Share

Bab 5: Bukti Rekaman

Author: Bemine
last update Last Updated: 2023-02-26 11:04:10

Bab 5: Bukti Rekaman

“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.

Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.

Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.

Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.

“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.

“Loh, bukannya kalian udah delivery, ya?” terka Desty.

Aku segera mengerucutkan bibir, bermain-main dengan bola mataku agar tidak perlu menatap wajah menyebalkan wanita itu. Hanya tinggal mendengar persetujuan dari Yulia dan kami bisa segera pergi dari sini.

“I-iya, ayuk! Aku udah lapar banget!” sambut Yulia. Aku tahu, wanita itu memang pintar.

“Kalian sengaja banget, ya? Padahal udah pesan makanan. Tapi demi mengha ....”

“Kami pesan makanan buat makan malam tuh!” sahutku cepat.

“Sar ... udah, jangan dilanjut di sini. Sebaiknya kita pergi sekarang,” tahan Mas Janu, mungkin melihat gelagatku yang mulai mempermainkan Desty.

“Mas, aku ikut!” Desty menatap suamiku. Anehnya, tatapan Desty barusan membuat Mas Janu merubah pikirannya. Seolah-olah terhipnotis oleh perkataan wanita itu.

“Ya sudah, sekalian saja semuanya.”

“No! Mas, aku enggak mau!”

“Aku juga nggak mau, Mas!” imbuh Yulia.

Kami menahan Mas Janu lebih dulu sebelum Desty berumbah semringah. Wanita itu tidak akan kuberikan celah untuk menggaet suamiku lagi. Hanya Nandya dan aku sajalah yang boleh memiliki pria ini. Yang lain? Jangan harap!

“Kami pergi dulu, ya? Selamat menikmati makan siang ...,” ledekku dengan satu kedipan mata ke arah Desty.

Wanira itu memencak, tumit heelsnya beradu dengan karpet hingga teredam derapnya. Meski begitu, bisa kulihat jika Desty benar-benar kesal dengan perlakuan yang diterimanya dariku dan Yulia. Sedangkan aku, begitu puas berhasil mengusir lalat nakal dari buah kesayanganku— Mas Janu.

Berkat hal ini, aku bisa melihat wajah kesal dari musuhku, namun ada satu hal yang masih mengganggu, meski kami sudah berjalan cukup jauh dari ruang kerja dan Desty, perasaan Mas Janu seakan masih tertinggal di sana. Dia terlihat gelisah, hingga mengulum bibirnya beberapa kali.

Aku segera memberi kode pada Yulia yang berjalan di sisi kiriku, wanita yang sudah beberapa kali memberiku bantuan. Berharap jika Yulia bisa membaca raut wajah Mas Janu, dan memberiku pengertian alasan kenapa hal itu bisa terjadi.

Benarkah Mas Janu keberatan harus meninggalkan Desty di sana? Tapi kenapa? Aku terus menduga-duga sepanjang perjalanan kami.

——

Setelah makan malam, aku menyusun rencana untuk memberikan rekaman suara dari Desty dengan beberapa karyawan pria di kantor. Kulihat suamiku masih sibuk bermain dengan Nandya kecil yang belum bisa berlari dan baru bisa berdiri. Sejenak, hatiku gundah, jika momen manis ini berakhir karena aku mengungkit perihal Desty pada Mas Janu.

Meski begitu, ini adalah salah satu caraku untuk memperbaiki hubungan kami yang memudar akibat kehadiran Desty. Tidak ikhlas rasanya, jika aku menyerah begitu saja dan mempermudah usaha Desty untuk bisa memiliki Mas Janu seorang diri.

“Mas ....” Aku memanggil namanya pelan, agar tidak mengundang perhatian dari Mbok Sunem dari dapur.

Mas Janu menoleh sejenak, pria itu mengusaikan permainan susun baloknya dengan Nandya yang berbicara saja belum bisa, hanya mampu memanggil ayahnya dengan kata ba ba ba dan tidak terdengar mampu menyebut namaku.

“Kenapa, Sar?”

“Kita bicara sebentar, Mas,” jawabku.

Mas Janu mengernyit, tidak segera menjawab, melainkan memainkan kembali balok-balok yang terbuat dari kain bersama Nandya. Kutatap punggungnya yang lebar, tempat di mana lelahku selalu bersandar setiap malam, dan lagi-lagi aku semakin tidak sudi jika tubuh itu berpindah pada Desty.

“Mas ....”

“Iya, kita bicara kalau Nandya sudah tidur, Sar,” balas Mas Janu tanpa menoleh ke belakang.

Sejujurnya, sikapnya itu mengundang badai nyeri di hatiku. Mas Janu jadi lebih sering memanggil dengan kata Sari dibanding sayang atau istriku sekarang, seakan-akan julukan manja itu tidak lagi pantas disadurkannya untukku.

“Jangan lama ya, Sar, Mas besok harus ketemu klien,” imbuhnya lagi.

Suara Mas Janu terdengar lebih dingin, berbeda jauh dengan caranya bicara pada Nandya. Aku meneguk sakit itu seorang diri dari meja makan, seraya mengusap pipi yang ternyata sudah basah oleh anak sungai air mata.

“Kita bicara sekarang saja!” Tiba-tiba Mas Janu bangkit. Rupanya, Nandya sudah terlelap di alas tidurnya yang bergambar lebah.

Mas Janu lantas menggeser alas putri kecil kami dengan pelan, memastikan Nandya tertidur dengan nyaman sebelum dia beranjak mendekatiku yang hanya duduk menunggu.

Perhatianku teralihkan dari Nandya yang menggemaskan, lalu pada  ayahnya. Pria yang telah mengisi rahimku dengan benih kecil yang terlahir cantik itu memilih kursi berlawanan. Kami dipisahkan oleh meja makan yang lebar, lalu saling tatap sesaat.

Aku menelan paksa saliva begitu beradu pandang dengan Mas Janu. Dia begitu serius, hingga aura mencekam menguap dari pundaknya yang lebar.

“Mau bicara apa, Sar?” tanyanya dengan intonasi datar.

Kurasakan batin ini terluka menyadari bagaimana berbedanya sikap dari Mas Janu. “Mas, dengarkan ini!” ucapku seraya menyodorkan gawai.

Rekaman suara milik Desty berputar, disimak oleh Mas Janu sendiri. Syukurlah, setiap kalimat dari Desty terdengar dengan jelas, termasuk saat bagaimana wanita itu bertukar nomor telepon dengan karyawan yang baru dikenalinya waktu itu.

“Lalu?” Mas Janu mematikan rekaman. Dia menatapku seolah-olah apa yang kuperlihatkan bukanlah hal penting baginya.

“Lalu ... Mas? Itu, Desty!”

“Mas tahu ini Desty. Lalu apa tujuannya memperlihatkan padaku, Sar?”

“Astaga, Mas ... ini sifat aslinya Desty. Mas harusnya sadar kalau misalkan dia ....”

“Hentikan ini, Sar!” perintah Mas Janu, gawaiku didorongnya kembali.

Aku terbungkam dengan pupil melebar. Mas Janu terlihat begitu serius memintaku saat ini.

“Kamu sudah keterlaluan! Mas muak melihat sikapmu seperti ini! Kamu jadi kasar dan tidak sabaran,” imbuhnya lagi.

“Mas ... kamu ....”

“Mas enggak mau mendengar apapun soal Desty, Sar! Cukup sampai di sini kamu menjelek-jelekkan dia bahkan nyakitin dia seperti tadi pagi!”

Mas Janu mengusaikan pembicaraan kami sebelum aku sempat membantahnya. Pria itu gegas meninggalkan kursi, berbalik lagi ke ruang keluarga yang terlihat dari dapur lalu menggendong Nandya kecil dengan penuh kasih sayang.

Hanya aku yang ditinggalkannya sendirian dengan air mata yang terus berlinang. Tapi aku belum menyerah, jika cara ini tidak berhasil, maka aku yakin akan terbuka jalan yang lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jadi istri klu terlalu banyak bacot juga g bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)

    Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 55: Jawaban yang Ditunggu

    Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 54: Pengakuan Mas Janu

    Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 53: Permintaan

    Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota Baru

    Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 51: Perpisahan

    Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status