11.Aku menatap pria itu dari bawah sampai atas, pakaian yang ia kenakan termasuk pakaian termahal karena aku tahu jenis bahannya meski kuliat dari kejauhan.Tatapan matanya sangat tajam seolah ia ingin menelanku hidup-hidup.Ya Allah cobaan apalagi ini, kenapa aku harus mendapatkan musibah di saat-saat seperti ini.Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula, mengesedih.Di saat pikiran sedang kacau karena urusan rumah tangga, sekarang aku harus berhadapan dengan manusia arogan karena tak sengaja menabrak mobilnya.Aku yakin sekali, kalau biaya perbaikan mobilnya pasti sangat mahal. Gajiku sebulan pun pasti tidak akan cukup.Aku menghela napas panjang karena harus dipertemukan dengan pria berwajah bengis seperti dia.Eh ... ngomong-ngomong soal wajah dan suara sepertinya saya pernah melihat dan mendengar suaranya.Tapi di mana? Aku memutar-mutar bola mata agar bisa mengingat pria itu.Astaga ... lidahku langsung k
Aku langsung berbalik meninggalkan pria arogan itu dengan wajah masam dan beribu tanya.Kira-kira imbalan apa yang akan dia minta padaku. Awas aja kalau dia minta aneh-aneh dan melampaui batas.Aku terus ngedumel sepanjang jalan menuju ruang kerjaku setelah menekan ID di mesin pendeteksi kehadiran yang ada di depan. Aku mengabaikan tatapan aneh para pekerja lain yang sudah mulai bekerja di tempat masing-masing, sedangkan aku baru saja tiba di jam segini.Aku melangkah masuk ke ruang kerja sambil mengembuskan napas panjang dan mempersiapkan diri untuk kena teguran atasan."Kak Ely, Supervisor memanggil kakak ke ruangannya!" kata Ani menyampaikan pesan dari Pak Heri."Sekarang banget, An?""Iya, Kak.""Tolong sampaikan sama Pak Heri ya, tunggu sebentar soalnya aku mau ke toilet dulu," kataku pada Ani yang mengangguk pelan.&nbs
"Bolehkah, saya masuk Pak Heri?" tanya pria yang baru saja menyahuti supervisor dan membuat tubuh ini menegang tiba-tiba.Benar-benar tidak sabar pria ini. Kenapa ia harus datang ke sini dan menemui atasanku? Aku kan sudah berjanji akan menyicil uang ganti rugi secara bertahap.Bagaimana kalau ia akan melaporkan aku pada atasan dan meminta jaminan pada Pak Heri. Bisa-bisa aku dipecat karena dianggap membawa-bawa nama pabrik dalam masalah.Aku mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbabku."Silakan Pak Adnan, mari masuk! Saya memang sedang menunggu Anda," ucapan Pak Heri membuatku tambah terkejut dan jantung ini kembali memompa lebih cepat dari sebelumnya.Apa tadi katanya? Sedang menunggu? Bukankah yang Pak Heri tunggu adalah anak dari Pak Syam Erlangga, apa pria ini ...
"APA? Alyera pergi dari rumah ini?!" pekik seseorang yang suaranya sangat aku kenali.Aku mengangkat wajah yang tadi tertunduk karena tidak berani menatap wajah sangar Bapak, lalu menatap ke arah sumber suara.Tepatnya di ambang pintu, tiga orang tengah berdiri menatap tajam ke arahku. Barang yang ia bawa sudah berada di lantai.Mata ini membulat seakan ingin keluar dari tempatnya, panik sekaligus takut melihat ketiga orang itu yang tak lain adalah Ibu Mertua, Bapak Mertua dan Adik iparku.Benar-benar tamat sudah riwayatku kali ini, di sini hanya ibuku yang akan membelaku, Bapak kandungku sudah pasti akan menelanku hidup-hidup, di tambah kedatangan keluarga istriku yang mendadak datang di waktu yang tidak tepat."Dasar mantu kurang ajar," teriak Bapak mertuaku yang langsung menghampiriku dan memberi pukulan di pipiku. "berani-beraninya kamu membohongi putriku, membohongi kami sem
POV AlyeraPria ini mendekat dan langsung membuka sabuk pengamanku, lalu membuka pintu mobil di sampingku."Kamu jangan coba-coba menyentuhku," omelku padanya saat membuka pintu mobil, "akan kupatahkan tanganmu itu kalau berani macam-macam.""Aku bisa membukanya sendiri," imbuhkum"Jangan sok alim ... bahkan kamu pernah menyentuh wajahku, bibirku, dan kita bahkan lebih dekat dari ini," sindirnya sambil menatap dengan penuh ejekan."Waktu ... waktu itu saya terpaksa dan tidak disengaja karena saya dalam keadaan terdesak. Saya tidak ingin Anda teriak dan mengacaukan persembunyianku," balasku gugup."CK, sembunyi dari seorang suami yang pura-pura lumpuh seumur hidup?" tanyanya sambil terkekeh.Aku menatapnya penuh selidik dan kenapa dia bisa tahu soal suamiku."Anda jangan sok tahu," omelku tidak terima diejek oleh
"Besok pergilah ke pabrik!" ucap ayahku yang saat ini sedang terbaring di salah satu ruangan VVIP yang ada rumah sakit."Untuk apa aku ke pabrik, Yah. Aku kembali ke sini hanya untuk menjenguk Ayah, bukan melihat pabrik," protesku padanya yang langsung membuang napas kasar.Saat ini ayahku--Syam Erlangga tengah dirawat karena faktor umur mungkin. Aku belum sempat bertemu dokter untuk menanyakan kondisi ayahku.Namaku Adnan Wahid Erlangga dan Intan Anugrah adalah ibuku yang selalu setia menemani suaminya.Seperti saat ini, ia tengah duduk di samping ayah dan dengan sigap melayaninya."Kamu harus mempersiapkan diri mulai sekarang untuk memimpin pabrik itu, Adnan. Hanya kamu anak kami satu-satunya dan hanya kamu yang berhak menjadi CEO di PT. Erlangga Industries, " balas Ayah dengan tegas.Ya ... aku anak tunggal dari keluarga ini dan sudah sangat lama aya
"Mau apa kalian?!" teriakku pada mereka yang menatap nyalang.Aku menatap tajam dua orang berpakaian serba hitam yang tadi menghadangku dengan motornya, kini mereka mendekat dan tertawa sangat keras hingga memecah kesunyian.Aku juga menoleh ke belakang, dua orang juga perlahan mendekat dengan seringainya."Siapa Kalian? Kenapa Kalian menghadangku?"Aku memasang kuda-kuda untuk bersiap siaga saat ada serangan dari mereka. Meskipun tidak yakin bisa mengalahkan mereka karena aku hanya sendirian sedangkan mereka ber-empat."Kamu tidak perlu tahu siapa kami. Kamu hanya perlu tahu kalau kami akan menghabisimu sekarang juga," balasnya mengancam."Aku tidak kenal siapa kalian!" balasku berteriak."Tapi Bos kami mengenalmu,"
POV Alyera.🌺🌺🌺Saat pria paruh baya itu menoleh ke belakang, aku langsung berlari dan menghambur ke pelukannya karena dia adalah Bapak, mereka keluargaku."Bapak!" ucapku dan Bapak mengangguk. Aku melepas pelukan itu, lalu berpindah memeluk ibuku dengan erat. Ibu mengecup pucuk kepalaku."Amran!" panggilku dan adikku mendekat dan langsung memeluk kami berdua.Aku menangis di pelukan mereka, apalagi saat Bapak juga mendekat dan menyentuh pucuk kepalaku yang tertutup jilbab.Aku tak menghiraukan lagi keadaan di sekitarku, tak peduli dengan pandangan orang yang mungkin menganggap diriku aneh."Ehemmm ...," deham seseorangAku menoleh pada pria arogan yang hampir aku lupakan keberadaannya padahal dia telah membawaku bertemu keluargaku."Pak, Bu, Amran, kapan kalian tiba di kota ini?kenapa tidak mengabarik