Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
🌺🌺🌺"Enggak, gak mungkin ... kamu salah orang kali, Nel?" kataku pada Nella-teman kerjaku di pabrik garmen. Baru saja dia menunjukkan sebuah foto seorang pria yang tengah duduk membelakangi kamera dan latar belakang sedang berada di sebuah restoran ternama di kota ini.Nella mengatakan, "Aku gak mungkin salah orang, Ly. Jelas banget itu suami kamu, kok. Aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri."Gadis berambut sebahu itu terus berusaha meyakinkanku."Tapi ini rasanya mustahil, Nel. Bagaimana mungkin Bang Danu bisa keluar rumah tanpa memberitahu aku lebih dulu? Kamu tahu sendiri kan, kalau dia lumpuh dan pergerakannya sangat terbatas," kataku sambil menggelengkan kepala berusaha gak suudzon dengan suami sendiri."Aku bingung harus percaya sama siapa? Sahabat atau suami yang sama-sama selalu menemaniku selama ini," batinku sangat bimbang, tetapi aku harus tetap berpikir positif dan mengambil sikap yang hati-hati supaya, tak ada hati yang terluka.Aku adalah seorang istri, juga ib
"Lihat apa sih, sampai kaget dan tegang gitu, Dek?" tanya Bang Danu yang hendak mengulurkan tangannya ke lantai untuk mengambil ponselku.Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah spontan mengambil ponselku yang jatuh tadi, sebelum keduluan olehnya. Entah kenapa, aku seolah belum siap menginterogasi Bang Danu soal foto itu.Hati kecilku memilih mengikuti arahan Nella, untuk diam-diam mencari tahu kebenaran suamiku. Jika memang benar Bang Danu yang ada di foto itu, kenapa dia tidak pernah cerita denganku?Dengan siapa dia pergi? Semua harus kucari tahu dengan benar dan akurat daripada aku terus saja berprasangka buruk dengan suamiku sendiri."Dek ... kok malah melamun?" Aku terkesiap saat Bang Danu melambaikan tangan di depanku."Hmm ... Maaf, Bang. Aku kurang fokus," jawabku sedikit gugup, namun aku berusaha untuk bersikap santai agar tidak terlalu mencolok."Pertanyaanku belum dijawab loh, Dek! Lagi liat apa sih di ponsel sampai segitunya gak fokus?" tanyanya hendak melihat ponselk
"Jangan main-main, sebaiknya kamu jujur ... atau aku ...," ucapan Nella yang samar terdengar di telingaku tiba-tiba menggantung.Aku yang memang memarkirkan motor agak jauh dari rumah, perlahan berjalan ke rumah dengan segala tanya di kepala.Otakku yang tiba-tiba traveling membuatku buntu. Yang ada dalam pikiranku saat ini, aku ingin tahu tujuan Nella tiba-tiba datang ke rumah tanpa memberitahukan kepadaku lebih dulu.Bukankah ia yang menyuruhku untuk mencurigai suamiku sendiri?Pertanyaan itu terus saja berputar di kepalaku.Bukankah ia pergi dengan calon suaminya?Aku menggelengkan kepala untuk menepis pikiran burukku terhadap suami dan sahabatku.Meski itu sangat mengganggu, apalagi banyak kejadian-kejadian nyata yang berseliweran tentang kasus suami dan sahabat yang selingkuh, terus sahabatnya jadi adik madu lalu istri pertama akan terbuang tanpa belas kasih.Aku menggeleng pelan saat pikiranku menjadi paranoid. "Tidak ... ini tidak mungkin, aku harus memastikannya sendiri," gum
Aku berdiri di ambang pintu kamar, sambil menyandar di kusen pintu dengan mata yang fokus menatap suamiku yang tak bosan-bosannya memainkan ponsel. Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjuk angka sepuluh, itu artinya sudah hampir tengah malam. Namun Bang Danu masih bergeming di depan TV yang sejak tadi siarannya tak dihiraukan olehnya. Aku mengembuskan napas berat, seberat beban yang aku tanggung selama ini, tetapi tak pernah terasa sama sekali karena aku selalu berlapang dada. Namun, kali ini dadaku rasanya sesak memikirkan kejanggalan yang terjadi belakangan ini. Tanpa sadar, bulir bening menetes di pelupuk mata. Aku mengelapnya pelan lalu melangkah ke kamar Naifa untuk memastikan kalau putri kesayanganku sudah tidur. Setelah memastikan, kalau Naifa sudah tidur. Aku kembali melangkah ke ruang nonton TV dan menemui Bang Danu untuk mengabarkan kalau esok pagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kakinya. "Bang ... besok pagi jangan lupa awal bangu
Namaku Danu Jaya, Jaya adalah nama Bapak dan Farida--ibuku. Alhamdulillah kedua orang tuaku masih ada dan masih sehat.Hanya saja, Bapak tidak terlalu suka padaku karena menurutnya aku anak pemalas. Hanya Ibu yang selalu menyayangi dan mendukung setiap langkahku."Kamu itu sudah menikah, sudah punya anak dan istri, tapi masih saja malas kerja! Kapan kamu dewasa, Danu? Mau kamu kasi makan apa anak orang, hah?" omel Bapak setiap aku datang ke rumahnya untuk minta uang buat beli rokok waktu itu."Makan nasi lah, Pak," balasku sambil mengisap rokok yang baru saja kuambil darinya dan berusaha tak ambil pusing dengan ocehannya yang sudah seperti buruh beo.Bapak memukul kepalaku dengan pecinya sambil terus memarahiku. "Kamu pikir, nasi itu bisa datang dengan sendirinya ke rumahmu! Kamu pikir anak orang mau cuman dikasi makan nasi saja tanpa lauk dan sayur!""Sudah ... sudah, Pak. Jangan memarahi Danu terus-menerus, Pak, yang ada dia makin buntu nanti otaknya. Kasihan anak kita, Pak." Ibu da
Siang itu sahabat istriku datang ke rumah dan menanyakan banyak hal padaku. Hanya saja, aku pura-pura bodoh dan tak mau menjawab sama sekali. Bahkan kata si Nella ini, dia pernah melihatku di restoran bersama kekasih gelapku, tetapi ia berjanji tidak akan memberitahu istriku kalau aku mau bekerja sama dengannya. Tentu saja aku menolak kerja sama dengannya, karena gak menguntungkan sama sekali buatku, bahkan bisa merugikan aku juga. Ibarat makan buah simalakama aku akan sama-sama dirugikan. Dia mengancam bahkan menyuruhku untuk jujur pada Ely bahwa aku hanya pura-pura lumpuh karena aku tak mau kerja sama dengannya. Pada saat itu hampir saja Ely mendengar ocehan si muka dua ini. Aku dan Nella sama-sama terkejut karena aku takut Ely curiga padaku dan Nella juga takut kalau Ely mendengar apa rencana kerja samanya sebenarnya. Rasanya jantungku bekerja begitu cepat saat itu juga dan hampir saja aku berpindah alam. Syukur aku gak ada riwayat penyakit jantungan. Aku berusaha menormalk