Share

Bab 2 : Tersisihkan

“Minggir David!“

“Kamu mau pulang, kan? Ayo aku antar.“ Dia berucap tanpa memperdulikan perkataanku barusan. Tangannya terulur berusaha mengambil alih belanjaanku. Sontak aku mundur ke belakang guna menghindari tangannya bersentuhan denganku.

Aku memutuskan berbalik dan lewat dari arah lain. Tapi David kembali menghadang jalanku.

“David minggir! Kenapa kamu terus-terusan menghalangi jalanku?“

“Aku berniat membantu Mira. Kamu nampak kesusahan, suami kamu mana? Kenapa dia biarin kamu belanja sendirian?“

“Aku gak butuh bantuan kamu, tentang di mana suami aku saat ini bukan urusan kamu. Yang jelas sekarang dia lagi cari nafkah dengan bekerja, bukan ongkang-ongkang kaki nikmatin hasil kerja keras orang tua.“

Perkataanku sepertinya sedikit menyinggung David. Dia diam seketika dan itu kumanfaatkan untuk pergi dari hadapannya.

Tak kusangka David nekat. Ia menahan tanganku yang buru-buru kutepis keras hingga belanjanku jatuh.

“Kenapa sih, kamu selalu nolak keberadaanku Mir. Kenapa kamu lebih milih laki-laki miskin kayak Haris dibanding aku. Kalau kamu nikah sama aku dulu kamu gak bakalan kesusahan kayak gini.“

“Aku gak kesusahan Dav, buka kacamata kamu yang cuma lihat dari sudut pandang materi. Setidaknya Mas Haris lebih baik dari kamu. Dan ingat! Kamu udah menikah dan aku juga sudah menikah. Jadi hargai istri kamu yang saat ini hidup bersama kamu juga hargai aku sekarang yang sudah jadi istri orang lain.

Aku mendengkus sembari mengambil belanjaanku kembali. Kulihat Dewi di ujung jalan sana setengah berlari menghampiriku dan David. Kuputuskan untuk segera pergi sebelum hal buruk seperti di depan tukang ayam tadi terjadi lagi.

***

“Sudah semua? Gak ada yang ketinggalan, kan?“ 

Aku mengecek satu persatu barang bawaan kami. Setelahnya aku mengangguk pada Mas Haris.

“Sudah dibawa semua kok, Mas.“

“Ya sudah kalau begitu ayo pergi, sebelum maghrib.“

Aku mengunci pintu rumah terlebih dahulu. Menyerahkan satu kantong plastik berisik makanan untuk Kak Ita. Lalu aku memegang dua kantong berisi makanan untuk Bapak dan Ibu.

Motor Mas Haris melaju di jalanan sore ini. Berulangkali aku tersenyum membayangkan wajah Ibu yang sepertinya akan senang karena aku membawakannya bolu pandan jadul kesukaan Ibu yang sering beliau beli di toko langganannya. Begitu juga Bapak, pasti akan senang kalau tahu aku membawa bika ambon pandan keju kesukaannya.

Kami tiba sepuluh menit setelahnya. Rumah Bapak dan Ibu cenderung dekat dari rumah. Mas Haris memarkirkan motornya di pekarangan yang luas. Kulihat tiga  keponakanku tengah bermain ayunan di depan rumah.

Aku memimpin langkah bersama dengan Mas Haris di belakangku. Keadaan rumah terlihat sangat ramai. 

“Assalammu'alaikum,” ucapku sontak membuat bincang-bincang di ruang tamu itu seketika berhenti. Kutatap satu persatu orang yang ada di sana. Sampai aku bertemu pandang pada Dewi. Ia dan suaminya juga datang. 

Ada Kak Ita dan Ibu beserta yang lainnya menatapku dengan tidak ramah. Mereka hanya diam hingga membuatku dan Mas Haris bingung. Alhasil, kami hanya berdiri saja di depan pintu.

“Wa'alaikumussalam.“ Di tengah keheningan itu satu orang menjawab salamku. Bapak muncul dari dalam ruangan seketika membuat aku lega. 

“Siapa yang suruh kamu datang Mira?“ Kak Ita angkat bicara.  

“Ak—”

“Bapak yang suruh dia datang.“

“Pak, kenapa Mira dan suaminya di suruh datang? Merusak suasana saja. Masa diantara menantu keluarga kaya dan berpendidikan begini ada satu orang miskin yang nimbrung. Nanti dia gak nyambung ngobrol sama menantuku.“ Ibu berbicara sembari bangkit dari duduknya. Ia datang menghampiri dan mengambil salah satu kantong plastik yang kubawa.

“Dan lagi, apa ini? Bolu murahan. Kamu bawa makanan ini ke sini sementara saudara-saudaramu yang lain bawa makanan mahal dan enak-enak. Memang beda ya, istri orang kaya sama istri penjual tahu.“

“Itu … Mira bawa bolu pandan jadul kesukaan Ibu.“

“Ibu gak pernah suka bolu beginian.“

“Tapi—”

“Sudah-sudah jangan ribut, Sri. Aku minta Mira datang untuk bertemu dengannya. Bagaimanapun dia anak kita juga.“ Bapak menengahi, aku bernafas lega meraih tangannya untuk salim diikuti Mas Haris. Namun Bapak tak kunjung menyambut tangannya hingga menimbulkan sedikit gelak tawa diantara kerumunan keluarga itu.

“Sampai kapanpun penjual tahu dan juragan tanah gak akan pernah cocok,” Dewi berceletuk pelan, namun kami dapat mendengarnya dengan jelas. Gelak tawa itu terdengar kembali.

“Masuk Mira!“ ucap Bapak padaku. Aku mengangguk, mengisyaratkan dengan tangan agar Mas Haris mengikutiku.

“Dia biar saja di depan pintu.“

“Pak.“

“Bapak cuma ngundang kamu, gak dengan suamimu. Anak Bapak cuma kamu.“

Aku menoleh ke arah Mas Haris yang mengangguk paham. Ia menyerahkan padaku kantong plastik yang ada di tangannya.

“Gak apa-apa, sana masuk silahturahmi bersama keluarga,” bisik Mas Haris

“Udah gak usah bimbang, mau masuk ayo! Enggak ya pulang sana! Kamu juga Mira, mau aja jadi anak durhaka demi laki-laki penjual tahu kayak gitu.“ Kak Ita bersuara disertai sahutan beberapa orang. 

“Menantu kampungan! Sampai kapanpun gak akan diterima di rumah ini.“ Ibu berlalu dari hadapan kami bersamaan dengan Bapak bergabung dalam kerumunan di ruang tamu.

Mas Haris tersenyum menatapku, meyakinkan untuk bergabung walau aku tahu tatapannya sangat terluka. 

Aku mencoba duduk diantara kerumunan itu. Beberapa Bibi menasehatiku dengan ucapan yang sama seperti tahun lalu disertai cibiran dari Ibu dan Kak Ita. Tentang betapa bodohnya aku memilih  calon suami. Sesekali Dewi menimpali dengan ocehan yang semakin memanas suasana. 

Namun, tak ada yang masuk dalam telingaku. Aku hanya fokus pada satu hal. Berulangkali aku melihat Mas Haris yang duduk di depan pintu. Suamiku terlihat tenang dan hanya bermain ponsel. 

“Lihat itu suamimu, begitu menyedihkan. Coba saja dulu kamu menikah dengan David. Sayang sekali Dewi yang mendapatkan David. Lihat kehidupannya, tak susah dan diterima oleh Bapak. Gak seperti kehidupanmu.“ Ibu berucap pelan ke arahku. 

“Coba saja kamu nurut sama Ibu, Mira. Hidup kamu gak bakalan kayak gini, ditentang seluruh keluarga. Ibu sayang sama kamu, tapi kamu lebih memilih laki-laki penjual tahu itu daripada Ibu. Kamu memilih menjadi anak durhaka. Seandainya kamu mau sadar sekarang. Semuanya belum terlambat, lihat David, dia sepertinya masih sangat menyukai kamu.“

Aku menatap Ibu, sekilas menoleh ke arah David. Benar saja, meski Dewi terus bergelayutan di sampingnya. Mata lelaki itu tetap terfokus padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status