“Minggir David!“
“Kamu mau pulang, kan? Ayo aku antar.“ Dia berucap tanpa memperdulikan perkataanku barusan. Tangannya terulur berusaha mengambil alih belanjaanku. Sontak aku mundur ke belakang guna menghindari tangannya bersentuhan denganku.
Aku memutuskan berbalik dan lewat dari arah lain. Tapi David kembali menghadang jalanku.
“David minggir! Kenapa kamu terus-terusan menghalangi jalanku?“
“Aku berniat membantu Mira. Kamu nampak kesusahan, suami kamu mana? Kenapa dia biarin kamu belanja sendirian?“
“Aku gak butuh bantuan kamu, tentang di mana suami aku saat ini bukan urusan kamu. Yang jelas sekarang dia lagi cari nafkah dengan bekerja, bukan ongkang-ongkang kaki nikmatin hasil kerja keras orang tua.“
Perkataanku sepertinya sedikit menyinggung David. Dia diam seketika dan itu kumanfaatkan untuk pergi dari hadapannya.
Tak kusangka David nekat. Ia menahan tanganku yang buru-buru kutepis keras hingga belanjanku jatuh.
“Kenapa sih, kamu selalu nolak keberadaanku Mir. Kenapa kamu lebih milih laki-laki miskin kayak Haris dibanding aku. Kalau kamu nikah sama aku dulu kamu gak bakalan kesusahan kayak gini.“
“Aku gak kesusahan Dav, buka kacamata kamu yang cuma lihat dari sudut pandang materi. Setidaknya Mas Haris lebih baik dari kamu. Dan ingat! Kamu udah menikah dan aku juga sudah menikah. Jadi hargai istri kamu yang saat ini hidup bersama kamu juga hargai aku sekarang yang sudah jadi istri orang lain.
Aku mendengkus sembari mengambil belanjaanku kembali. Kulihat Dewi di ujung jalan sana setengah berlari menghampiriku dan David. Kuputuskan untuk segera pergi sebelum hal buruk seperti di depan tukang ayam tadi terjadi lagi.
***
“Sudah semua? Gak ada yang ketinggalan, kan?“
Aku mengecek satu persatu barang bawaan kami. Setelahnya aku mengangguk pada Mas Haris.
“Sudah dibawa semua kok, Mas.“
“Ya sudah kalau begitu ayo pergi, sebelum maghrib.“
Aku mengunci pintu rumah terlebih dahulu. Menyerahkan satu kantong plastik berisik makanan untuk Kak Ita. Lalu aku memegang dua kantong berisi makanan untuk Bapak dan Ibu.
Motor Mas Haris melaju di jalanan sore ini. Berulangkali aku tersenyum membayangkan wajah Ibu yang sepertinya akan senang karena aku membawakannya bolu pandan jadul kesukaan Ibu yang sering beliau beli di toko langganannya. Begitu juga Bapak, pasti akan senang kalau tahu aku membawa bika ambon pandan keju kesukaannya.
Kami tiba sepuluh menit setelahnya. Rumah Bapak dan Ibu cenderung dekat dari rumah. Mas Haris memarkirkan motornya di pekarangan yang luas. Kulihat tiga keponakanku tengah bermain ayunan di depan rumah.
Aku memimpin langkah bersama dengan Mas Haris di belakangku. Keadaan rumah terlihat sangat ramai.
“Assalammu'alaikum,” ucapku sontak membuat bincang-bincang di ruang tamu itu seketika berhenti. Kutatap satu persatu orang yang ada di sana. Sampai aku bertemu pandang pada Dewi. Ia dan suaminya juga datang.
Ada Kak Ita dan Ibu beserta yang lainnya menatapku dengan tidak ramah. Mereka hanya diam hingga membuatku dan Mas Haris bingung. Alhasil, kami hanya berdiri saja di depan pintu.
“Wa'alaikumussalam.“ Di tengah keheningan itu satu orang menjawab salamku. Bapak muncul dari dalam ruangan seketika membuat aku lega.
“Siapa yang suruh kamu datang Mira?“ Kak Ita angkat bicara.
“Ak—”
“Bapak yang suruh dia datang.“
“Pak, kenapa Mira dan suaminya di suruh datang? Merusak suasana saja. Masa diantara menantu keluarga kaya dan berpendidikan begini ada satu orang miskin yang nimbrung. Nanti dia gak nyambung ngobrol sama menantuku.“ Ibu berbicara sembari bangkit dari duduknya. Ia datang menghampiri dan mengambil salah satu kantong plastik yang kubawa.
“Dan lagi, apa ini? Bolu murahan. Kamu bawa makanan ini ke sini sementara saudara-saudaramu yang lain bawa makanan mahal dan enak-enak. Memang beda ya, istri orang kaya sama istri penjual tahu.“
“Itu … Mira bawa bolu pandan jadul kesukaan Ibu.“
“Ibu gak pernah suka bolu beginian.“
“Tapi—”
“Sudah-sudah jangan ribut, Sri. Aku minta Mira datang untuk bertemu dengannya. Bagaimanapun dia anak kita juga.“ Bapak menengahi, aku bernafas lega meraih tangannya untuk salim diikuti Mas Haris. Namun Bapak tak kunjung menyambut tangannya hingga menimbulkan sedikit gelak tawa diantara kerumunan keluarga itu.
“Sampai kapanpun penjual tahu dan juragan tanah gak akan pernah cocok,” Dewi berceletuk pelan, namun kami dapat mendengarnya dengan jelas. Gelak tawa itu terdengar kembali.
“Masuk Mira!“ ucap Bapak padaku. Aku mengangguk, mengisyaratkan dengan tangan agar Mas Haris mengikutiku.
“Dia biar saja di depan pintu.“
“Pak.“
“Bapak cuma ngundang kamu, gak dengan suamimu. Anak Bapak cuma kamu.“
Aku menoleh ke arah Mas Haris yang mengangguk paham. Ia menyerahkan padaku kantong plastik yang ada di tangannya.
“Gak apa-apa, sana masuk silahturahmi bersama keluarga,” bisik Mas Haris
“Udah gak usah bimbang, mau masuk ayo! Enggak ya pulang sana! Kamu juga Mira, mau aja jadi anak durhaka demi laki-laki penjual tahu kayak gitu.“ Kak Ita bersuara disertai sahutan beberapa orang.
“Menantu kampungan! Sampai kapanpun gak akan diterima di rumah ini.“ Ibu berlalu dari hadapan kami bersamaan dengan Bapak bergabung dalam kerumunan di ruang tamu.
Mas Haris tersenyum menatapku, meyakinkan untuk bergabung walau aku tahu tatapannya sangat terluka.
Aku mencoba duduk diantara kerumunan itu. Beberapa Bibi menasehatiku dengan ucapan yang sama seperti tahun lalu disertai cibiran dari Ibu dan Kak Ita. Tentang betapa bodohnya aku memilih calon suami. Sesekali Dewi menimpali dengan ocehan yang semakin memanas suasana.
Namun, tak ada yang masuk dalam telingaku. Aku hanya fokus pada satu hal. Berulangkali aku melihat Mas Haris yang duduk di depan pintu. Suamiku terlihat tenang dan hanya bermain ponsel.
“Lihat itu suamimu, begitu menyedihkan. Coba saja dulu kamu menikah dengan David. Sayang sekali Dewi yang mendapatkan David. Lihat kehidupannya, tak susah dan diterima oleh Bapak. Gak seperti kehidupanmu.“ Ibu berucap pelan ke arahku.
“Coba saja kamu nurut sama Ibu, Mira. Hidup kamu gak bakalan kayak gini, ditentang seluruh keluarga. Ibu sayang sama kamu, tapi kamu lebih memilih laki-laki penjual tahu itu daripada Ibu. Kamu memilih menjadi anak durhaka. Seandainya kamu mau sadar sekarang. Semuanya belum terlambat, lihat David, dia sepertinya masih sangat menyukai kamu.“
Aku menatap Ibu, sekilas menoleh ke arah David. Benar saja, meski Dewi terus bergelayutan di sampingnya. Mata lelaki itu tetap terfokus padaku.
POV HarisAku menatap anak lelaki berambut ikal yang sedang bermain motor-motoran itu dengan tatapan lekat. Anak kecil yang dikatakan Kanya adalah anakku dengannya, tapi tak terlihat mirip denganku sama sekali. Malah wajahnya mengingatkanku akan wajah yang sedikit familiar namun aku tak ingat siapa."Nak," panggilku lembut dan membuat anak itu menoleh. Kulambaikan tangan agar ia mendekat. Biasanya aku tak pernah mendekat karena perasaan aneh yang tak bisa kuungkapkan, tapi kali ini aku ingin tahu sesuatu darinya, biasanya anak kecil tak pandai berbohong."Kenapa Om," ucap anak tersebut padaku membuat kedua alisku bertaut bingung. "Om?" tanyaku bingung."Ya Om, kan, bukan Papa Haykal. Kalau Papa Haykal baru Haykal panggil Papa, eh!" Haykal tampak menutup mulutnya sendiri seolah terkejut dengan ucapan yang anak lelaki itu lontarkan barusan. Dia kaget dengan ucapannya?"Itu artinya Om bukan Papa kamu?" tanyaku dengan rasa penasaran, sementara Haykal diam aku tahu yang dikatakannya itu be
POV Mira"Kalau begitu Mbak harus menemuinya! Kita tak punya banyak waktu. Pernikahan tanpa izin istri pertama, pernikahan dalam keadaan Pak Haris amnesia bukankah itu tidak sah! Itu sama saja pernikahan yang dilaksanakan atas dasar kebohongan. Mbak harus mencegahnya!"Aku mengusap wajah dengan kasar. Jalu dan Ghea menatapku dengan wajah kalut. Memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat bukanlah hal yang mudah. Pikiranku juga serasa buntu."Mbak Mira," panggil Ghea sembari memegang tanganku. Aku menatap ke arahnya, dia lalu memelukku dengan erat. "Ghea tahu ini hal yang sulit, tapi Mbak gak boleh nyerah. Mbak gak boleh putus asa. Ingat anak dalam kandungan, Mbak. Dia harus mendapatkan Ayahnya kembali."Aku menangis, kali ini air mataku mengalir deras meski tanpa suara. Ghea sangat memahami perasaanku. Di tengah kekalutan ini, pikiranku sudah tak lagi jernih, aku bahkan bingung harus melakukan apa."Kita cari satu persatu jalannya, Mbak. Suatu saat pasti kebohongan Kanya akan terbongkar
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng