aku hanya mampu menyebut mereka bibi dan paman, karena mereka adalah dua orang yang selalu berdiri untukku setelah ayah dan ibu pergi untuk selamanya.Ya, aku memang belum menjelaskan apa pun sejak awal. Aku tidak punya orang tua, lebih tepatnya mereka sudah berpulang beberapa tahun lalu dan meninggalkan sedikit warisan. Mereka berdua ini adalah teman baik ayah dan ibu semasa hidup. Mereka punya anak perempuan, namun tinggal di luar negeri dan tidak pernah pulang kecuali lebaran.“Kenapa malah bengong?” Presiden direktur menegur. Pria yang tidak pernah kusebut sepanjang kisah ini memandangi diriku dari ujung kepala hingga kaki. Mungkin saja dia sedang mencoba memahami alasan dari kepergianku selama satu bulan.“Mas, ja