Share

Kembali ke pesantren

Setelah Amira selesai belanja, ia keluar dari swalayan mendapati Hamzah sedang mengobrol dengan seorang wanita muda.

Amira penasaran, siapakah dia?

Kenapa rautnya seperti sedang emosi?

“Apa, Abang udah nikah, aku gak percaya, Bang!” Ucap wanitaitu dengan nada sedikit meninggi.

“Tapi itu kenyataannya, Mis!”

“Tapi kenapa ....” Ucap wanita itu terputus.

“Nah, itu dia orangnya.” Tunjuk Hamzah begitu Amira mendekat.

Begitu gadis yang ditunjuk semakin dekat, Hamzah langsung meraih tangan sang gadis, menggenggam erat seolah mereka begitu saling mencintai dan enggan terpisahkan.

Amira terkejut, aliran darahnya seketika terasa begitu cepat, bukan karena wanita di depan mereka itu, tetapi sentuhan tangan Hamzah seakan mengalirkan arus listrik, yang mampu membuatnya kesetrum dengan tekanan tinggi.

Hamzah tampak biasa saja, menuntun Amira ke motor, memasang helmnya lalu berlalu dari hadapan wanita yang bernama Miska.

Sedangkan Amira manut, ikut tanpa bertanya apa pun, tapi dalam hati ada banyak pertanyaan dan asumsi yang muncul.

Dibalik sikap tenang Hamzah, tidak bisa dipungkiri jantungnya sedang memompa dengan tekanan tinggi, terlalu sibuk pikirannya untuk menghindari Miska, hingga ia lupa menanyai belanjaan Amira yang masih ditangannya, padahal ukurannya lumayan berat untuk ditenteng.

Hamzah terus melajukan sepeda motornya dalam diam, begitu juga dengan Amira, ia segan untuk bertanya perihal wanita yang baru saja mereka temui itu, walau dihatinya menyimpan sejuta pertanyaan.

Hingga tiba di depan rumah orang tua Hamzah, Amira masih menenteng plastik ukuran besar yang berisikan beberapa jenis makanan sebagai buah tangan.

Amira jadi salah tingkah, malu karena digoda oleh beberapa santri putra saat mereka melewati halaman mesjid. Ya, mau ke rumah Ustaz Harun harus melalui depan halaman mesjid yang menyatu dengan asrama putra, sementara asrama santri putri berada di belakang rumah Ustaz Harun.

“Assalamu'alaikum.” Sapa Amira berbarengan dengan Hamzah, ketika Umi Rubiah keluar rumah untuk menghampiri mereka.

“Wa ‘alaikumsalam.”

Hamzah berlalu begitu saja, melewati ibu sambungnya, lalu masuk.

Amira menyalami Umi Rubiah sambil menyerahkan plastik bawaannya.

“Ngapain repot-repot bawa-bawa segala. Ayo masuk dulu.”

“Enggak kok, Umi.” Jawab Amira santun.

Amira dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu, dengan suguhan camilan, gadis yang mengenakan gamis dan pasmina salem itu merasa sungkan, biasanya dia yang menyuguhkan minum buat tamu, hari ini dia sendiri yang jadi tamu.

Setelah Umi dan Amira berbincang-bincang sebentar, Umi memanggil Hamzah yang sudah berada di kamarnya.

“Hamzah, bawa Amira ke kamar untuk istirahat.”

Amira yang mendengar seketika terkejut, dan jantungnya mulai berdebar.

“Gak, gak usah Umi, saya bisa ke asrama aja, tempat saya dulu.” Ucap gadis yang sudah sah menjadi menantu pimpinan pesantren itu.

Umi tersenyum hangat dan berujar.

“Sudah, sana ikut suamimu, mulai sekarang kamar Hamzah juga kamar kamu.”

Ucapan Umi Rubiah sukses membuat kulit muka Amira merona karena malu.

Hamzah muncul dari dalam kamar, berdiri di depan pintu kamar, memanggil Amira dengan anggukan, sedang yang dipanggil merasa ragu.

‘Ikut gak ya, ikut apa gak.’ Amira monolog.

Menoleh kepada Umi, yang mengangguk lalu tersenyum, Amira hanya bisa pasrah, lalu berjalan pelan menuju kamar yang selama ini tidak berani ia lirik walau sering berada di rumah itu.

Dengan perasaan yang sangat berdebar, ia masuk lalu duduk dipinggir ranjang ukuran lajang itu, aroma khas kamar pria menguak di hidungnya.

Hamzah menutup pintu perlahan, membuat jantung Amira semakin berdendang ria.

“Yang tadi di swalayan itu siapa?” tanya Amira memecah kecanggungan yang terjadi.

“Oh, bukan siapa-siapa.”

“Lalu kenapa ia kelihatan marah begitu?” tanya Amira mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi bercokol di pikirannya.

“Entahlah, mungkin karena saya menikah denganmu tak memberitahu dia.”

Amira semakin penasaran dan tidak puas dengan jawaban yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu, tapi enggan untuk bertanya lebihjauh, karena mereka memang belum dekat.

Amira mengedarkan pandangan sekeliling kamar, begitu wajahnya kembali ke arah depan ia kaget bukan main, wajah Hamzah sudah berada tepat didepan wajahnya.

Amira terpaku di tempat, syok dan tak bisa bergerak walau sedikit, wajah pria yang berstatus suaminya itu tak lebih tiga inci dari matanya, entah apa yang akan dilakukan.

“Maaf, saya mau mindahin handuk, itu lagi kamu duduki.”

“Oh, maaf, maaf. Ini handuknya.” Amira gelagapan menyerahkan handuk itu ke tangan Hamzah.

Hamzah mengambil handuk itu seraya tersenyum penuh arti, lalu mencantol ke paku kamar mandi.

Amira yang sudah kepalang malu, ingin rasanya menyembunyikan mukanya ke dalam tas yang masih diselempangnya.

Tak mau berlama-lama di kamar, Amira pamit ke asrama, di sana sudah ada Wati dan Maya yang sudah tidak sabar ingin mendengar cerita dari sahabat mereka itu.

Hingga malam hari, Amira yang masih bercerita panjang lebar bersama sahabat sekamarnya mendapat panggilan telepon, begitu ia lihat rupanya panggilan dari Hamzah yang membuat kedua sahabatnya menggoda Amira.

“Assalamu'alaikum.” Sambut Amira, lidahnya belum berani memanggil abang.

“Wa 'alaikumsalam, di mana Adek?”

“Masih di asrama, Abang.”

Ehm ehm ehm....

Goda Wati dan Maya sambil senyum menggoda.

“Tidurnya di sini aja ya, Abang tunggu.”

Hamzah langsung mematikan panggilan sepihak. Sementara jantung Amira kembali deg-degan.

Amira membuka pintu dapur untuk masuk rumah mertuanya, ternyata Hamzah sudah menunggu di meja makan, sementara yang lain tidak terlihat, mungkin sudah tidur semua, pikir Amira.

“Ayo kita makan dulu.”

Amira hanya mengangguk, lalu duduk bersama suaminya di meja makan.

Setelah selesai makan, Hamzah lebih dulu ke kamar. Amira membawa piring bekas mereka makan ke wastafel. Lalu duduk kembali di meja makan.

“Kok duduk situ lagi, masuk dong.”

Amira terkaget, ternyata suaminya sudah di depan pintu kamar.

‘Ini gimana tidurnya, tidak mungkin kan tidur berdua di ranjang sempit gini.’ Gumam Amira.

“Kamu tidur aja di ranjang, biar saya di tilam aja.” Hamzah berkata seakan tahu isi hati istrinya.

Amira menurut, ia mencoba berbaring dan memejamkan mata indahnya, tak lama ia terlelap karena memang sudah sangat mengantuk.

Hamzah yang tidak bisa terpejam, kini bangkit dari tilam tipis itu, menatap lekat istrinya yang sudah terlelap.

“Tidur kok pakai jilbab.” Gumamnya pelan.

“Kamu sangat cantik, istriku.”

Jiwa kelelakiannya muncul, tak dapat dipungkiri ingin rasanya ia merengkuh wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu, mengajaknya menikmati surga dunia, tapi ia sadar, bahwa istrinya itu sedang ada tamu bulanan, terpaksa ia bersabar.

Malam itu Hamzah tidak bisa terpejam sama sekali, ia hanya menikmati wajah istrinya yang sedang tidur pulas dari jarak sangat dekat, sesekali mengecup pipinya pelan, agar istrinya tidak terbangun, dan membuatnya sangat malu.

Hingga menjelang subuh barulah kantuknya menyerang.

Azan subuh membuat Amira terbangun, ia kaget bukan main, mendapati suaminya tidur sambil memeluk pinggangnya, terlihat begitu pulas. Dan Amira lebih kaget lagi ketika ia merasa ada sesuatu yang mengenai paha kirinya, sebagai gadis yang sudah dewasa ia paham apa itu.

Amira menggeser tubuhnya, dan memindahkan tangan Hamzah perlahan,ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri sambil menetralkan detak jantungnya.

Amira yang sudah rapi kembali lagi ke kamar, terlihat Hamzah juga sudah bangun, berlalu begitu saja ke kamar mandi, lalu terdengar suara air.

'Dia lagi mandi,’ batin Amira.

Karena tidak salat, Amira kembali rebahan di ranjang, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, ia begitu kaget karena Hamzah keluar hanya menggunakan handuk di pinggangnya. Walau tak bisa dipungkiri suaminya terlihat gagah dengan badan tegapnya.

Amira mengalihkan pandangan, sementara Hamzah sengaja melenggang dari depan istrinya dengan alasan mengambil baju di lemari dekat pintu.

Melihat istrinya malu begitu, Hamzah senyum-senyum sendiri.

“Abang ke mesjid dulu ya, Dek.” Ucap Hamzah membuat Amira kembali kaget, ternyata suaminya sudah siap dengan sarung dan koko maroon yang membuatnya semakin tampan saja di mata Amira.

“Katanya hari ini kuliah kan? Nanti Abang antar ya.” Hamzah kembalinyembul dari balik pintu.

“I-iya.” Jawab Amira kembali terkaget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status