Share

Bab 6: Pelajaran untuk Desty

Author: Bemine
last update Last Updated: 2023-07-07 19:59:35

Bab 6: Pelajaran untuk Desty

Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya.

Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit.

Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini.

“Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbisik, Yulia memandang ke satu arah.

“Muncul deh, Nyonya Desty ... mantan istrinya juragan emas!” ejek Yulia saat wanita bernama Desty itu datang.

Jalannya sangat diperhitungkan langkahnya, bahkan dari ujung kepala hingga kaki semua serba mewah dan indah. Aku tidak yakin tujuannya datang untuk bekerja atau berleha-leha seperti arisan. Entahlah, toh bukan dibayar dari tabunganku juga.

“Yah, begitulah,” jawabku lemas. Seluruh tubuhku terasa remuk karena tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.

Mas Janu sudah pindah ke sofa saat aku terbangun di tengah malam. Dia memilih beristirahat di sana seorang diri meski kaki panjangnya harus tertekuk ke lantai, yang membuatku menahan tangis semalaman.

“Lemes banget, Bu?” Yulia berbisik lagi.

Aku mengangguk, tidak kuasa berkata lebih banyak. Bukannya tidak mau berceloteh ria, melainkan tenaga yang kupunya hanya sedikit yang tersisa. Semoga saja, aku tidak tumbang di kantor.

“Semalam, Mas Janu tidur di sofa setelah aku memberikan rekaman itu, Yul ...,” jelasku pada Yulia, berharap bebanku sedikit berkurang usai berbagi kisah dengan wanita itu.

Mendengarku curhat, Yulia mengusaikan sarapan buahnya pagi ini, lalu memutar kursiku dengan bantuan kedua tangannya. Ditatapnya wajahku yang sayu, lalu memperhatikan kedua mata yang dihinggapi lingkaran gelap. “Wah, parah banget keadaanmu, Sar!”

“Aku udah enggak ngerti, dikasih apa Mas Janu sama Desty, Yul. Bisa-bisanya dia ngancam aku supaya berhenti nyakitin Desty. Padahal, jelas-jelas akulah yang disakitin sama dia di sini,” paparku putus asa. Kutekan sekuat tenaga nada bicara agar tidak meledak-ledak di depan Yulia hingga terdengar oleh Desty di seberang sana.

Belum lagi, suasana kantor sudah sangat ramai, para karyawan telah berdatangan sesaat lalu. Ditambah, belum ada dari mereka yang mulai bekerja, sebagiannya masih sibuk dengan sarapan sehat seperti Yulia, dan yang lainnya bercengkerama tentang bagaimana macetnya jalanan pagi ini.

“Gini, Gin ... untuk sementara kamu bersikap tenang dulu, biar Mas Janu enggak tambah marah sama kamu. Kita lihat sikapnya Desty nanti, kalau masih suka ngegoda suamimu, baru kita ambil langkah lagi, tapi jangan sampai ketahuan Mas Janu. Bisa-bisa kamu dimarahin lagi, dan nama Desty jadi makin ....”

“Kok ngomongin aku, sih? Pagi-pagi begini lagi bagi-bagi pahala, ya?”

Yang dibicarakan muncul tepat di belakang kami. Aroma menusuk dari parfum yang dikenakan Desty hampir saja membuat bulu hidungku rontok, bahkan di sebelahku, Yulia bersin mendadak.

“Kenapa, Sar? Gimana tuh ide kamu buat ngasih tahu Mas Janu? Lancar?” Desty membisiku, dan yang membuatku muak adalah tidak hanya deru napasnya yang menyapu pipiku, melainkan juga bagian tubuhnya yang menyembul ke depan itu tercetak di pundak kiriku.

“Bisa jauh dikit, nggak? Punya barang itu dijaga, jangan suka nemplok sana-sini!” balasku seketus mungkin. Aku tidak mengira jika ternyata Desty menyadari perilaku kami kemarin yang merekam dirinya.

“Makanya, Sar ... aku udah bilang, kan ... kalau mau ngelawan aku, pakai cara yang smart dikit!” Desty masih berbisik, deru napasnya kian keras menerpa wajahku.

“Jadi cewek murahan kok bangga!” sambut Yulia tiba-tiba. Wanita itu mendorong kursi dengan bantuan heelsnya hingga kembali ke kubikelnya.

Sontak saja, kalimat tajam dari Yulia membangkitkan emosi Desty. Wanita itu menggeram, bak induk kucing sungguhan. Wanita mana pun tentu akan marah jika dikatai sepedas dan serendah ini.

“Kalau enggak mau dihina, jangan sok menghina, Des! Kamu itu, bukan siapa-siapanya Mas Janu lagi,” sambung Yulia tanpa menoleh padanya.

Desty kena skak! Wanita itu memencak lagi di belakangku, namun tidak ada yang memerdulikannya. Setiap karyawan sibuk dengan dirinya sendiri, dan hanya Desty yang meninggalkan kubikel demi merecoki diriku.

Merasa tidak ada yang bisa dilakukannya lagi, kulirik Desty yang beranjak menuju tempat kerjanya. Wanita itu terlihat dongkol, hingga pensil yang ada di mejanya menjadi sasaran kemarahan.

“Sar ... temenin Mas ketemu klien! Asisten Manajer enggak datang hari ini!”

Aku mendongak karena mendengar suara suamiku. Benar saja, pria itu sudah berdiri agak jauh dari kubikel, memasang wajah seserius mungkin dan hanya menatap ke arahku.

“Aku bisa temenin, Mas!”

Ah ... aku sudah bosan sekali. Desty lagi-lagi menyambar mangsaku.

“Baik, Mas!” sahutku.

Baru hendak bangkit dari kursi, langkahku dihentikan oleh kedatangan Desty yang sudah lebih dulu mendatangi Mas Janu. Gelayut manjanya membuat kedua bola mataku melebar. Desty bersikap seakan-akan istri Mas Janu adalah dirinya.

“Aku masih bicara baik-baik, Des!” ingatku.

Desty bergeming, meski Mas Janu terlihat risih dan tidak nyaman. Beberapakali pria itu mencoba melepaskan dekapan Desty pada lengannya. Tidak hanya itu, tatapan para karyawan mulai berjatuhan pada Mas Janu.

“Kamu tidak mau mendengarku, Des?” Masih ... Desty acuh.

“Des ... lepas! Aku harus pergi dengan Sari!” Mas Janu masih berbicara dengan sopan.

“Desty, aku masih menunggu!” ancamku lagi dengan tangan yang terkepal.

Sungguh, perasaanku bergejolak hingga melampaui batas. Aku sudah memberi wanita itu tiga peringatan, tapi perkataanku dianggapnya bagaikan angin lalu.

“Baik ....”

Aku segera mendekati Desty, tanganku terulur ke depan, meraih rambutnya yang hari ini tergerai panjang. Desty menjerit kesakitan, semakin keras jeritannya, maka semakin keras aku menarik helaian surainya.

Amarahku sudah terlalu menumpuk, hingga membuat kedua mata ini buta lantas menyeret Desty ke wastafel yang terletak dekat dengan ruang kerja unit keuangan. Mereka menjerit, sebagian melongo melihat sikapku pada Desty yang tidak terkendali.

Aku mendendang daun pintunya yang tidak lagi bisa dikunci, lalu menyeret Desty ke wastafel, menghidupkan keran dan menenggelamkan wajah wanita itu di sana. Desty menjerit, menangis, memekik, namun kekuatanku tidak bisa dilawan olehnya.

“Aku sudah memberimu peringatan berulang kali, jangan ganggu suamiku!” teriakku dengan air mata yang terus berlinang. Apa pun yang terjadi setelah ini, aku tidak akan peduli.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)

    Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 55: Jawaban yang Ditunggu

    Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 54: Pengakuan Mas Janu

    Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 53: Permintaan

    Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota Baru

    Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 51: Perpisahan

    Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status