Home / Rumah Tangga / Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda / Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu

Share

Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu

Author: Bemine
last update Last Updated: 2023-02-25 11:40:10

Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu

“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.

Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”

“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.

“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.

“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.

“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu mencoba merangkulku agar segera menjauh dari Desty. Memintaku bersikap lebih bijaksana dan tidak mengutamakan emosi.

“Nah, kan ... makanya Sar jadi perempuan ja ....”

Tapi aku, tidak mampu menahan kekecewaanku pada Mas Janu dan Desty. Tanganku yang sedari tadi menempeli kursi, berpindah ke surai Desty yang tercepol rapi. Seketika, wajah wanita itu tertengadah dan jerit kesakitan darinya menggema.

“Apa-apaan kamu, Sari!” Desty terus meliuk-liuk, mencoba melepaskan diri. Rasa perih yang merongrong kulit kepalanya semakin menjadi-jadi setiap kali tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku tidak perduli sama sekali, semua rasa sakit kutumpahkan dalam tarikan panjang nan keras.

“Gila! Mas ... Mas Janu! Istrimu sudah gila!” umpatnya tanpa henti.

Yulia ikut menahan tanganku, mencoba melerai pembalasan yang kulakukan pada wanita tanpa malu itu. Tetapi sia-sia saja, tenagaku jauh lebih besar dari Yulia. Wanita itu kudorong menjauh dari Desty dengan tangan kiri, lalu menjambak Desty lebih keras lagi.

Kini, jerit kesakitan berubah menjadi lolongan panjang tanpa ujung. Desty mengemis bantuan dari Mas Janu yang bagaikan patung, serta Yulia yang masih terkejut dengan kekuatanku.

“Kamu mau merusak rumah tanggaku? Mau rambutmu botak, hah?” ancamku. Desty meraung lagi, tubuhnya yang lebih tinggi ternyata tidak sepadan dengan kekuatannya. Wanita itu tidak punya tenaga untuk meloloskan diri dari jerat jambakanku.

“Aku memberimu peringatan, bukan mengajakmu main rumah-rumahan! Tapi jika kamu masih mau, aku akan membangunkanmu sebuah rumah ... rumah hantu!” tegasku seraya menghempas Desty.

Wanita itu terjengkang, hampir saja terjatuh jika tidak sempat berpegangan pada lengan kursi.

“Sar ... kamu kelewatan, kamu melakukan kekerasan!” seloroh Mas Janu, namun dia tidak beranjak dari posisinya untuk membantu Desty.

Aku mengurai senyum, merasa muak dengan pria ini, juga Desty. “Aku kelewatan? Kalian berdua memang perlu dibelikan kaca biar sadar diri!”

“Sari ... kamu tidak seharusnya bersikap jahat sama aku dan Karnelia. Aku kerja cuma buat ngebiayain dia dirawat di rumah sakit, Sar,” elak Desty dengan mata berkaca.

Aku mencebik lagi, bibir Desty sudah bergitu fasih memanggil namaku, tanpa menambahkan embel-embel mba di belakangnya seperti semalam. Dan, begitu lihai dalam berdusta.

“Desty ... kamu yang harusnya sadar diri.” Yulia angkat bicara, mungkin geram dengan sandiwara dari gadis yang begitu dekat dengannya di masa lalu.

Yulia berjalan mendekati kami, ditatapnya terus paras Desty yang memerah akibat rasa sakit di kulit kepalanya. Wanita itu menggeleng, lantas melanjutkan kalimatnya, “Kamu sendiri yang ninggalin Mas Janu dulu, kenapa sekarang kamu datang lagi, sih? Kamu butuh uang ... aku bisa ngasih kamu uang. Jangan jadi wanita murahan seperti ini.”

“Kamu ngatain aku murahan? Dia yang murahan!” Desty menunjukku.

“Eh ... apa-apaan ini?”

“Gara-gara dia, Yul ... aku enggak bisa jadi istri Mas Janu.”

“Tobat kamu, Des! Jelas-jelas kamu yang duluan pergi ninggalin Mas Janu karena dulu dia masih karyawan biasa. Sekarang kamu tahu jabatannya tinggi, kamu datang lagi. Dimana rasa malumu, hah? Bahkan aku malu punya teman seperti kamu!” sergah Yulia berapi-api. Keduanya terlibat adu mulut dalam jangka waktu yang cukup lama. Syukurnya, kantor Mas Janu sudah dipasangi pengedap suara, hingga tidak akan terlalu kentara jika kami sedang bersilat kata.

“Sar ... kita bicara nanti di rumah, ya?” Mas Janu menengahi.

“Sekarang, kalian silahkan keluar dari kantorku!” lanjutnya lagi.

Mendorong perlahan, Mas Janu memaksa kami bertiga angkat kaki dari ruangannya yang luas dan nyaman. Aku dan Yulia menurut meski masih kesal, sedangkan Desty mulai merengek-rengek pada suamiku.

“Keluar, Des! Nganjen juga harus ada batasnya!” sambar Yulia seraya menarik Desty menjauh dari Mas Janu.

Terakhir kalinya, sebelum menutup rapat pintu kantor Mas Janu, sempat kulihat parasnya yang lelah dan bingung. Suamiku mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian membuang pandangannya melalui jendela lebar di belakangnya.

--

Saat jam makan siang tiba, aku dan Yulia memutuskan untuk delivery dibanding harus keluar ke rumah makan terdekat dengan kantor. Fokusku yang terpecah akibat kejadian pagi tadi serta kehadiran Desty di kubikel di belakang kami membuat seluruh pekerjaanku berantakan, tidak ada yang beres sama sekali.

Belum lagi, setiap ada karyawan lelaki yang lewat di unit kami, Desty dengan ringannya menyapa mereka satu per satu seraya tersenyum. Tidak jarang, mengobrol barang beberapa kata sebelum akhirnya bertukar nomor telepon.

Aku yang melihat semua itu, sempat merekam pembicaraan Desty dan karyawan lain, untuk kutunjukkan pada Mas Janu sepulang nanti. Membuktikan pada pria itu, jika Desty tidak sebaik yang dikiranya selama ini, dan memastikan ini terakhir kalinya Mas Janu berada dalam lingkaran setan yang dibangun Desty.

Saved?” Yulia berbisik.

Done!” balasku hampir tidak terdengar.

Aku menyimpan rekaman salinan itu dan menduplikasinya di folder yang berbeda. Takut-takut ada kejadian tidak terduga hingga mengakibatkan bukti berharga ini menghilang.

Seraya tersenyum penuh arti pada Yulia, aku mengecek lagi aplikasi pengiriman makanan yang sedang mengantarkan pesanan kami. Meski rasanya mencekik bekerja di bawah atap yang sama dengan wanita berhati jahat itu, tetap saja aku akan makan enak dan kenyang, demi mengumpulkan tenaga melawan setiap perilaku busuk yang dia tunjukkan di masa depan.

“Makan apa, Sari?” Mas Janu menyapa, dia sudah berdiri di dekat mejaku.

Aku menengadah malas, menatap pria yang memberiku bidadari -- Nandya. Jika bukan karena gadis kecil yang tinggal bersama Mbok Sunem di rumah, maka melihat Mas Janu sudah tidak akan pernah lagi kulakukan sebelum dia menghentikan kegilaannya bersama Desty.

“Mas Janu, kita makan bareng, yuk?”

Aku belum menjawab, tapi Desty sudah lebih dulu menyambar. Benar-benar rasa sakitnya tadi telah hilang, mungkin wanita itu ingin merasakannya lagi di bagian yang lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nyaprut
jadilah istri sah yang bar bar biar laki laki sampah seperti jalu bisa waras
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)

    Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 55: Jawaban yang Ditunggu

    Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 54: Pengakuan Mas Janu

    Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 53: Permintaan

    Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota Baru

    Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 51: Perpisahan

    Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status