Share

Dijodohkan

“Kamu gantikan Abi, mengajar di kelas enam putra besok.” Pinta sang ayah sebelum meninggalkan ruang tamu.

Sementara Hamzah masih dengan kebingungannya, Umi Rubiah ikut bangun dan menyusul sang suami ke kamar.

“Abi mau bertemu orang tua siapa?” tanya Umi Rubiah seraya ikut duduk bersama suaminya dipinggir ranjang.

“Saya rasa lebih baik Hamzah kita nikahkan saja, sudah beberapa kali ada yang menyampaikan jika Hamzah sering ke rumah seorang gadis, menurut kabar gadis itu bukanlah gadis baik-baik.” Tutur Ustaz Harun.

“Gadis itu kehidupannya terlalu bebas, juga jarang menutup aurat, saya rasa gadis itu bukanlah gadis yang tepat untuk istri dan juga ibu untuk anak-anak Hamzah kelak.”

Ustaz Harun menarik nafas, lalu melanjutkan.

“Jika tidak segera kita nikahkan, saya takut terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, kucing mana yang tahan jika disodorkan ikan asin.”

“Tapi anak siapa yang mau Abi jodohkan sama Hamzah?” tanya Umi Rubiah penasaran.

“Saya rasa Amira gadis yang cocok kita jadikan menantu.” Jawab pimpinan pesantren tersebut.

“Ya sudah jika itu terbaik menurut Abi, tapi Hamzah dan Amira mau gak dijodohkan.” Umi Rubiah teringat dengan perasaan kedua anak itu.

Ustaz Harun mengambil gawainya yang sedari tadi disaku celananya, lalu mencari kontak orang tua Amira, setelah tersambung, beliau menyampaikan bahwa besok akan ke rumah untuk bertemu ayah dari Amira.

***

“Suatu kehormatan Ustaz dan Umi mendatangi kediaman kami.” Ucap pak Hasan, ayah Amira.

“Jadi begini, Pak, Buk. Kedatangan saya kemari, ingin bertanya, apakah Amira sudah ada yang mengkhitbah atau belum?” tanya Ustaz Harun setelah sedikit berbasa-basi.

Sang pimpinan pesantren meraih cangkir, menyesap teh yang dihidangkan oleh ibunya Amira.

Sementara ayah dan ibu Amira duduk di kursi persis di depan Ustaz Harun dan Umi Rubiah.

“Sampai hari ini, Amira belum ada yang mengkhitbah, kenapa ya Ustaz?” Tanya Pak Hasan penasaran.

“Begini Pak, Buk. Jika berkenan, kami ingin melamar Amira untuk anak kami, Hamzah.” Ujar ayah dari Hamzah tersebut.

“Jika Bapak tidak keberatan, saya ingin Amira menjadi menantu kami, karena kami juga sudah sangat mengenal Amira.”

Pak Hasan terlihat terkejut, lalu saling berpandangan dengan istrinya, Bu Salma.

Ayah dari gadis bernama Amira itu terdiam sejenak, menarik nafas, lantas berucap.

“Jika itu baik menurut Ustaz, saya juga tidak keberatan. Akan tetapi, saya akan bertanya lebih dulu dengan Amira sendiri, bagaimanapun juga, Amira yang akan mengalaminya. Jadi tolong beri saya waktu untuk bertanya dulu pada Amira.” Jawab Pak Hasan tenang.

“Baiklah Pak Hasan, memang benar, segala sesuatu ke depannya anak-anak lah yang melewatinya, kita hanya perantara saja, tetapi saya berharap, kita bisa menjadi besan, Pak.” Harap Ustaz Harun.

“Seperti yang Ustaz tau, Amira masih dalam masa kuliah, baru semester dua, saya takut akan merepotkan keluarga Ustaz nantinya.”

“Untuk soal itu, Pak Hasan tidak usah khawatir. Insya Allah Hamzah akan meneruskan tanggung jawab Pak Hasan pada Amira, saya juga membantu, termasuk biaya kuliahnya.” Jelas Pimpinan pesantren itu.

“Baiklah jika begitu Ustaz, nanti saya tanyakan dulu sama yang punya badan, jika memang berjodoh, pasti ada jalannya.”

Sementara Umi Rubiah dan Buk Salma hanya mendengarkanpembicaraan bapak-bapak itu.

“Jika perlu, Bapak hubungi saja Amira, saya akan mengizinkanAmira untuk pulang, jika sudah ada keputusan nanti Pak Hasan bisa hubungi saya.” Ucap Ustaz Harun penuh harap.

Tak terasa, orang tua Hamzah dan Amira sudah mengobrol panjang lebar, matahari pun sudah semakin naik, pertanda sebentar lagi sudah waktunya zuhur.

Ustaz Harun memang tidak terburu-buru, karena jam mengajarnya sudah digantikan oleh Hamzah.

Yang hendak disampaikan pun sudah selesai, ayah dari Hamzah dan Ibu sambungnya itu pamit seraya bersalaman.

Setelah Ustaz Harun dan istrinya pulang, Pak Hasan berdiskusi sebentar dengan istrinya, lalu menghubungi Amira untuk pulang sebentar.

Ternyata Amira besok baru bisa pulang, mengingat sore masih ada mata kuliah yang harus ia ikuti.

***

“Kata Ayah ada sesuatu yang penting, ada apa sebenarnya, Mak?” tanya Amira sambil mencium tangan mamanya begitu sampai rumah.

Ya, Amira pulang ke rumahnya pagi-pagi sekali, menggunakan ojek.

Karena sudah tercatat sebagai guru di pondok pesantren, walaupun masih status mengabdi, tetapi sudah diperbolehkan menggunakan handphone, juga pulang pergi sendiri, tanpa harus dijemput orangtua.

“Masuk dulu, istirahat dulu, tunggu Ayah pulang dulu.” Jawab Bu Salma sambil mengelus pundak anak sulungnya.

Amira sudah hafal, setiap pagi setelah subuh ayahnya pasti ke ladang, pulang ketika matahari sudah mulai naik.

Sedangkan kedua adiknya pasti sudah berangkat sekolah.

Amira masuk ke rumah, setelah menyimpan tas di kamar yang ditempatinya bersama sang adik, berlalu ke arah dapur, memang perutnya belum terisi sejak bangun tidur.

Bagi gadis berpostur langsing itu, makan masakan mama merupakan suatu yang selalu ia rindui, karena hampir setiap hari sejak menjadi santri, Amira selalu makan telat, bahkan tidak makan, khususnya pagi.

Setelah makan, Amira duduk di teras sambil bercerita dengan sang mama yang lagi menyapu halaman.

“Assalamu'alaikum, udah pulang, Nak.” Pak Hasan memberi salam sambil menyimpan cangkul yang dibawanya.

“Wa ‘alaikumsalam.” Jawab Amira dan Mamanya serentak, lalu Amira meraih dan mencium tangan ayahnya itu.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Pak Hasan menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kayu sederhana ruang tamu rumahnya, lalu meminta Amira ikut duduk di sampingnya.

“Kemarin Ustaz Harun datang kemari, melamar Kakak untuk Hamzah....” Jelas Pak Hasan terjeda.

Amira biasa dipanggil kakak di rumahnya, karena ia anak paling tua.

Amira terkejut mendengar penjelasan ayahnya, jantungnya mulai tak karuan, wajahnya tiba-tiba menghangat bagai orang demam.

Amira tidak menyangka, bahwa hal penting yang mau ayahnya sampaikan rupanya tentang lamaran Hamzah, orang yang tidak pernah ia cintai, apakah yang harus ia jawab?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status