Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu
“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.
Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”
“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.
“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.
“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.
“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu mencoba merangkulku agar segera menjauh dari Desty. Memintaku bersikap lebih bijaksana dan tidak mengutamakan emosi.
“Nah, kan ... makanya Sar jadi perempuan ja ....”
Tapi aku, tidak mampu menahan kekecewaanku pada Mas Janu dan Desty. Tanganku yang sedari tadi menempeli kursi, berpindah ke surai Desty yang tercepol rapi. Seketika, wajah wanita itu tertengadah dan jerit kesakitan darinya menggema.
“Apa-apaan kamu, Sari!” Desty terus meliuk-liuk, mencoba melepaskan diri. Rasa perih yang merongrong kulit kepalanya semakin menjadi-jadi setiap kali tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku tidak perduli sama sekali, semua rasa sakit kutumpahkan dalam tarikan panjang nan keras.
“Gila! Mas ... Mas Janu! Istrimu sudah gila!” umpatnya tanpa henti.
Yulia ikut menahan tanganku, mencoba melerai pembalasan yang kulakukan pada wanita tanpa malu itu. Tetapi sia-sia saja, tenagaku jauh lebih besar dari Yulia. Wanita itu kudorong menjauh dari Desty dengan tangan kiri, lalu menjambak Desty lebih keras lagi.
Kini, jerit kesakitan berubah menjadi lolongan panjang tanpa ujung. Desty mengemis bantuan dari Mas Janu yang bagaikan patung, serta Yulia yang masih terkejut dengan kekuatanku.
“Kamu mau merusak rumah tanggaku? Mau rambutmu botak, hah?” ancamku. Desty meraung lagi, tubuhnya yang lebih tinggi ternyata tidak sepadan dengan kekuatannya. Wanita itu tidak punya tenaga untuk meloloskan diri dari jerat jambakanku.
“Aku memberimu peringatan, bukan mengajakmu main rumah-rumahan! Tapi jika kamu masih mau, aku akan membangunkanmu sebuah rumah ... rumah hantu!” tegasku seraya menghempas Desty.
Wanita itu terjengkang, hampir saja terjatuh jika tidak sempat berpegangan pada lengan kursi.
“Sar ... kamu kelewatan, kamu melakukan kekerasan!” seloroh Mas Janu, namun dia tidak beranjak dari posisinya untuk membantu Desty.
Aku mengurai senyum, merasa muak dengan pria ini, juga Desty. “Aku kelewatan? Kalian berdua memang perlu dibelikan kaca biar sadar diri!”
“Sari ... kamu tidak seharusnya bersikap jahat sama aku dan Karnelia. Aku kerja cuma buat ngebiayain dia dirawat di rumah sakit, Sar,” elak Desty dengan mata berkaca.
Aku mencebik lagi, bibir Desty sudah bergitu fasih memanggil namaku, tanpa menambahkan embel-embel mba di belakangnya seperti semalam. Dan, begitu lihai dalam berdusta.
“Desty ... kamu yang harusnya sadar diri.” Yulia angkat bicara, mungkin geram dengan sandiwara dari gadis yang begitu dekat dengannya di masa lalu.
Yulia berjalan mendekati kami, ditatapnya terus paras Desty yang memerah akibat rasa sakit di kulit kepalanya. Wanita itu menggeleng, lantas melanjutkan kalimatnya, “Kamu sendiri yang ninggalin Mas Janu dulu, kenapa sekarang kamu datang lagi, sih? Kamu butuh uang ... aku bisa ngasih kamu uang. Jangan jadi wanita murahan seperti ini.”
“Kamu ngatain aku murahan? Dia yang murahan!” Desty menunjukku.
“Eh ... apa-apaan ini?”
“Gara-gara dia, Yul ... aku enggak bisa jadi istri Mas Janu.”
“Tobat kamu, Des! Jelas-jelas kamu yang duluan pergi ninggalin Mas Janu karena dulu dia masih karyawan biasa. Sekarang kamu tahu jabatannya tinggi, kamu datang lagi. Dimana rasa malumu, hah? Bahkan aku malu punya teman seperti kamu!” sergah Yulia berapi-api. Keduanya terlibat adu mulut dalam jangka waktu yang cukup lama. Syukurnya, kantor Mas Janu sudah dipasangi pengedap suara, hingga tidak akan terlalu kentara jika kami sedang bersilat kata.
“Sar ... kita bicara nanti di rumah, ya?” Mas Janu menengahi.
“Sekarang, kalian silahkan keluar dari kantorku!” lanjutnya lagi.
Mendorong perlahan, Mas Janu memaksa kami bertiga angkat kaki dari ruangannya yang luas dan nyaman. Aku dan Yulia menurut meski masih kesal, sedangkan Desty mulai merengek-rengek pada suamiku.
“Keluar, Des! Nganjen juga harus ada batasnya!” sambar Yulia seraya menarik Desty menjauh dari Mas Janu.
Terakhir kalinya, sebelum menutup rapat pintu kantor Mas Janu, sempat kulihat parasnya yang lelah dan bingung. Suamiku mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian membuang pandangannya melalui jendela lebar di belakangnya.
--
Saat jam makan siang tiba, aku dan Yulia memutuskan untuk delivery dibanding harus keluar ke rumah makan terdekat dengan kantor. Fokusku yang terpecah akibat kejadian pagi tadi serta kehadiran Desty di kubikel di belakang kami membuat seluruh pekerjaanku berantakan, tidak ada yang beres sama sekali.
Belum lagi, setiap ada karyawan lelaki yang lewat di unit kami, Desty dengan ringannya menyapa mereka satu per satu seraya tersenyum. Tidak jarang, mengobrol barang beberapa kata sebelum akhirnya bertukar nomor telepon.
Aku yang melihat semua itu, sempat merekam pembicaraan Desty dan karyawan lain, untuk kutunjukkan pada Mas Janu sepulang nanti. Membuktikan pada pria itu, jika Desty tidak sebaik yang dikiranya selama ini, dan memastikan ini terakhir kalinya Mas Janu berada dalam lingkaran setan yang dibangun Desty.
“Saved?” Yulia berbisik.
“Done!” balasku hampir tidak terdengar.
Aku menyimpan rekaman salinan itu dan menduplikasinya di folder yang berbeda. Takut-takut ada kejadian tidak terduga hingga mengakibatkan bukti berharga ini menghilang.
Seraya tersenyum penuh arti pada Yulia, aku mengecek lagi aplikasi pengiriman makanan yang sedang mengantarkan pesanan kami. Meski rasanya mencekik bekerja di bawah atap yang sama dengan wanita berhati jahat itu, tetap saja aku akan makan enak dan kenyang, demi mengumpulkan tenaga melawan setiap perilaku busuk yang dia tunjukkan di masa depan.
“Makan apa, Sari?” Mas Janu menyapa, dia sudah berdiri di dekat mejaku.
Aku menengadah malas, menatap pria yang memberiku bidadari -- Nandya. Jika bukan karena gadis kecil yang tinggal bersama Mbok Sunem di rumah, maka melihat Mas Janu sudah tidak akan pernah lagi kulakukan sebelum dia menghentikan kegilaannya bersama Desty.
“Mas Janu, kita makan bareng, yuk?”
Aku belum menjawab, tapi Desty sudah lebih dulu menyambar. Benar-benar rasa sakitnya tadi telah hilang, mungkin wanita itu ingin merasakannya lagi di bagian yang lain.
Bab 5: Bukti Rekaman“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.“Loh, bukannya
Bab 6: Pelajaran untuk Desty Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya. Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit. Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini. “Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbis
Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M
Bab 11: Hadiahkah Ini? Aku menatap dokter itu dengan sorot mata bingung. Telingaku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi rasanya tetap seperti mimpi. Bagaimana bisa dokter itu memvonisku mengandung? Benarkah ini? Sejak kapan ada bayi mungil di dalam perutku yang sangat rata? “Saya sarankan Anda mengunjungi dokter obgyn. Mungkin, masih kehamilan awal, makanya Anda belum menyadarinya.” Dokter tersebut berterus terang. “Saya juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam pernikahan Anda, tapi saya sarankan ada baiknya Anda membahas hal ini dengan suami Anda. Dalam beberapa kasus, kehamilan bisa menjadi pemikat kuat antara pasangan.” Aku terhenyak. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa aku mengandung kembali setelah sekian lama kosong? Bahkan, hubungan terakhirku dengan Mas Janu itu bulan lalu. Apa saat itu? Aku mengusap dada. Denyut jantung jadi lebih cepat dibanding sebelumnya. Bukankah harusnya aku bahagia karena akan
Bab 12: Panggilan yang Mencurigakan “Aku apa, Sari? Kenapa kamu jadi bingung begini, sih?” protesnya. Mas Janu lalu melirikku untuk kesekian kalinya. Dia pasti bingung melihat bagaimana gugupnya aku saat ini. Padahal, yang ingin kusampaikan padanya adalah berita besar yang tentu akan menggembirakan. “Apa pendapatmu soal kita ....” Lagi, lidahku kelu. Entah mengapa keraguan jauh lebih besar sampai aku tidak mampu mengungkapkannya pada Mas Janu. Benarkah ini pertanda akan ada hal buruk yang kami alami nantinya? Kuyakinkan lagi hati ini. Mas Janu berhak untuk tahu lebih dulu dibanding orang lain. Baru saja bibir ini hendak terbuka, Mas Janu berpaling ke arah gawainya yang dia simpan di dashboard mobil. Buru-buru Mas Janu mengambilnya, seolah khawatir jika aku merebutnya lebih dulu. Benda pipih yang mencurigakan itu berdering sangat pelan. Biasanya, Mas Janu selalu menyalakan dering lumayan keras agar dirinya bisa cepat me