Share

Bab 5: Bukti Rekaman

Bab 5: Bukti Rekaman

“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.

Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.

Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.

Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.

“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.

“Loh, bukannya kalian udah delivery, ya?” terka Desty.

Aku segera mengerucutkan bibir, bermain-main dengan bola mataku agar tidak perlu menatap wajah menyebalkan wanita itu. Hanya tinggal mendengar persetujuan dari Yulia dan kami bisa segera pergi dari sini.

“I-iya, ayuk! Aku udah lapar banget!” sambut Yulia. Aku tahu, wanita itu memang pintar.

“Kalian sengaja banget, ya? Padahal udah pesan makanan. Tapi demi mengha ....”

“Kami pesan makanan buat makan malam tuh!” sahutku cepat.

“Sar ... udah, jangan dilanjut di sini. Sebaiknya kita pergi sekarang,” tahan Mas Janu, mungkin melihat gelagatku yang mulai mempermainkan Desty.

“Mas, aku ikut!” Desty menatap suamiku. Anehnya, tatapan Desty barusan membuat Mas Janu merubah pikirannya. Seolah-olah terhipnotis oleh perkataan wanita itu.

“Ya sudah, sekalian saja semuanya.”

“No! Mas, aku enggak mau!”

“Aku juga nggak mau, Mas!” imbuh Yulia.

Kami menahan Mas Janu lebih dulu sebelum Desty berumbah semringah. Wanita itu tidak akan kuberikan celah untuk menggaet suamiku lagi. Hanya Nandya dan aku sajalah yang boleh memiliki pria ini. Yang lain? Jangan harap!

“Kami pergi dulu, ya? Selamat menikmati makan siang ...,” ledekku dengan satu kedipan mata ke arah Desty.

Wanira itu memencak, tumit heelsnya beradu dengan karpet hingga teredam derapnya. Meski begitu, bisa kulihat jika Desty benar-benar kesal dengan perlakuan yang diterimanya dariku dan Yulia. Sedangkan aku, begitu puas berhasil mengusir lalat nakal dari buah kesayanganku— Mas Janu.

Berkat hal ini, aku bisa melihat wajah kesal dari musuhku, namun ada satu hal yang masih mengganggu, meski kami sudah berjalan cukup jauh dari ruang kerja dan Desty, perasaan Mas Janu seakan masih tertinggal di sana. Dia terlihat gelisah, hingga mengulum bibirnya beberapa kali.

Aku segera memberi kode pada Yulia yang berjalan di sisi kiriku, wanita yang sudah beberapa kali memberiku bantuan. Berharap jika Yulia bisa membaca raut wajah Mas Janu, dan memberiku pengertian alasan kenapa hal itu bisa terjadi.

Benarkah Mas Janu keberatan harus meninggalkan Desty di sana? Tapi kenapa? Aku terus menduga-duga sepanjang perjalanan kami.

——

Setelah makan malam, aku menyusun rencana untuk memberikan rekaman suara dari Desty dengan beberapa karyawan pria di kantor. Kulihat suamiku masih sibuk bermain dengan Nandya kecil yang belum bisa berlari dan baru bisa berdiri. Sejenak, hatiku gundah, jika momen manis ini berakhir karena aku mengungkit perihal Desty pada Mas Janu.

Meski begitu, ini adalah salah satu caraku untuk memperbaiki hubungan kami yang memudar akibat kehadiran Desty. Tidak ikhlas rasanya, jika aku menyerah begitu saja dan mempermudah usaha Desty untuk bisa memiliki Mas Janu seorang diri.

“Mas ....” Aku memanggil namanya pelan, agar tidak mengundang perhatian dari Mbok Sunem dari dapur.

Mas Janu menoleh sejenak, pria itu mengusaikan permainan susun baloknya dengan Nandya yang berbicara saja belum bisa, hanya mampu memanggil ayahnya dengan kata ba ba ba dan tidak terdengar mampu menyebut namaku.

“Kenapa, Sar?”

“Kita bicara sebentar, Mas,” jawabku.

Mas Janu mengernyit, tidak segera menjawab, melainkan memainkan kembali balok-balok yang terbuat dari kain bersama Nandya. Kutatap punggungnya yang lebar, tempat di mana lelahku selalu bersandar setiap malam, dan lagi-lagi aku semakin tidak sudi jika tubuh itu berpindah pada Desty.

“Mas ....”

“Iya, kita bicara kalau Nandya sudah tidur, Sar,” balas Mas Janu tanpa menoleh ke belakang.

Sejujurnya, sikapnya itu mengundang badai nyeri di hatiku. Mas Janu jadi lebih sering memanggil dengan kata Sari dibanding sayang atau istriku sekarang, seakan-akan julukan manja itu tidak lagi pantas disadurkannya untukku.

“Jangan lama ya, Sar, Mas besok harus ketemu klien,” imbuhnya lagi.

Suara Mas Janu terdengar lebih dingin, berbeda jauh dengan caranya bicara pada Nandya. Aku meneguk sakit itu seorang diri dari meja makan, seraya mengusap pipi yang ternyata sudah basah oleh anak sungai air mata.

“Kita bicara sekarang saja!” Tiba-tiba Mas Janu bangkit. Rupanya, Nandya sudah terlelap di alas tidurnya yang bergambar lebah.

Mas Janu lantas menggeser alas putri kecil kami dengan pelan, memastikan Nandya tertidur dengan nyaman sebelum dia beranjak mendekatiku yang hanya duduk menunggu.

Perhatianku teralihkan dari Nandya yang menggemaskan, lalu pada  ayahnya. Pria yang telah mengisi rahimku dengan benih kecil yang terlahir cantik itu memilih kursi berlawanan. Kami dipisahkan oleh meja makan yang lebar, lalu saling tatap sesaat.

Aku menelan paksa saliva begitu beradu pandang dengan Mas Janu. Dia begitu serius, hingga aura mencekam menguap dari pundaknya yang lebar.

“Mau bicara apa, Sar?” tanyanya dengan intonasi datar.

Kurasakan batin ini terluka menyadari bagaimana berbedanya sikap dari Mas Janu. “Mas, dengarkan ini!” ucapku seraya menyodorkan gawai.

Rekaman suara milik Desty berputar, disimak oleh Mas Janu sendiri. Syukurlah, setiap kalimat dari Desty terdengar dengan jelas, termasuk saat bagaimana wanita itu bertukar nomor telepon dengan karyawan yang baru dikenalinya waktu itu.

“Lalu?” Mas Janu mematikan rekaman. Dia menatapku seolah-olah apa yang kuperlihatkan bukanlah hal penting baginya.

“Lalu ... Mas? Itu, Desty!”

“Mas tahu ini Desty. Lalu apa tujuannya memperlihatkan padaku, Sar?”

“Astaga, Mas ... ini sifat aslinya Desty. Mas harusnya sadar kalau misalkan dia ....”

“Hentikan ini, Sar!” perintah Mas Janu, gawaiku didorongnya kembali.

Aku terbungkam dengan pupil melebar. Mas Janu terlihat begitu serius memintaku saat ini.

“Kamu sudah keterlaluan! Mas muak melihat sikapmu seperti ini! Kamu jadi kasar dan tidak sabaran,” imbuhnya lagi.

“Mas ... kamu ....”

“Mas enggak mau mendengar apapun soal Desty, Sar! Cukup sampai di sini kamu menjelek-jelekkan dia bahkan nyakitin dia seperti tadi pagi!”

Mas Janu mengusaikan pembicaraan kami sebelum aku sempat membantahnya. Pria itu gegas meninggalkan kursi, berbalik lagi ke ruang keluarga yang terlihat dari dapur lalu menggendong Nandya kecil dengan penuh kasih sayang.

Hanya aku yang ditinggalkannya sendirian dengan air mata yang terus berlinang. Tapi aku belum menyerah, jika cara ini tidak berhasil, maka aku yakin akan terbuka jalan yang lain.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jadi istri klu terlalu banyak bacot juga g bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status