Setelah menyantap makan siang dan saling bercengkerama, akhirnya semua keluarga kembali ke rumah masing-masing.
Di rumah tinggallah Hamzah dan keluarga Amira saja, karena Hamzah tidak diperbolehkan pulang oleh Ustaz Harun, baju dan keperluannya nanti akan diantar oleh santri ke rumah orang tua Amira.Pak Hasan menyuruh Amira membawa Hamzah ke kamar untuk beristirahat sekalian salat zuhur.“Amira, bawa Hamzah ke kamar, salat zuhur kalian sekalian istirahat.” Titah Pak Hasan sukses membuat jantung keduanya berdendang, membayangkan di dalam kamar berdua saja sudah merinding disko bagi Amira.“I-iya, Yah.” Jawab Amira tersendat karena malu.“Ciyye-ciyye....” Humaira menggoda kakaknya, sementara Imam, adik bungsunya Amira tidak peduli, remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah itu memang lebih kalem.Amira langsung saja berjalan, tak peduli dengan godaan sang adik, Hamzah mengikuti di belakang Amira walau tanpa diajak oleh sang pemilik kamar.Setelah keduanya berada di dalam kamar, pria berkulit sawo matang itu menutup pintu pelan, Amira semakin salah tingkah.“Hai.” Hamzah menyapa singkat seraya menuju arah tempat tidur, lalu duduk di pinggir ranjang.Sedangkan Amira masih diam saja, berdiri mematung di samping nakas, detak jantungnya sudah tak karuan, ini pertama kalinya ia bersama lelaki yang bukan mahramnya di dalam satu kamar.“Grogi ya?” goda Hamzah, padahal ia sendiri juga tak kalah grogi.Amira hanya tersenyum malu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, padahal sewaktu Hamzah belum menjadi suaminya, tidak secanggung ini, apalagi dihatinya juga tidak ada rasa yang spesial.Lelaki berbadan tegap yang sudah sah menjadi suaminya ituterus menatap wajah Amira, ia sedang menikmati pemandangan terindah tanpa harus memikirkan dosa lagi.Sementara Amira yang sedang diperhatikan pun semakin deg-degan.“Gak perlu takut, aku gak akan ngapa-ngapain kamu, kok.” Ucap Hamzah yang membuat Amira merasa sedikit tenang.“Kecuali kamu yang mau.” Lanjut Hamzah sukses membuat kedua netra Amira membeliak.Hamzah terkekeh, sengaja ia menggoda Amira agar ada bahan pembicaraan dan suasana mencair.Ternyata benar, Amira juga merasa lebih rileks, rasa canggung mulai berkurang.Pertama kalinya Amira melihat seorang Hamzah ternyata senyumnya begitu manis, dan baru sekarang ia sadari setelah menjadi suaminya.“Ayo kita salat, minta sajadahnya, dong!”Amira membuka lemari, mengambil selembar sajadah lalu meletakkan dipinggir ranjang.“Kok, cuma satu, kita kan mau salat bareng.”“Saya sedang tidak salat.” Jawab Amira penuh rasa malu.Hamzah hanya ber oh ria, seraya menggelar sajadah di lantai.Sebagai seorang santri, Hamzah sudah sangat paham dengan yang dimaksud oleh istrinya, bahwa setiap wanita pasti ada jatah libur salat setiap bulannya, yang disebut tamu bulanan.Selesai salat, Hamzah kembali membuka percakapan.“Gimana kuliahnya, udah semester berapa?” tanya Hamzah, padahal ia sudah tahu jawabannya.“Semester dua Ustad.”“Jangan panggil ustad, kayak sama santri, panggil Abang aja.”“Iya Bang.”“Bukan bang, tapi Abang!”“Baik, Abang.”“Nah, begitu kan enak didengar.” Ujar Hamzah sambil tersenyum jahil.Ada rasa dongkol juga canggung, tetapi berusaha ditutupi oleh gadis yang baru saja menyandang gelar istri itu.“Besok kita pulang ke pesantren, gak apa-apa kan?”“iya, gak apa-apa.”“Besok ada jam kuliah?”“Tidak, lusa baru masuk kuliah lagi.”Selesai Amira berucap, terdengar suara ketukan daun pintu, membuat keduanya seketika menoleh ke arah suara.“Kakak, ini ambil minum sama camilannya.” Mamanya Amira memanggil dari balik pintu.Amira melangkah untuk membukakan pintu, ia mengambil alih nampan yang sedang dipegang oleh mamanya.“Ciye... Ada yang udah betah aja di kamar ni.” Adiknya Amira, Humaira kembali menggoda kakaknya sambil berlalu ke arah dapur.Amira mencebik lalu segera membawa nampan dan menaruhnya diatas nakas tampa menutup lagi pintunya.Sementara Hamzah langsung menunaikan kewajiban zuhurnya, minumsedikit, lalu keluar kamar untuk mengobrol dengan ayah mertuanya.“Eh, ngapain di lantai, tidur sini aja.” Tegur Hamzah saat melihat Amira menggelar tikar plastik di lantai kamar.Sedangkan Hamzah dengan santainya berbaring di ranjang milik Amira.Gadis bergigi gingsul itu mematung bingung, jika tidak meruti takut terkesan istri pembantah, mau menuruti tapi hatinya menolak.Akhirnya Hamzah meraih satu bantal, lalu turun dari ranjang mendekati Amira.“Udah, kamu tidur sana aja, biar aku yang di tikar.”Amira beranjak ke tempat tidur dengan hati tidak enak, menjatuhkan badannya pelan, lalu mencoba pejam mata.Keesokan harinya Amira dan Hamzah bersiap balik ke pesantren. Tidak ada yang namanya malam pertama bagi mereka berdua.“Hati-hati di jalan, sering-sering kalian pulang ke sini ya.” Pesan Pak Hasan kepada menantunya saat mereka bersalaman.Hamzah menghidupkan motornya yang diantar oleh santri kemarin sore sekalian dengan keperluannya yang lain.Amira duduk di boncengan belakang paling ujung karena malu semua keluarganya sedang melihat.“Jangan terlalu ujung duduknya, nanti jatuh.” Tegur Bu Salma membuat Amira semakin malu.Hamzah menengok sekilas ke arah belakang sambil tersenyum.Setengah perjalanan, Hamzah menepikan motornya di sebuah swalayan, karena Amira ingin membeli sedikit oleh-oleh, agar tidak tangan kosong saat pulang ke rumah Ustaz Harun.Setelah Amira selesai belanja, ia keluar dari swalayan mendapati Hamzah sedang mengobrol dengan seorang wanita muda.Amira penasaran, siapakah dia?Kenapa rautnya seperti sedang emosi?Dengan hati panas ia mendatangi suaminya, memergoki mereka yang sedang duduk dengan posisi yang begitu dekat membuat hati Amira kian terbakar.“Hmm, lagi seru ini kayaknya!” seru Amira sesaat setelah berada tepat di samping tempat duduk Miska. Miska yang tampak terkejut dengan kehadiran Amira lalu bergeser ke posisinya semula.“Abang, ikut sini, kita ke atas yuk!” Ajak Amira seraya mengulurkan tangannya manja.Ia sengaja tidak menampakkan kemarahan di depan Miska, walau hatinya sudah sangat dongkol, karena ia tidak mau dipandang lemah, dan Miska merasa punya celah untuk masuk ke dalam hubungannya dengan Hamzah. Tanpa menjawab dan bertanya, Hamzah bangun dari tempat duduknya, lalu mengikuti langkah istrinya, setibanya di atas lelaki itu juga terpana dengan pemandangan dari atas kapal.Sementara masih dengan ketakjubannya, Amira malah memasang wajah merengut, niat mau mengajak foto berdua pun diurungkan oleh lelaki berkemeja flanel tersebut. “Tadi semangat ngajak ke atas, sekarang, k
Saat Hamzah berbalik badan hendak kembali ke kamar, ia di kagetkan oleh sosok Miska yang berdiri tepat di depannya.“Astagfirullah, Miska. Bikin kaget tau!” geram Hamzah seraya memijat dahinya.“Maaf. Sekalian juga mau minta maaf soal tadi malam, terima kasih ya,” ucap wanita berkemeja pastel dengan celana jeans itu.“Iya.” Jawab Hamzah malas.Suami dari Amira itu tak tertarik untuk mengobrol lebih banyak, ia hendak segera masuk, tiba-tiba lengannya dicekal oleh gadis itu.“Bang... Boleh aku ikut pulang sama kalian?” Miska berkata masih dengan memegang lengan Hamzah, sesaat kemudian Hamzah segera menarik dan agak menjauh dari gadis ia tahu masih menaruh hati padanya.“Mm... Gini, saya tanya sama istri saya dulu ya!”Hamzah segera berlalu dari hadapan Miska yang masih menatap punggungnya.Sementara dari lantai tiga, Amira yang hendak merapikan gorden, matanya menangkap sosok suaminya sedang berbincang dengan seseorang di tempat parkir, yang berada di halaman hotel, setelah ia coba perh
Tok tok tokSuara ketukan pintu dari luar terdengar nyaring, Hamzah begitu kaget, ia langsung teringat istrinya yang tadi ia suruh menyusul.Lelaki yang tengah dilanda nafsu itu lantas mendorong kuat tubuh Miska yang sedang dalam pelukannya. Ia meraih gagang pintu lalu keluar begitu saja.Amira yang berdiri tepat di depan pintu itu sempat melihat penampakan Miska yang hampir acak-acakan itu dan menunggu penjelasan dari suaminya.Sementara Miska terus memanggil-manggil nama Hamzah.“Ada apa, Bang?”Hamzah gelagapan, ia seketika bingung mau menjawab apa, hasrat kelelakiannya yang sudah dipuncak membuat pikirannya kacau.Hamzah tak menjawab pertanyaan istrinya, ia memilih menarik pergelangan wanita yang sangat ia damba sekarang ini.Tanpa banyak bertanya lagi, Amira mengikuti suaminya yang menarik tangannya dengan terburu-buru.Pergerakan lift menuju lantai tiga terasa begitu lambat bagi Hamzah yang tengah mati-matian menahan gejolak bir*hi, tangan Amira terus ia genggam kuat.“Sebenarny
Amira dan Hamzah menoleh bersamaan ke arah suara, keduanya kaget begitu melihat siapa yang sudah berdiri di depan mereka.Gadis bergaun biru yang membentuk lekuk tubuh dan hijab pendek itu menatap Amira dan Hamzah bergantian.“Kebetulan aku belum makan juga, boleh ikut makan sama kalian?” pinta Miska dengan wajah polosnya, lalu langsung menarik kursi di sebelah Amira dan mendudukinya walau belum ada yang mempersilakan.“Iya, silakan.” Jawab Amira begitu melihat Miska sudah duduk di kursi sebelah kirinya, sedangkan Hamzah duduk berhadapan dengan kedua wanita tersebut.“Kak, saya samain aja sama Amira ya, makanan dan minumnya.”“Baik, Kak. Mohon tunggu sebentar ya, nanti makanannya kami antar.” Waitress itu undur diri seraya membawa kembali daftar menunya.“Kamu kenapa bisa ada di sini, Mis?” tanya Hamzah setelah waitress itu beranjak dari hadapan mereka.“Oh, aku bosan banget, aku ingin liburan, tapi karena belum ada suami, pacar juga gak punya, jadinya aku pergi sendiri. Kebetulan ban
Hamzah yang sedang duduk di kursi kamarnya hanya melirik sekilas, tidak berusaha menahan istrinya walau hatinya masih ingin bersama, menikmati hangatnya pengantin baru, bahkan ia baru saja ingin mendiskusikan tentang bulan madu di akhir pekan ini.Di asrama, Wati yang melihat Amira masuk dengan berjalan sedikit pincang mengerutkan keningnya.“Amira, kakinya kenapa?” tanya sahabat yang selalu peduli pada Amira tersebut.“Ada orang stres tadi bawa motor sembarangan, udah nyerempet, gak bertanggung jawab pula.” Jawab Amira seraya terus merengut.“Makanya tadi siang dengar-dengar ada adegan gendong-gendongan, ya?” celutuk Wati dengan diiringi senyuman menggoda.“Ih, apaan sih. Bang Hamzah tu, bikin malu aja!” gerutu Amira.“Lah, kan udah halal, ngapain mesti malu, lagian kan kakimu lagi sakit juga.” Ucap Wati membuat Amira semakin jengkel, karena terkesan membela Hamzah.“udah, ah. Aku mau tidur sini!”“Lo, kok, tidur sini, suamimu gimana?”“Biarin aja, jangan berisik, pokoknya aku tidur
Pov Author.Hamzah segera melangkah ke arah bangkar tempat istrinya sedang berbaring, saat dia melihat keadaan Amira ia terheran karena tidak menemukan ada sedikit pun perban atau anggota badan yang berdarah.“Kamu kenapa, Dek, apanya yang sakit?”Kedua teman Amira bergeser memberi ruang kepada Hamzah, tiba-tiba seorang pria muda dengan gaya anak kuliahan datang menghampiri mereka, pria itu adalah Rido yang masuk dengan membawa empat botol minuman kalengan serta camilan. Beruntung ruang instalasi gawat darurat sedang tidak terlalu ramai.Hamzah yang bertemu kembali dengan lelaki yang kemarin tampak akrab dengan istrinya, seketika darahnya memanas.Rido juga tak kalah canggung, dia belum mengetahui bahwa pria yang sedang di depannya itu adalah suami dari gadis yang dia sukai, siapa yang menyangka Amira menikah muda, saat kuliahnya baru semester dua.“Gak apa-apa kok, hanya kaki yang terkilir, jadi gak bisa dibawa jalan, kata Dokternya harus dikusuk.” Amira menjawab pertanyaan suaminya.