Share

Barang haram

Ustaz Harun yang sedari tadi mendengarkan obrolan Amira dengan istrinya kini tiba-tiba berdiri dengan wajah murka lalu berkata kepada istrinya, “panggilkan Hamzah sekarang juga, anak kurang aj4r!”

Amira yang masih berdiri terkaget, lututnya tiba-tiba melemah, “ada apa ini. Ya Allah?” batin Amira.

Umi Rubiah masih bergeming, entah apa yang sedang beliau pikirkan.

“Cepat, hubungi anak itu, suruh segera kemari!” titah Ustaz Harun lagi.

Tanpa berpikir dua kali, wanita di sampingnya itu meraih tas yang terletak di atas meja di depannya, mencari nomor kontak, segera menghubungi anak tirinya itu.

“Lagi di mana, Ham. Pulang sebentar ya!” Tutur sang ibu, setelah yakin panggilannya sudah terhubung dengan anak tirinya itu.

Ya, Umi Rubiah merupakan istri kedua Ustaz Harun.

Mereka menikah sekitar sepuluh tahun lalu, setelah Umi Murni-istri pertama- sang Ustaz meninggal karena k4nker payud4r4.

Umi Rubiah merupakan sepupu Umi Murni, beliau juga alumni pondok pesantren tersebut.

Setelah beberapa bulan Umi Murni berpulang, Ustaz Harun melamar Umi Rubiah.

Umi Rubiah kala itu berusia dua puluh tahun, karena sudah sangat berjasa, merawat ibu dan juga Hamzah yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Ustaz Harun tidak mau melepasnya lagi.

Keputusan yang dianggap paling tepat oleh Ustaz Harun, ternyata tidak dengan Hamzah.

Hamzah menentang berat ayahnya menikah dengan Umi Rubiah.

Hamzah yang berusia lima belas tahun, menganggap sang ayah tidak peduli dengan uminya yang belum lama meninggalkan mereka.

Bahkan dia menganggap Umi Rubiah memanfaatkan keadaan, karena menginginkan harta keluarga Ustaz Harun.

Bahkan di hari pernikahan ayahnya yang kedua itu, Hamzah seharian tidur di makam Umi Murni, dia meratapi nasibnya, berkeluh kesah di atas pusara sang ibu.

Hamzah yang merupakan anak tunggal itu, begitu terpukul setelah kepergian sang ibu, karena selama ini ia begitu dimanja, bukan hanya oleh Umi Murni, bahkan oleh semua orang yang berada di pesantren.

Meninggal Uminya seolah bumi tempat ia berpijak runtuh seketika, dan saat Abi nya menikah lagi, seakan langit yang jadi pelindungnya juga ikut runtuh.

Seakan nasib baik sedang tidak berpihak padanya, hatinya hancur, merasa tidak ada yang bisa memahami isi hatinya, dengan perasaan kalut, Hamzah mendatangi teman-teman jalanannya.

Hanya bersama teman yang sama-sama hatinya hancur yang bisa memahaminya.

Hingga tanpa ia sadari, Hamzah mulai masuk ke dunia gelap, dari situ dia mulai mengenal 0bat-obatan terlarang.

Tak ada yang menyadari, jika remaja itu mulai terbiasa dengan barang haram itu, hanya dengan itu ia merasa tenang, merasa beban pikirannya hilang.

“Assalamu’alaikum ....” Ucap Hamzah seraya melangkah kehadapan sang ayah, ujung matanya melirik Amira yang sedang menunduk.

“Wa'alaikumsalam, duduk!”

Hamzah menjatuhkan bobotnya di kursi tepat di depan ayahnya.

“Dari mana?” tanya sang ayah basa-basi.

“Dari Mesjid.” Jawab Hamzah singkat.

Semenjak peristiwa sepuluh tahun lalu, Hamzah menjadiirit bicara, terutama dengan ayahnya.

“Tadi malam, kamu pakek chopper untuk apa?” tanya sangayah langsung pada intinya.

Pria dua puluh lima tahun itu gelagapan, matanya menoleh pada Amira sekilas, lalu melempar pandang ke arah dinding, dia enggan untuk menjawab.

“Untuk apa?” Suara sang ayah mulai meninggi.

Dengan wajah berat, akhirnya harus menjawab

“menghaluskan obat.” Jawabnya pelan.

Gebrak

Suara pukulan meja menggema seluruh ruangan. Semua yang ada di ruangan itu terkejut. Umi Rubiah beristigfar seraya mengelus dada, lalu memberi isyarat agar Amira keluar.

Dengan langkah ragu gadis berjilbab hitam itu mundur, berbalik badan meninggalkan ruangan itu, dia kembali ke asrama dengan hati yang tidak menentu.

“Kapan kamu mau berubah, heh?”

Tatapan Ustaz Harun setajam belati, yang siap menikam.

Pimpinan pesantren itu sebenarnya sudah begitu jengah dengan kelakuan anaknya itu.

“Kamu sudah dewasa, bahkan sudah pantas berumah tangga, tapi kelakuan kamu yang tidak berubah ini, siapa yang mau dengan pemakai kayak kamu ini!”

“Jika kamu tidak bisa merubah diri kamu sendiri, maka bulan depan akan saya daftarkan ke BNN.” Tegas sang ayah.

Hamzah yang mendengar itu, langsung mengangkat pandangan menatap ayahnya.

“Ketahuan sama Amira saja udah malu setengah mati, gimana kalau didaftarkan ke BNN?” Monolog Hamzah.

Sebenarnya dari hati yang paling dalam, memang ada niat untuk berhenti, tapi kenyataan hidup yang harus dia jalani, terkadang membuat kepalanya pusing, gundah yang ia rasakan hanya hilang di saat bersama barang laknat itu.

Apalagi jika sedang berhadapan dengan gadis yang selama ini berhasil mencuri hatinya, niat untuk jadi orang benar semakin kuat, tapi sesekali masih juga tergelincir.

Setelah memarahi sekaligus menasehati anak sulungnya, Ustaz Harun kembali bertanya.

“Adakah gadis yang kamu sukai selama ini?”

Bukan tanpa alasan beliau bertanya seperti itu, pasalnya sudah beberapa kali mendengar dari orang-orang, Hamzah ke rumah gadis tersebut.

Hamzah gamang, mau menjawab malu, jika tidak menjawab menjadi ganjalan di hati.

“Besok Abi mau ketemu orang tuanya.” Ucap sang ayah berhasil membuat Hamzah terperangah.

Orang tua siapa?

Bertemu untuk apa?

“Kamu gantikan Abi, mengajar di kelas enam putra besok.” Pinta sang ayah sebelum meninggalkan ruang tamu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status