MasukSaat di perjalanan Revan melihat mobil baru saja kembali dengan muatan barang-barang belanjaan. Kardus-kardus rapi disusun di bagasi, beberapa ibu-ibu masih menyisihkan belanjaan mereka yang tergeletak di kursi belakang.Revan buru-buru menghentikan mobil itu. Roda mobilnya mendesak aspal, ia langsung memutar stang ke kanan tanpa memikirkan apakah ada kendaraan di belakang.Kikkk... kikkkkkk..Suara klakson besar menggelegar, membuat salah satu ibu-ibu terkejut dan menjatuhkan sayuran. Mobil yang sedang melaju perlahan itu segera berhenti, supirnya menurunkan jendela dan melihat ke arah Revan dengan wajah bingung.Revan buru-buru turun, kakinya hampir tergelincir karena terlalu tergesa-gesa. Ia mendekati mobil itu dengan langkah cepat, napasnya terengah-engah dan keringat membasahi dahinya meskipun udara cukup sejuk."Kalian ada yang liat istri saya?" Tanya Revan dengan ekspresi panik. Matanya melotot ke setiap wajah di dalam mobil, tangannya menggenggam erat pegang pintu mobil.S
Sore hari, sinar matahari yang sudah lemah menyebar melewati celah tirai, menyentuh wajah dua insan yang terlelap dalam tidur yang terlarut kelelahan dan mengantuk. Revan bangun duluan, tubuhnya terasa berat seperti terbebani batu. "Enghhh..." Ia menggerakkan lehernya perlahan, menatap sekeliling ruangan yang masih bingung. Dan kemudian—jantungnya berhenti sejenak sebelum berdebar kencang seperti akan meledak—ia melihat Cintya berdampingan, tanpa sehelai benang pun, sama seperti dirinya. "Akh..." Suara merintihnya tercium tipis, kepala menyakitkan parah akibat efek samping minuman keras yang meledak di dalam otak. Semua ingatan semalam seperti kabut tebal yang sulit terurai. Cintya pun terbangun, matanya masih membutuhkan waktu untuk fokus. Namun bukannya merasa malu atau menghindar, ia malah merengkuh tubuh Revan dengan lembut, wajahnya mendekat hingga bibirnya menyentuh bibir pria itu. Hmmmpt
Suara dec apan mulut terdengar jelas di telinga Aruna.Aruna hanya bisa diam dan berdoa dalam hati, ia menutup telinganya dan terus meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap kuat."Hmpptt..hmptttt.."Revan dan Cintya sudah tak tau tempat, mereka berdua melakukan hubungan suami istri di ruang tamu. Des ahan Cintya terdengar jelas sampai ke dalam kamar Aruna.Tubuh Aruna hanya bisa bergetar. Dada Aruna seperti sesak mendengar desahan yang seharusnya tak ia dengarkan."Hiksss....hiksss...Astagfirullah...ya Allah,""Ahhh mas revaannn..." Teriak cintyaa semakin menggelagar.Andai saja rumah itu dekat dengan perkotaan atau perkampungan, mungkin Aruna sudah pergi dari situ. Ia bertahan karna tak ada lagi jalan untuk pergi. Mengingat ini sudah hampir pagi, dan tak baik juga untuk ibu hamil keluar rumah saat matahari belum timbul.Dan bukan hanya Aruna saja yang mendengar desahan itu, karyawan yang sempat menghantar Revan kembali pulang juga ikut mendengar."Astaga, itu seperti suara pembantu B
Part 24Malam itu sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang di dalamnya menyimpan begitu banyak gejolak.Revan melangkah masuk ke kamar Aruna dengan perasaan yang tak karuan. Sudah lebih dari sebulan ia tak menyentuh istrinya—bukan karena tak mau, tapi karena Aruna terus menolak dengan alasan hamil muda.Aruna terbaring di ranjang, memunggunginya. Matanya terbuka, namun pikirannya jauh melayang. Ia sebenarnya belum tidur—hatinya terlalu penuh untuk terlelap.“Arunaa…” panggil Revan pelan.“Iya, Mas…” jawab Aruna tanpa menoleh.“Kamu belum tidur?”Aruna hanya menggeleng pelan.Revan naik ke ranjang, berbaring di sampingnya. Tangannya meraih tubuh Aruna, memeluknya dari belakang. Pelukan itu terasa berat—bukan hangat seperti dulu, melainkan menekan, seolah menuntut sesuatu.“Mas pengen kamu…” bisiknya di telinga Aruna, suaranya rendah dan penuh keinginan.Tub
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Suara Revan terdengar keras, nyaris seperti bentakan. Rahangnya mengeras, sorot matanya dingin dan penuh penolakan saat menatap sosok yang paling ingin ia singkirkan dari hidupnya.Cintya tersentak. Tubuhnya gemetar, entah karena dinginnya udara sore atau karena tatapan pria itu. Ia menunduk, lalu mengangkat wajahnya perlahan, mata berkaca-kaca.“Mas Revan… aku sudah diceraikan oleh suamiku,” suaranya lirih, patah. “Keluargaku juga membuangku. Aku… aku benar-benar nggak tahu harus ke mana lagi.”Revan mendengus pelan, jelas tak tersentuh.“Itu bukan urusanku,” katanya dingin. “Sekarang pergi. Jangan ganggu rumah tangga kami.”Kata kami diucapkan tegas, seolah ingin menegaskan batas yang tak boleh lagi Cintya lewati.Cintya mengepalkan jemarinya. Ia melirik Aruna—wanita yang berdiri tak jauh, dengan perut yang mulai membesar dan wajah yang tampak letih namun tenang. Cintya menelan ludah, lalu berlutut setengah, suaranya bergetar penuh permohonan.“Ak
Revan membalas pelukan itu. Tangannya sempat ragu, lalu perlahan mengusap punggung Aruna, seakan ingin memastikan perempuan itu benar-benar masih miliknya.Aruna menutup mata. Pelukan itu hangat, tapi dadanya terasa sesak. Tubuhnya berada di sana, namun pikirannya berlari jauh—mencari celah, mencari waktu.“Mas takut kehilangan kamu, Aruna,” suara Revan parau, dahinya menempel di pelipis istrinya. “Mas salah, mas tau… tapi jangan tinggalin mas ya.”Aruna mengangguk di dada itu. Jarinya mencengkeram punggung Revan, bukan karena rindu, melainkan menahan gemetar di tubuhnya sendiri.“Iya, mas…” jawabnya lirih. “Aruna di sini.”Revan tersenyum kecil. Ia menarik wajah Aruna, menatapnya lama, seolah ingin membaca kebenaran di mata itu. Telapak tangannya menyentuh pipi Aruna, mengusap lembut—terlalu lembut untuk seseorang yang sebelumnya tega memborgol.“Mas pengen kita kayak dulu,” ucapnya pelan. “Kamu nurut, kamu percaya sama mas.”Kata-kata itu menusuk Aruna lebih dalam dari rantai m







