Share

Bab 5 :Tetangga Baru

Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku. 

Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor.

Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.

Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga. 

Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dari biasanya. 

Selama ini rumah tersebut kosong dan kini ada sandal dan pakaian yang dijemur. Apa ada penghuninya sekarang?

“Assalammu'alaikum Bu Gia,” panggilku dengan masih menoleh ke arah rumah yang menarik perhatian sejak tadi.

“Wa'alaikumussalam, Mira, wah apa ini?“

“Jumput-jumput, Bu, banyak pisang masak di rumah.“

“Sebentar ya! Ibu ganti mangkoknya dulu.“

Aku mengangguk dan duduk di depan rumah Bu Gia sembari menunggu. Pandanganku masih tak lepas dari rumah kosong yang kini berisi itu. Penasaran dengan penghuninya.

“Ini Mira, maaf ya cuma bisa ngisi begini.“

“Ah, ya, ampun gak usah harusnya Bu, repot-repot sayanya jadi gak enak,” ucapku memandang beberapa kue basah dalam mangkok bekas jumput-jumput tadi.

“Gak apa-apa atuh, saya mau dapat pahala juga ngasih makanan buat orang buka puasa.“

“Oh iya Bu, rumah sebelah itu sudah ada penghuninya ya?“

 

“Oh yang sebelah rumah kamu itu? Iya, kemarin malam pindahannya.“

“Kemarin malam?“

“Iya, Ibu juga gak tahu dia yang bilang. Orangnya aneh banget.“

“Ibu udah ke sana?“

“Sudah, Ibu basa-basi ngasih kue. Hitung-hitung sebagai pengenalan karena dia tetangga baru. Penghuninya masih gadis, perempuan.“

“Oo gitu, jadi penasaran saya bu.“

“Yaudah coba kasih jumput-jumput sana. Sekalian kenalan mana tahu jadi akrab. Ibu lihat kalian hampir seumuran. Tapi orangnya agak … gimana ya ngomongnya.“

“Agak gimana?“

“Coba Mira lihat sendiri deh.“

“Kalau begitu Mira permisi Bu.“

“Iya-iya Mira makasih makannya,” seru Bu Gia yang kubalas dengan anggukan.

Aku berlalu dari rumah Bu Gia, masuk ke dalam rumah dengan satu mangkok kolak di tangan. Lantas pergi ke rumah tetangga baru yang pintu rumahnya terbuka lebar. Hanya menyisakan pintu besi yang tertutup, itupun tidak rapat.

“Assalammu'alaikum.“

Hening.

Tak ada jawaban dari sana meski aku menunggu beberapa saat. Kucoba mengulangi ucapan salam sampai tiga kali.

Alisku bertaut sembari menunggu. Apa orangnya pergi atau gimana ini?

Prang!

“Astaghfirullah,” seruku kaget. Tanpa menunggu persetujuan yang punya rumah untuk masuk aku segera berlari ke dalam dengan piring di tangan.

“Awas mbak, minyak panas!“ langkahku terhenti saat melihat kuali di atas lantai bersikan minyak panas dengan sebuah benda hitam yang ….

Tunggu, itu telur mata sapi. Kenapa warnanya sampai begitu.

“Eh! Mbak ini siapa ya? Kok main masuk-masuk saja dalam rumah saya?“ tanya gadis dengan hijab sedikit miring itu padaku. 

“Anu … saya ….“

“Maling ya?“

“Bukan, saya cuma mau ngasih ini!“ Aku menyodorkan piring di tangan. “Dari tadi manggilin gak ada yang nyahut. Pas dengar suara ribut di dalam saya langsung masuk.“

Gadis itu memicing seolah tak mempercayai ucapanku. Lantas kusodorkan mangkok berisi jumput-jumput yang sedari tadi kupegang.

“Ini, ini buktinya.“

“Beneran ini buat saya? Gak ada racunnya kan?“

Aku terbelalak, apa-apaan gadis ini. Apa sifatnya memang begitu, selalu curiga kalau diberi oleh orang lain sesuatu. Atau memang ia pernah mengalami trauma.

Aku menggeleng, karena pikiranku kejauhan. Lantas kuletakkan piring itu di atas meja makan yang kebetulan berada di sebelahku.

“Saya niat baik mbak, ini bulan puasa gak mungkin ngejahatin orang dengan makanan berbuka begini.“

Gadiz itu tetap menatapku dengan mata memicing. Kini satu tangannya mengelus dagu seolah sedang menyidiki siapa aku sebenarnya.

“Sepertinya saya pernah lihat mbak, tapi di mana ya?“

“Saya? Kita saja baru bertemu pertama kali loh.“

“Beneran, mbak artis ya?“

Benar kata Bu Gia penghuni rumah ini agak aneh.

“Bukan, saya Amira, tetangga sebelah kamu.“

“Amira? Amira … Ha!“ Gadis itu melemparkan sudip di tangannya dengan asal.

“Astaghfirullah,” seruku kaget dengan jantung berdebar keras.

“Amira istrinya Pak Haris?“

Kali ini aku yang memicing. Kutatap dia sembari mengelus dagu.

“Kok kamu tahu?“ tanyaku penuh selidik. Kutatap matanya dan gadis ini berusaha menghindari tatapanku.

“Itu ….“

“Itu?“

“Saya ….“

“Saya?“

“Assalammu'alaikum, Dik.“

 

Aku tersentak, suara Mas Haris terdengar nyaring dari depan rumah. Tumben-tumbenan dia mengucap salam senyaring itu, apa pintu rumah kukunci tadi? Perasaan tidak.

.

Kutatap gadis di hadapan yang masih diam saja, aku berbalik dan kembali ke depan rumah dan melihat Mas Haris sudah berdiri di teras sembari menungguku.

“Kenapa gak masuk, Mas? Rumahnya gak dikunci kok, biasanya juga langsung masuk sambil ngucap salam, ini tumben nunggu.“

“Pintunya gak bisa terbuka.“

“Masa?“

“Iya.“

Aku menatapnya dengan alis bertaut. Kucoba menurunkan engsel dan pintu dengan mudah terbuka.

“Waa! tadi kenapa gak bisa ya? Aneh sekali,” ucap Mas Haris sembari masuk ke dalam rumah, menimbulkan banyak tanya di kepalaku. Terutama saat ia lewat, aku mencium semerbak wangi parfum yang berbeda dari biasanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status