Share

Suamiku Tukang Tahu
Suamiku Tukang Tahu
Penulis: Diyah Islami

Bab 1 : Punggahan

[Nanti sore datang ke rumah, mau punggahan]

Aku yang baru saja selesai menjemur pakaian sontak tersenyum senang mendapati pesan itu di ponselku. Dari Bapak.

[Iya, Pak nanti Amira datang bersama Mas Haris]

Kukirimkan pesan, langsung dibaca oleh Bapak. Kemungkinan beliau menunggu pesan balasanku sejak tadi. Lalu setelahnya, tak ada balasan darinya.

Aku menghela nafas sembari duduk di tepi ranjang. Tak mudah membuat Bapak menerima pernikahanku dengan Mas Haris dulu. Katanya, aku membuat harga dirinya yang seorang juragan tanah terluka karena hanya bersuamikan tukang tahu. Beliau bahkan sempat tak ingin mengakuiku sebagai anaknya.

Namun, lambat laun entah sejak kapan Bapak mulai luluh. Selain karena aku dahulu begitu dekat dengan Bapak. Atas saran Mas Haris aku selalu menegurnya melalui pesan atau berkunjung ke rumah. Lalu, Bapak mulai tenang walau banyak diam kala aku dan Mas Haris datang.

Hanya Ibu dan Kak Ita yang masih menampakkan genderang permusuhan ketika melihat aku bersama Mas Haris. Entahlah, aku masih tak mengerti. Apa yang salah dari bersuamikan tukang tahu. Aku seperti melakukan dosa besar yang tak termaafkan.

“Dik, dicari dari tadi ternyata di sini. Mas pamit mau berangkat jualan.“

Aku tersentak dan menoleh, tersadar dari lamunan. Mas Haris muncul dari balik pintu. Sekilas kutatap jam di layar ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh.

“Maaf, Mas, habis balas pesan dari Bapak.“

“Bapak?“ Mas Haris masuk ke dalam kamar dan duduk tepat di sebelahku. Satu tangannya terulur memasukkan satu helai rambutku di bagian dahi yang ke luar dari hijab.

“Ah gak sadar kalau terlihat,” ucapku setelah Mas Haris selesai membenarkan letak hijabku kembali. 

“Gak apa-apa untung Mas yang lihat.“ Dia mengelus kepalaku dengan lembut. “Bapak mengirim pesan apa?“

“Mau punggahan di rumah nanti sore, Mas, jadi kita disuruh ke sana.“ Aku mengulurkan ponsel di tangan. Mas Haris mengangguk-angguk sembari mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.

“Kalau begitu harus bawa sesuatu yang Bapak dan Ibu suka. Nanti beli sekalian ke pasar, ya!“ Mas Haris menyodorkan dua lembar uang pecahan seratus ribuan padaku. Sontak aku menolak dengan halus.

“Tadi Mas sudah ngasih Mira seratus ribu, itu sudah cukup kok.“

“Yang itu untuk keperluan di rumah. Yang ini untuk dibawa ke rumah Ibu dan Bapak. Belikan bolu kesukaan Ibu dan Bika ambon kesukaan Bapak. Pasti mereka senang kalau kita bawa penganan kesukaan mereka, Dik. Salah satu cara meluluhkan hati Ibu dan Bapak dengan memberikan apa yang mereka suka. Jangan lupa beli buat Kak Ita juga.“

“Kamu baik sekali, Mas,  pada keluargaku meski mereka selalu memperlakukanmu dengan buruk.“

“Mereka begitu karena belum  mengenaliku lebih jauh Dik. Mungkin kalau lebih ….“ Perkataan Mas Haris terhenti membuat aku menatap ke arahnya.

“Kalau lebih?“ ulangku penasaran.

“Kalau lebih mungkin mereka akan jatuh cinta denganku sama sepertimu.“ Mas Haris menyentuh hidungku sembari tertawa.

“Halah gombal, Mas.“

“Serius, Dik, kan ada pepatahnya. Tak kenal maka tak sayang. Pernikahan kita baru satu tahun. Perlu sedikit waktu untuk mereka menerimaku.“

“Iya-iya, sudah ayo berangkat nanti Mas terlambat buat jualan ke pasar. Ini sudah hampir jam tujuh loh.“ Aku menunjuk jam dinding di kamar yang jarum panjangnya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas. 

“Ya Allah, sampai lupa. Yaudah ayo sekalian Mas antar pergi ke pasar.“

***

Beberapa belanjaan sudah di tangan. Makanan kesukaan Ibu dan Bapak serta untuk Kak Ita juga. Di pasar ini semuanya lengkap, jadi aku tak perlu jauh-jauh pergi ke berbagai tempat guna mencari satu persatu barang dalam nota belanjaku.

“Mang ayamnya satu ekor, ya!“ 

“Iya Mbak.“

“Eh, eh, eh … istrinya tukang tahu beli ayam juga? Kenapa gak masak tahu aja sih? Kasihan, tahunya kurang laku ya? Kulitasnya jelek?“

Aku menoleh ke asal suara. Seketika menggeleng tanpa menghiraukan ucapannya. Beberapa orang di depan tukang potong ayam itu mulai memperhatikan kami.

Dewi tampak kepanasan saat aku tak merespon dia yang mencoba memancing keributan. Dari dulu tak pernah berubah. Teman SMA sekaligus masih sepupu itu selalu merasa kalah saing denganku, entah dalam hal apa. Ia selalu melihatku dengan kacamata permusuhan.

“Istri tukang tahu mau beli ayam? Memangnya cukup duitnya? Ayam lagi naik harga loh. Nanti kurang lagi, mana belinya satu ekor. Kalau uangnya kurang nanti malu, mumpung aku di sini aku bayarin aja gimana?“ 

Nadanya halus namun terkesan meremehkan. Dewi berulangkali mengangkat tangannya saat berbicara. Gemerincing gelas emas yang hampir memenuhi pegelangan tangan terdengar nyaring di telinga, karena ia berdiri tepat di sebelahku.

“Gak usah, Wi, duitku masih cukup kok kalau cuma beli ayam.“ 

“Belagu banget, memangnya berapa sih jatah belanja istri tukang tahu? Paling cuma dua puluh ribu, kan? Ngaku kamu! Gak usah belagak sok kaya deh kalau masih miskin. Mending kayak aku, memang orang kaya. Duit belanjaku lima ratus ribu sehari.“

“Mbak yang kaya kalau mbaknya yang ini gak mau dibayarin, punya saya saja bayarin juga gak papa kok. Mbak kelihatan banyak uang emasnya sampai banyak gitu.“

Baru saja mulutku terbuka ingin membalas ucapannya. Seorang Ibu dengan songkok di kepalanya membalas ucapan Dewi sembari berkedip ke arahku.

“Dih, Ibu siapa? Main minta bayarin-bayarin aja. Saya memang banyak uang, tapi bukan buat bayarin belanjaan Ibu-Ibu.“

“Lah katanya situ orang kaya, niat bayarin lagi.“

“Ya memang saya orang kay—”

“Mbak ini ayamnya jadi dua puluh lima ribu.“

Ucapan Dewi terputus begitu saja dipotong tukang ayam. Ia mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan di depanku berlembar-lembar uang pecahan seratus ribuan.

“Lah katanya orang kaya, beli ayam kok cuma setengah kilo?“

Aku menatap ibu-ibu dengan songkok tadi. Sekilas kulihat Dewi melotot dengan mata hampir keluar dari tempatnya.

“Suka-suka saya dong, Bu. Saya ini orang kaya levelnya bukan ayam potong begini. Ini mah buat pembantu saya di rumah. Saya habis ini mau beli daging dua kilo. Ibu-ibu belum tentu mampu, kan? Apalagi kamu Mira, cuma istri jual tahu.“

“Iya-iya, Wi. Aku cuma mampu beli ayam doang gak kayak kamu,” ucapku berusaha menengahi pembicaraan ini. Ibu-ibu dengan songkok di kepalanya seperti berniat untuk membalas. Kutahan tangannya agar ia tak kelepasan.

“Nah, gitu dong. Udah miskin sadar diri.“ 

Aku menggeleng begitu Dewi berjalan meninggalkan tempat potong ayam. Seketika suasana memanas tadi tampak damai dan tentram.

“Orang kayak gitu mah mesti dibalas Mbak, jangan terlalu sabar. Dia selalu merasa hidupnya di atas terus. Padahal roda itu, kan, berputar.“

“Iya, Bu, biar saja, biar cape sendiri.“

“Ih saya mah gergetan atuh lihat mbaknya sabar banget.“

Aku tak membalas lagi, ayamku sudah selesai dipotong. Setelah berpamitan dengan si ibu tadi aku bergegas ke luar dari pasar.

Sampai di parkiran aku celingukan mencari tukang becak untuk membawaku pulang. Malah tak sengaja bersitatap dengan seseorang. Buru-buru aku berbalik pergi sebelum dia menyadari keberadaanku.

“Mira!“

Aku menghela nafas, berusaha memprcepat langkah tapi dia lebih cepat dari dugaan dan menghalang jalanku kini. 

“Minggir David!“ ucapku penuh penekanan dengan mata berkilat marah. Namun lelaki di depanku seolah tak gentar, ia tetap tak bergerak dari tempatnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Feri
Cakep ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status