Bab 6: Pelajaran untuk Desty
Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya.
Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit.
Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini.
“Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbisik, Yulia memandang ke satu arah.
“Muncul deh, Nyonya Desty ... mantan istrinya juragan emas!” ejek Yulia saat wanita bernama Desty itu datang.
Jalannya sangat diperhitungkan langkahnya, bahkan dari ujung kepala hingga kaki semua serba mewah dan indah. Aku tidak yakin tujuannya datang untuk bekerja atau berleha-leha seperti arisan. Entahlah, toh bukan dibayar dari tabunganku juga.
“Yah, begitulah,” jawabku lemas. Seluruh tubuhku terasa remuk karena tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.
Mas Janu sudah pindah ke sofa saat aku terbangun di tengah malam. Dia memilih beristirahat di sana seorang diri meski kaki panjangnya harus tertekuk ke lantai, yang membuatku menahan tangis semalaman.
“Lemes banget, Bu?” Yulia berbisik lagi.
Aku mengangguk, tidak kuasa berkata lebih banyak. Bukannya tidak mau berceloteh ria, melainkan tenaga yang kupunya hanya sedikit yang tersisa. Semoga saja, aku tidak tumbang di kantor.
“Semalam, Mas Janu tidur di sofa setelah aku memberikan rekaman itu, Yul ...,” jelasku pada Yulia, berharap bebanku sedikit berkurang usai berbagi kisah dengan wanita itu.
Mendengarku curhat, Yulia mengusaikan sarapan buahnya pagi ini, lalu memutar kursiku dengan bantuan kedua tangannya. Ditatapnya wajahku yang sayu, lalu memperhatikan kedua mata yang dihinggapi lingkaran gelap. “Wah, parah banget keadaanmu, Sar!”
“Aku udah enggak ngerti, dikasih apa Mas Janu sama Desty, Yul. Bisa-bisanya dia ngancam aku supaya berhenti nyakitin Desty. Padahal, jelas-jelas akulah yang disakitin sama dia di sini,” paparku putus asa. Kutekan sekuat tenaga nada bicara agar tidak meledak-ledak di depan Yulia hingga terdengar oleh Desty di seberang sana.
Belum lagi, suasana kantor sudah sangat ramai, para karyawan telah berdatangan sesaat lalu. Ditambah, belum ada dari mereka yang mulai bekerja, sebagiannya masih sibuk dengan sarapan sehat seperti Yulia, dan yang lainnya bercengkerama tentang bagaimana macetnya jalanan pagi ini.
“Gini, Gin ... untuk sementara kamu bersikap tenang dulu, biar Mas Janu enggak tambah marah sama kamu. Kita lihat sikapnya Desty nanti, kalau masih suka ngegoda suamimu, baru kita ambil langkah lagi, tapi jangan sampai ketahuan Mas Janu. Bisa-bisa kamu dimarahin lagi, dan nama Desty jadi makin ....”
“Kok ngomongin aku, sih? Pagi-pagi begini lagi bagi-bagi pahala, ya?”
Yang dibicarakan muncul tepat di belakang kami. Aroma menusuk dari parfum yang dikenakan Desty hampir saja membuat bulu hidungku rontok, bahkan di sebelahku, Yulia bersin mendadak.
“Kenapa, Sar? Gimana tuh ide kamu buat ngasih tahu Mas Janu? Lancar?” Desty membisiku, dan yang membuatku muak adalah tidak hanya deru napasnya yang menyapu pipiku, melainkan juga bagian tubuhnya yang menyembul ke depan itu tercetak di pundak kiriku.
“Bisa jauh dikit, nggak? Punya barang itu dijaga, jangan suka nemplok sana-sini!” balasku seketus mungkin. Aku tidak mengira jika ternyata Desty menyadari perilaku kami kemarin yang merekam dirinya.
“Makanya, Sar ... aku udah bilang, kan ... kalau mau ngelawan aku, pakai cara yang smart dikit!” Desty masih berbisik, deru napasnya kian keras menerpa wajahku.
“Jadi cewek murahan kok bangga!” sambut Yulia tiba-tiba. Wanita itu mendorong kursi dengan bantuan heelsnya hingga kembali ke kubikelnya.
Sontak saja, kalimat tajam dari Yulia membangkitkan emosi Desty. Wanita itu menggeram, bak induk kucing sungguhan. Wanita mana pun tentu akan marah jika dikatai sepedas dan serendah ini.
“Kalau enggak mau dihina, jangan sok menghina, Des! Kamu itu, bukan siapa-siapanya Mas Janu lagi,” sambung Yulia tanpa menoleh padanya.
Desty kena skak! Wanita itu memencak lagi di belakangku, namun tidak ada yang memerdulikannya. Setiap karyawan sibuk dengan dirinya sendiri, dan hanya Desty yang meninggalkan kubikel demi merecoki diriku.
Merasa tidak ada yang bisa dilakukannya lagi, kulirik Desty yang beranjak menuju tempat kerjanya. Wanita itu terlihat dongkol, hingga pensil yang ada di mejanya menjadi sasaran kemarahan.
“Sar ... temenin Mas ketemu klien! Asisten Manajer enggak datang hari ini!”
Aku mendongak karena mendengar suara suamiku. Benar saja, pria itu sudah berdiri agak jauh dari kubikel, memasang wajah seserius mungkin dan hanya menatap ke arahku.
“Aku bisa temenin, Mas!”
Ah ... aku sudah bosan sekali. Desty lagi-lagi menyambar mangsaku.
“Baik, Mas!” sahutku.
Baru hendak bangkit dari kursi, langkahku dihentikan oleh kedatangan Desty yang sudah lebih dulu mendatangi Mas Janu. Gelayut manjanya membuat kedua bola mataku melebar. Desty bersikap seakan-akan istri Mas Janu adalah dirinya.
“Aku masih bicara baik-baik, Des!” ingatku.
Desty bergeming, meski Mas Janu terlihat risih dan tidak nyaman. Beberapakali pria itu mencoba melepaskan dekapan Desty pada lengannya. Tidak hanya itu, tatapan para karyawan mulai berjatuhan pada Mas Janu.
“Kamu tidak mau mendengarku, Des?” Masih ... Desty acuh.
“Des ... lepas! Aku harus pergi dengan Sari!” Mas Janu masih berbicara dengan sopan.
“Desty, aku masih menunggu!” ancamku lagi dengan tangan yang terkepal.
Sungguh, perasaanku bergejolak hingga melampaui batas. Aku sudah memberi wanita itu tiga peringatan, tapi perkataanku dianggapnya bagaikan angin lalu.
“Baik ....”
Aku segera mendekati Desty, tanganku terulur ke depan, meraih rambutnya yang hari ini tergerai panjang. Desty menjerit kesakitan, semakin keras jeritannya, maka semakin keras aku menarik helaian surainya.
Amarahku sudah terlalu menumpuk, hingga membuat kedua mata ini buta lantas menyeret Desty ke wastafel yang terletak dekat dengan ruang kerja unit keuangan. Mereka menjerit, sebagian melongo melihat sikapku pada Desty yang tidak terkendali.
Aku mendendang daun pintunya yang tidak lagi bisa dikunci, lalu menyeret Desty ke wastafel, menghidupkan keran dan menenggelamkan wajah wanita itu di sana. Desty menjerit, menangis, memekik, namun kekuatanku tidak bisa dilawan olehnya.
“Aku sudah memberimu peringatan berulang kali, jangan ganggu suamiku!” teriakku dengan air mata yang terus berlinang. Apa pun yang terjadi setelah ini, aku tidak akan peduli.
Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M
Bab 11: Hadiahkah Ini? Aku menatap dokter itu dengan sorot mata bingung. Telingaku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi rasanya tetap seperti mimpi. Bagaimana bisa dokter itu memvonisku mengandung? Benarkah ini? Sejak kapan ada bayi mungil di dalam perutku yang sangat rata? “Saya sarankan Anda mengunjungi dokter obgyn. Mungkin, masih kehamilan awal, makanya Anda belum menyadarinya.” Dokter tersebut berterus terang. “Saya juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam pernikahan Anda, tapi saya sarankan ada baiknya Anda membahas hal ini dengan suami Anda. Dalam beberapa kasus, kehamilan bisa menjadi pemikat kuat antara pasangan.” Aku terhenyak. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa aku mengandung kembali setelah sekian lama kosong? Bahkan, hubungan terakhirku dengan Mas Janu itu bulan lalu. Apa saat itu? Aku mengusap dada. Denyut jantung jadi lebih cepat dibanding sebelumnya. Bukankah harusnya aku bahagia karena akan
Bab 12: Panggilan yang Mencurigakan “Aku apa, Sari? Kenapa kamu jadi bingung begini, sih?” protesnya. Mas Janu lalu melirikku untuk kesekian kalinya. Dia pasti bingung melihat bagaimana gugupnya aku saat ini. Padahal, yang ingin kusampaikan padanya adalah berita besar yang tentu akan menggembirakan. “Apa pendapatmu soal kita ....” Lagi, lidahku kelu. Entah mengapa keraguan jauh lebih besar sampai aku tidak mampu mengungkapkannya pada Mas Janu. Benarkah ini pertanda akan ada hal buruk yang kami alami nantinya? Kuyakinkan lagi hati ini. Mas Janu berhak untuk tahu lebih dulu dibanding orang lain. Baru saja bibir ini hendak terbuka, Mas Janu berpaling ke arah gawainya yang dia simpan di dashboard mobil. Buru-buru Mas Janu mengambilnya, seolah khawatir jika aku merebutnya lebih dulu. Benda pipih yang mencurigakan itu berdering sangat pelan. Biasanya, Mas Janu selalu menyalakan dering lumayan keras agar dirinya bisa cepat me
Bab 13: Ketukan Pintu dan Panggilan Putus Asa Malam itu, aku mengambil keputusan sulit dengan mengunci pintu depan. Mas Janu yang pergi untuk Desty tidak akan kuberi kesempatan untuk masuk. Dia sudah memilih, dan kubiarkan dia pergi dengan pilihannya. Semua itu kuterima meski hati ini tersayat sakit. Sembari menemani Nandya bermain, aku termenung berulang kali. Pernikahan yang kukira akan abadi, kapal yang kusangka akan terus berlabuh sampai ke pelabuhan terakhir, nyatanya goyang diterpa badai di awal perjalanan. “Nandya dan aku bisa tanpa papa,” bisikku pada diri sendiri. Nandya tidak mengerti arti dari air mata serta tindakan tersebut. Dia hanya terus bermain dan bermain, seolah esok hari akan tetap sama seperti ini. Lalu, kudengar ketukan pintu dari luar. Aku melirik jam di dinding, tepat pukul dua belas malam. Untuk pertama kalinya aku membiarkan Nandya bermain hingga larut dan aku terjaga dengan mata membengkak. K
Bab 14: Mas Janu dan Desty“Biadap sekali kalian berdua!” seruku dengan jari yang mengacung ke arah mereka.Bagaimana bisa Mas Janu dan Desty terus bersama meski kami baru saja bertengkar. Di depanku saat ini, Mas Janu duduk di atas kursi putarnya yang sempat kucintai, sedangkan Desty berada di depan meja dengan posisi condong ke arah Mas Janu.Mereka berdua sangat dekat, posisi mereka juga bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saat aku menerobos ke ruangan mereka, hanya Mas Janu yang terkejut, sedangkan Desty berbalik dengan sikap yang sangat anggun, seakan sudah menanti semua ini.“Sari?” Mas Janu berseru. Dia hendak meninggalkan kursinya sebelum aku meluncur cepat ke arah mereka berdua.“Tidak perlu bangun, kali ini aku yang datang!” balasku.Begitu tepat berada di depan mereka berdua, kuambil botol tinta yang ada di atas meja Mas Janu. Benda itu aku buka dan isinya segera melumuri tangan.